Fatimah Rasyida

Arsip Kolaborasi antara pikiran perasaan dan jari jemari Fatimah Rasyida sesuai dengan nama akun ini ps arsip diupload sesuai dengan keinginan

Selengkapnya
Navigasi Web

Being A Human (7)

Chapter 7

Sesampainya di rumah, sayup-sayup aku mendengar suara beberapa orang dari dalam. Aku tidak tahu harus bagaimana. Apa jangan-jangan teman-teman Hayakawa berkunjung dan sedang makan-makan di dalam, tapi memangnya anak itu punya teman? Seingatku, dia selalu penyendiri, tidak pernah ikut acara kampus. Jadi itu siapa?

Aku membuka pintu diam-diam, dan perlahan masuk. Berharap teman-temannya tidak mendengar suara langkah kakiku. Tapi terlambat, mereka sudah menyadari kedatangan seseorang sejak langkah kakiku berhenti di depan pintu.

Ara~ Ken, kau ada tamu. Masuk-masuk, kau pasti temannya Ken kan? Terima kasih sudah menjaganya selama ini.” Sepasang wanita dan pria yang kira-kira berumur tiga puluh tahunan, mereka berdua begitu mirip hingga seperti kembar. Hanya saja yang wanita memiliki rambut panjang, sehingga bisa dibedakan.

“Tidak, dia itu yang tinggal di loteng,” kata Hayakawa. Si Pria memukul kepala Hayakawa cukup keras, “tidak boleh berkata seperti itu kepada temanmu.”

Dan tiba-tiba pintu kamar Hayakawa terbuka lebar—yang kebetulan berada di tengah-tengah pandangan kami semua. Remaja laki-laki yang memakai jaket neon yang kebesaran, celana pantai bercorak polkadot hitam, topi koboi cokelat tua, dan kacamata norak. Kemudian ia berjalan layaknya model di depan semua orang. Aku dan pasangan pria-wanita itu tertawa terbahak-bahak melihatnya. Hanya Hayakawa yang tidak tertawa dan malah menghela nafas panjang.

“Lalu, apa yang kalian semua disini?!” seru Hayakawa.

“Padahal aku sudah bolos latihan hanya untuk kesini,” kata remaja itu sambil bergaya.

“Payah sekali pakaiannya,” celetukku.

“Iya kan, aku juga sering bilng gitu, tapi tetap saja.. dasar aniki. Hm, ngomong-ngomong. Kau siapa?”

Etto, Kawamura Hikaru desu, teman satu rumahnya Hayakawa, aku yang tinggal di loteng.”

“Ahh, kalian satu rumah ternyata~ hee.” Wanita itu melirik kearah Hayakawa.

“Jarang sekali kau mempersilahkan orang asing tinggal di apartement-mu, dan juga kau suruh dia tinggal di loteng?! Sudah gila kau? Kasihan dia,” kata Si Pria.

“Ya terus? Kamar apartement ini cuman ada satu.”

“Apartment di bawah masih ada beberapa kan? Dua orang itu juga belum membayar juga. Ah, apa Ken pindah saja ke unit 1?” usul Si Pria.

“Ngapain repot-repot pindah ke bawah hanya untuk memberi kamar untuknya? Enak saja,” kata Hayakawa, menatap ke arahku. Si Wanita memukul kepala Hayakawa dengan keras.

Itta! Nandayo? Aku bicara yang sebenarnya, ngapain aneki memukul keras seperti itu?”

E-eh? Bentar-bentar. Mereka saudara? Tapi mereka terlihat sepeti orang tua dan anak. Berarti yang Pria itu? Ayahnya? Atau saudaranya juga? Tapi yang remaja ini pastinya adiknya sih. Tapi cukup mengejutkan karena dia punya saudara seperti itu. Hayakawa tidak pernah bilang kalau punya saudara, dan juga tiga saudara selainnya. Dengan kelakukan yang beda 180 derajat dengannya.

“Maaf ya, kalau selama ini Ken tidak sopan begini selama tinggal bersama, dia memang orangnya seperti ini jadi maafkan saja,” kata Si Wanita.

