How to Human Being? (2)
1. Chapter 2
Jangan kira seharian aku hanya duduk di halte seperti Hachi yang menunggu majikannya pulang. Aku juga orang dewasa pada umumnya. Banyak yang mengira aku ini NEET, padahal aku memiliki pekerjaan. Yah, walaupun hanya bekerja sebagai pelayan di kedai ramen.
Aku cukup menyukai pekerjaanku. Disana aku bisa melihat banyak orang dengan berbagai macam cara makan dan menyeruput mi. Pagi sampai siang banyak pekerja yang ke kedai untuk makan di jam istirahat siang mereka. Sudah bukan untuk sarapan dan kurang dari jam makan siang. Entah apa namanya. Beberapa ada anak SMA yang bolos sekolah dan makan disini. Beberapa kali sudah diperingatkan tapi masih saja bolos. Namanya juga anak SMA.
Menjelang jam pulang kantor banyak orang yang datang untuk hanya sekedar minum atau makan bersama senior kantornya karena terpaksa. Beberapa kantor dan rumah sakit di daerah itu mengenal tempat dimana aku bekerja. Bisa dibilang, banyak dari mereka menjadi pelanggan tetap di kedai.
Ketika mereka sedang mabuk-mabuknya, memukul kecil orang sebangkunya, atau bahkan ada yang tertawa tidak jelas karena kesadarannya sedang tidak ada. Aku melihat semua itu di pojok kedai, tempat dimana semua bisa kulihat dengan jelas. Beberapa orang berbicara agak keras ke bos ku yang ramah untuk meminta bir tambahan atau makanan. Di saat itu juga, dengan cepat aku menaruh bir di meja mereka.
“Hooh! Kau cekatan juga, anak baru,” kata pelanggan itu. Aku membalasnya dengan senyum setipis kertas yang bahkan kata bos itu bukan seperti senyum.
“Dia sudah lama disini kok,” ucap Bos.
“Ohya? Aku tidak pernah melihatnya, hanya perempuan itu saja,” pelanggan itu menunjuk rekan sesama pelayan di kedai. Dia melambaikan tangannya ke arah kami. Dia terlihat sangat ramah kepada pelanggan. Kerjanya juga cepat, seperti bos. Mereka berdua sebenarnya sudah cukup kalau tidak ada aku di kedai, mereka sama-sama dengan pelanggan, dan kerjanya cepat. Sejak bekerja disana aku bingung peranku di kedai. Dan karena itu aku pernah bercanda serius dengan bos tentang itu.
“Murata-san, kedai selalu ramai seperti ini, apa kau tidak merasa lelah sesekali?” tanyaku. Bos hanya terkekeh kecil.
“Capek kok, banget malah, tapi saat melihat pelanggan yang menyantap mi dengan wajah gembira, itu sudah cukup untukku untuk kembali bekerja seperti ini,” jawabnya. Aku terdiam sejenak, mencoba berpikir seperti apa yang bos katakan.
“Ah, kau tidak usah membayangkannya, kau tidak akan mengerti,” kata Bos.
“Kalau seperti itu, berarti aku disini tidak ada artinya,” kataku to the point. Bos dan rekanku terkejut menatapku.
“Kami kesulitan jika tidak ada kau,” kata rekanku.
“Tidak ada lagi yang melamun di pojok kedai dan bekerja sebelum Murata-san menegurmu,” ejeknya. Aku menatap tajam padanya.
“Bener lho, kata Nanase-chan, saat sedang sibuk-sibuknya kau malah diam di pojokan dan mulai bekerja saat tidak terlalu ramai, bukan begitu Haya-kun?” dan akhirnya pembicaraan itu berakhir dengan mengejekku.
“Hayakawa, kau bisa berganti shift-ku untuk besok pagi?” tanya rekan.
“Oke, tapi aku ganti shift malam denganmu,” kataku.
“Shift mulu yang dibicarakan. Ayo, kerja-kerja!”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantab kak
Ada lanjutan nya gak?
Ada kok, wait ya..