Kemarin, aku memberanikan diri mengikuti lomba cipta cerpen dalam rangka Bulan Bahasa. Jujur, hatiku sempat dipenuhi keraguan. Menulis bagiku bagaikan mengarungi samudra luas tanpa peta—kadang aku menemukan pulau ide, namun sering pula terhenti di tengah lautan kosong.

Sejak pengumuman lomba, aku mulai menyiapkan diri. Aku membaca cerpen karya para penulis terkenal, seolah ingin menyelami pikiran mereka. Setiap malam, aku menulis dengan pena yang bergetar, menumpahkan kata demi kata, meski sering terhenti oleh kebisuan pikiran. Namun, tekadku tetap kukuh: satu cerpen harus selesai, bagaimanapun hasilnya.

Hari perlombaan semakin dekat, rasa gugup pun semakin kuat menghantui. Cerpenku kuredam dan kupoles kembali, memperbaiki ejaan, merapikan alur, hingga menyulam ulang dialog tokoh. Meski begitu, bayangan rasa kurang puas selalu hadir, bagaikan awan gelap yang menutupi langit cerah.

Saat lomba berlangsung, aku menyerahkan karyaku dengan penuh harapan. Aku percaya, meski sederhana, usahaku sudah maksimal. Namun, ketika pengumuman tiba, namaku tak terdengar disebut. Saat itu, dadaku terasa sesak, seperti bunga yang layu sebelum sempat mekar. Rasa kecewa dan sedih tak bisa kuingkari.

Meski demikian, aku tidak sendiri. Bersama teman-teman yang senasib, aku belajar bahwa kekalahan bukan akhir segalanya. Justru dari kegagalan inilah semangatku tumbuh. Aku berjanji pada diriku sendiri: suatu hari nanti, aku akan menulis cerpen yang lebih indah, lebih kuat, dan mungkin, mampu membawa namaku sebagai pemenang.

Jakarta, 23 September 2025

Tulisan ke - 5 ku