Being A Human (4)
Chapter 4
Sudah seminggu aku pindah ke apartement Hayakawa, tempat yang tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar. Tapi terlihat seperti sangat luas karena dia tidak memiliki banyak barang. Dan saat pertama kali datang ke apartementnya memang- luar biasa berdebu. Aku sampai ternganga dan bersin-bersin. Entah bagaimana dia bisa hidup disana dengan berbagai banyak debu dan sarang laba-laba yang ada.
“Kau- tidak pernah membersihkan rumahmu sendiri?!” seruku.
“Kan sudah kubilang! Jangan banyak berkomentar. Aku benci bersih-bersih, jadi aku butuh yang merawatnya selainku,” jawabnya, “dan aku tidak mau repot-repot memakai tenagaku untuk melakukan hal tidak berguna,” lanjutnya.
Hayakawa menunjukkan loteng yang ia maksud. Terdapat satu jendela kecil dan beberapa ventilasi untuk udara, atap yang berbentuk 80 derajat itu membuat kami para orang dewasa hanya bisa setengah menunduk saat memasukinya. Jujur saja, lotengnya sangat luas! Aku sampai terkesima melihatnya.
“Aku tidak tahu kalau rumahmu ada loteng seluas ini? Ini seluas apa?” tanyaku sambil mengintip ke jendela dan sedikit bermain dengan cahaya yang masuk dari lubang-lubang atap. Yang tentunya rawan dengan tetesan hujan masuk.
“Seluas satu apartement ini. Bukannya hampir semua tipe apartement di negeri ini seperti ini semua? Ah, tapi loteng seperti ini hanya untuk apartement yang ada di lantai paling atas sih yaa,” jawab Hayakawa. Matanya menatap kosong lagi.
“Aha! Kau berbohong!” seruku. Dia berdecak.
“Coba saja cek seluruh apartement di daerah ini, pasti begini semua lotengnya,” Hayakawa menjawabnya dengan jujur. Jujur apa tidak, tatapan matanya tetap sama. Bakal susah kalau seperti ini.
Kami berdua turun dari loteng. Turun dari tangga dan menutupnya, yang seperti di film-film itu lho! Yang kalau di tarik talinya langsung keluar tangga lipat menuju loteng. Nah, iya itu! Saat kami turun langsung berada di tengah-tengah ruang tv.
“Kalau dengan lantai yang seperti itu, mungkin hanya bisa menyimpan barang-barang yang tidak terlalu berat. Kalau ada barang-barang yang berat taro di ruang tv aja, aku cuma pakai tv dan rak buku yang dibawahnya saja.” Aku mengangguk mengerti, aku sudah membayangkan apa yang harus kulakukan dengan loteng dan ruang tv itu.
Butuh waktu satu hari penuh untuk membersihkan segala debu yang ada, dan mengatur semua barang-barang punyaku butuh waktu dua hari untuk benar-benar tepat. Aku ini perfeksionis jadi semuanya harus berada di tempatnya. Jadi totalnya tiga hari.
Dan selama tiga hari ditambah empat hari—seminggu itu, Hayakawa hanya memperhatikanku yang sedang bersih-bersih sambil memakan kacang cashew, dan menonton tv. Ya! Hanya itu saja kegiatannya sehari-hari, astaga.. aku seharian sampai kesal melihat kegiatannya yang monoton itu, yang bahkan baru hanya seminggu tinggal bersama aku sudah tau apa yang dia lakukan dari pagi hingga sore jika sedang tidak ada kelas tapi ada tugas dari dosen.
*Ekhem* Bangun pagi tepat jam lima pagi, membuka beranda belakang dan hanya menatap pemandangan selama satu jam (aku selalu bangun jam 6-an, dan selalu melihat Hayakawa seperti itu), sarapan sambil menunggu gantian mandi, lalu setelah itu tentu saja mandi, bermain catur sambil membaca buku panduan (biasanya sampai siang atau sore, tergantung moodnya), kalau otaknya sudah panas, Hayakawa pasti berteriak kesal, lalu mengambil cashew milk-nya dari kulkas dan meminumnya sambil menonton tv hingga sore atau bahkan malam.
Kalau bertanya kenapa aku bisa tahu se-detail itu, YA KARENA MEMANG SEPERTI ITU KESEHARIANNYA. Ah, maaf sampai berteriak, tapi memang seperti itu, karena dari pagi hingga siang aku hanya berkutat belajar dan mengerjakan tugas, dengan sesekali meliriknya dari ruang tv.
“Nee, bagaimana kalau kita beli game?” usulku tiba-tiba. Hayakawa yang sedang membaca buku di ruang makan mengacungkan jempol tanpa berkata-kata.
“Tapi patungan,” lanjutku.
“Sedang bokek, pakai uangmu saja dulu, nanti kuganti setengah,” kata Hayakawa.
“Aku ngajak patungan juga karena aku sedang bokek,” jawabku. Ia berdecak dan menghela napas. Mengambil botol susu kosong di lemari dan menuliskan sesuatu disana dengan spidol dan menaruhnya di dekat rak sepatu. Menampilkan gerakan aneh seolah-olah itu adalah kejutan.
“Tada~” katanya dengan nada yang cukup datar. Aku menaruh beberapa koin yang ada di saku celana ke dalam botol susu itu. Hayakawa juga memasukan dua lembar 1000 yen ke dalamnya. Aku meliriknya setelah ia memasukkan dua lembar uang kertas itu.
“Aku tidak ada recehan.”
“Itu kau punya uang.”
Kami berbicara berbarengan. Diselingi diam, lalu kami tertawa kecil.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus kak! Seru banget! Semangat!
UuuUuuu~ Terima kasih !!
Sama-sama!