Tiba-tiba pintu apartement dibuka dengan kencang. Seseorang seperti berpakaian yakuza masuk ke dalam apartement sambil melirik sekeliling. Dengan gaya sok-nya sambil merokok.

“Biasa banget. Ngapain aja tiga bulan tidak menghubungi rumah? Bisa-bisanya keluar dari rumah gak ngabarin.” Berakhir menatap ke arahku. “Kau tinggal dengan lelaki? Sudah geser otakmu itu, hah? Bosan tinggal denganku? Atau dengan saudara-saudaramu itu? Susah ya, cari pacar? Kasihan~”

Hayakawa berdecak. “Uruse, oyaji diam saja. Dia tukang bersih-bersih yang hanya menumpang.”

Orang yang disebut Ayah itu—cukup mengagetkan dengan keluarga Hayakawa yang ramai orang, dan berbagai ragam karakter di dalam keluarganya.

“Maaf ya, keluarga kami memang seperti ini, jadi maklum,” kata Si Wanita.

“Tukang bersih-bersih. Nama e wa?” tanya pria yang dipanggil Ayah itu.

“Hikaru Kawamura desu. Aku teman satu kampusnya Hayakawa,” jawabku. Orang itu mengangguk-angguk mengerti.

“Bukan tukang bersih-bersih toh. Gak sopan sekali manggil temanmu dengan tukang bersih-bersih.” Orang itu memukul kepala Hayakawa dengan keras.

Itta! Tolonglah, jangan sering di-geplak kepalaku, nanti kepintaranku menurun,” seru Hayakawa. Orang itu dan Si Wanita tertawa.

“Justru karena itu kau jadi pintar. Si yang selalu nomor satu. Apa Ken jadi yang nomor satu di ujian kali ini?” tanya Si Wanita padaku.

Etto- haik,” jawabku sambil mengangguk. Si Remaja mengamatiku dari dekat, menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Nii-san kenapa mau tinggal dengan makhluk datar tak beremosi ini? Di sogok dengan uang ya?”

“E-eh? Itu- karena.. Hayakawa orangnya menarik.” Selang beberapa detik dari jawabanku, mereka semua tertawa. Hayakawa menatapku, seperti menyuruhku untuk tetap diam dan tidak menjawab segala pertanyaan dari keluarganya.

“Apa yang menarik dari Aniki? Nee, tou-san, aku bisa tukar aniki dengan Kakak ini tidak?”

“Hoh, tuker aja. Ken paling juga bosan punya adik sepertimu,” kata Ayahnya. Si Remaja bersorak dengan riang dan melempar topinya ke langit-langit.

“Boleh-boleh, aku anak tunggal, jadi selalu ingin punya adik,” celetukku.

“Hooh! Boleh juga! Aku Shin, salam kenal. Kau resmi jadi Kakakku. Yeayy! Aku punya tiga Kakak dan satu cadangan Kakak~ Yatta~!” serunya dengan asyik.

“Iya juga. Ken! Kau harusnya memperkenalkan kami ke Hikaru. Jangan diam saja,” kata Si Ayah. Hayakawa hanya menghela nafas.

“Baru kenal beberapa menit udah manggil nama depan, bisa-bisanya,” kata Hayakawa.

“Lho? Memang kenapa? Iya kan, nii-san?”

Hayakawa mendesah kesal, dan memperkenalkan semua orang. Si Ayah bernama Taiyo Hayakawa—yang tentu saja marganya sama karena satu keluarga. Si Pria dan Wanita ternyata kembar dan punya umur yang cukup jauh dengan Hayakawa dan adiknya Shin. Si Pria bernama, Ichiro, dan Si Wanita bernama, Fumiko.

Taiyo mengalungkan tangannya pada leherku, “Nama kita sama-sama punya unsur cahaya-nya, Hikaru. Aku mataharinya, kau cahayanya, matahari tidak bisa jad matahari kalau tidak ada cahayanya. Jadi semoga kita bisa berteman,” katanya.

Kami semua sedang makan sukiyaki bersama. Ichiro dan Hayakawa saling berebutan daging terakhir, tapi mereka kalah cepat dengan Shin.

“Hikaru berapa bersaudara?” tanya Taiyo.

“Bukannya tadi sudah di jawab? Dia anak tunggal, iya kan nii-san?” Aku mengangguk kecil, sambil mengunyah jamur shitake.

“Sepi ya berarti di rumah. Tidak seperti kita, makanya bersyukur kalau rumah ramai, jangan malah kabur, kaburnya disini lagi, apa-apaan, kurang jauh kau mainnya, Ken.” Taiyo meneguk minuman kalengnya. Hayakawa menghela nafas untuk kesekian kalinya.

Setelah makan. Dan setelah membereskan peralatan, mereka semua duduk diam menatap pertandingan catur antara Hayakawa dan Ayahnya. Sedangkan Ichiro sudah pergi kembali karena ada pekerjaan yang harus dilakukan. Aku dan Shin menghabiskan waktu di kamarku untuk bermain koleksi lego-ku. Membentuk kota yang sesuai petunjuk yang ada.

“Apa Hayakawa- selalu seperti itu meskipun di rumah?” tanyaku.

“Yaah, seperti itu. Di rumah juga seperti itu kok, otou-san, aniki, aneki, nii-chan. Mereka selalu ramai. Mungkin dia bosan dengan keluarganya yang ramai, muak, mungkin?”

“Ngomong-ngomong nii-san, miniature kota ini keren sekali, sudah berapa bulan kau membuatnya? Keren banget!”

“Ini hobiku dan kesibukkanku kalau tidak ada tugas kampus,” jawabku. Mereka—maksudku keluarga Hayakawa, meskipun memiliki banyak karakter manusia di dalamnya. Mereka tidak ingin membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya. Aku tahu, kalau itu privasi. Tapi, hei, zaman ini semua orang sudah tahu masalah seluruh orang di dunia ini kali. Rasa penasaran yang besar juga ada di dalam diriku. Sebagai orang yang hidup di masa itu. Membicarakan hal privasi untuk menjadi lebih dekat dengan seseorang sudah sering terjadi. Mereka semua seperti menghindari berbicara lebih jauh. Tapi aku ingin bertanya lebih jauh tentang itu. Semuanya. Tentang Ichiro-san yang seolah tahu macam-macam unit apartement di gedung apartement ini. Dan yang lainnya. Yah, kalau disebutkan juga tidak akan muat satu paragraph.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

FYI. [English] Hayakawa siblings has related with number thingy in their name. Like Ichiro, Ichi is one in japanese, so it means Ichiro is kid number one, even tho he have twin. Kenji. I dont really know why is realted with kid number two, but when you text or searching Kenji with japanese, it will be have kanji number two. kanji number two was like equal sign, and you might be know, if you searching it.

10 Jun
Balas

FYI [Indonesia] Nama depan Hayakawa bersaudara memiliki hubungannya dengan angka. Seperti si Anak pertama, Ichiro. Ichi dalam bahasa jepang artinya satu. Yang berarti Ichiro adalah anak yang pertama, meskipun dia punya kembaran. Dan Kenji itu- hm- kek klo ditulis pake huruf kanjii-eh--ya pokoknya tulisannya orang jepang, itu di huruf pertama ada kanji yg mirip kek simbol sama dengan gitu, yang artinya dua. Nii(?) Yah pokoknya gitu terus klo sama huruf kedua dibacanya jadi Kenji. kek- K dan E kalau dibaca KE. Gitu lho! Jadi Kenji artinya gitu kek anak kedua. Untuk Fumiko cuman ngasal, kek pertama kali mikir dapetnya itu, ya yaudah. Dan Shin. Shi itu artinya nomor empat. Tapi di kanji kalo Shin itu gak pake huruf yang dipake untuk nulis no 4 di kanji. Jadi beda gitu. Aku juga tidak tahu mengapa. Btw Shin artinya benar. /eaak

10 Jun
Balas



search

New Post