Track 1 : Whalien 52
Jumat, hari terakhir di minggu pertama masuk sekolah, dan Nana masih belum akrab dengan siapa pun di kelas ini. Masih belum ada yang berubah, kekosongan itu belum pergi. Suara dan langkah kaki manusia-manusia lain mengiri jalan Nana di koridor sekolah pagi ini, masih sama dengan kemarin.
Getaran kecil dari ponsel membuyarkan lamunannya. Notifikasi pesan dari Mahesa.
“morning, udah berangkat?”
“udah. Pagi ini sarapan apa?”
“masih mie goring instan, kamu?”
“telur. Hari ini masuk siang?”
“enggak. aku mau bolos, nemuin kamu di jam istirahat. J”
“nice joke, see you then.”
Entah apa balasan dari Mahesa setelahnya, Nana hanya ingin sampai ke kelas dan duduk. Sebenarnya, Mahesa ini teman merangkap pacar Nana. Mereka bertemu di bangku SMP, keduanya sama-sama korban bullying yang berhasil melawan, dan menadi teman baik setelahnya. Mahesa yang pertama menyatakan perasaannya di belakang aula saat sedang graduation. Nana pikir kenapa tidak, toh ia juga merasakan hal yang sama. Namun, Nana tetaplah Nana si gadis cuek yang tak bisa mengungkapkan dirinya sendiri, namun hubungan ini sama sekali tidak membuat kosong di hatinya hilang.
Pelajaran pertama dimulai. Fisika yang mengisi jam pertama. Seorang guru perempuan masuk, memperkenalkan dirinya sebagai guru fisika, namanya Bu Widi. “saya sudah membuat 7 kelompok dengan masing-masing 4 anggota. Tolong memisahkan diri saat namanya saya panggil.”
Bu Widi ini jauh berbeda dengan Bu Rini yang terlihat lembut dan aura keibuannya. Bu Widi terlihat lebih keras, wajahnya tegas, setiap kata yang terucap terasa sebagai perintah, tipikal guru killer pikir Nana. “Annisa Kirana, Aksa Anggara, Adam, dan Rafif silahkan duduk di pojok kiri, kalian kelompok 7. Kelompok ini adalah kelompok belajar kalian di pelajaran ibu selama satu tahun, dan karena sekarang hari pertama, ibu beri kalian kesempatan untuk ngobrol selagi ibu siapkan materinya.”
Tiga laki-laki dan satu perempuan, sepertinya lebih sulit daripada menjadi pesuruh nenek dirumah. Nana mulai melihat mereka satu persatu, tidak ada yang mulai berbincang, meja ini terasa canggung. Adam terlihat seperti tipe murid pelawak yang sering kabur di jam kosong, Rafif mungkin terlihat sedikit keren dengan rambut tertata rapih, dan Aksa benar-benar terlihat biasa Nana tak tau bagaimana mendeskripsikannya.
“Kirana ‘kan? Ngomong duluan dong.” Itu Adam yang menatapnya dengan ramah. “umm, ya, panggil Nana aja, gue lebih suka begitu.”
“lo kenapa gak punya temen?” ucap Aksa disusul tatapan terkejut dari Adam dan Rafif. “apa itu masalah?”
“enggak, lo keliatan kaya paus. Paus 52 hertz, tau kan? Frekuensi suaranya beda sendiri, kawanannya gak bisa dengar dia. Jadi sampai mati dia kesepian, sendirian.” Di mata Nana saat ini, Aksa terlihat seperti bocah main-main yang menggodanya dan sok hebat. Nana mengernyit sedikit, tak suka hidupnya di usik begini.
“gue belom kenalan by the way. Gue Rafif, panggil Apip aja biar gampang, semoga kedepannya kita bisa kompak ya Aksa, Nana.” Sela Rafif tak tahan dengan udara tegang antara Nana dan Aksa.
“iya semoga kita bisa kerja sama, gue Adam. Oh iya, Sa, lo lulusan SMP X kan? Kenal gak– “ dan setelahnya Adam dan Rafif berhasil merubah ekspresi tengil Aksa. Mereka memang terlihat lebih rileks, tapi nyatanya Nana terus kepikiran dengan kata-kata aksa tentang paus 52 hertz tadi. Apa ia harus mulai berbincang dengan murid lain dan menekan egonya sendiri.
<><>
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar