Ibu selalu jadi sosok yang paling pertama bangun ketika matahari belum sempat mengintip jendela. Di tangannya, pagi selalu berubah jadi sesuatu yang hangat aroma teh melati, suara sendok beradu pelan dengan cangkir, dan langkah kecilnya yang sabar menyiapkan hari untuk semua orang di rumah. Wajahnya mungkin sudah dihiasi garis halus, tapi di balik itu tersimpan keteguhan yang tak pernah luntur.

Hari ini, rumah terasa sedikit lebih sibuk dari biasanya. Ibu mondar-mandir di dapur, wajahnya sumringah meski peluh menetes di pelipis. Ia menyiapkan kue tart sederhana dengan taburan meses warna-warni bukan dari toko mahal, tapi dari cinta yang dikocok bersama adonan telur dan tepung sejak subuh tadi.

Di ruang tamu, balon warna-warni menempel sedikit miring di dinding, tapi bagi ibu, itu sudah sempurna. Ia tersenyum sambil menyalakan lilin di atas kue, matanya berkilat ketika memanggil nama anaknya yang berulang tahun. Dalam sorot mata itu, tergambar seluruh perjalanan hidup: dari tangisan pertama sang anak hingga tawa hari ini.

Bagi ibu, ulang tahun bukan sekadar perayaan usia, tapi momen kecil untuk bersyukur, bahwa anak yang dulu ia dekap dengan penuh khawatir kini tumbuh dengan tawa yang sama indahnya dengan matahari sore.

Di tengah tepuk tangan kecil dan lagu selamat ulang tahun yang sumbang, ibu menatap anaknya sambil tersenyum—senyum yang menyimpan segalanya , seperti cinta,doa dan kehadiran untuk selalu ada, tanpa perlu diminta.