Namanya Dennish. Ia seperti mentari pagi yang hangat, datang tanpa banyak kata tapi mampu mengusir kabut dalam hati. Mungkin dia memiliki rasa sakit yang disembunyikan, seperti laut yang tampak tenang namun menyimpan badai di dalamnya, tapi ia tak pernah menunjukkannya kepadaku. Ia selalu bersikap menyenangkan, seolah dunia ini adalah panggung komedi kecil yang selalu bisa ia buat lucu.

Dennish selalu membuat cerita cerita receh yang bisa membuatku tertawa bahkan di hari paling suram. Kadang tawanya seperti nyanyian burung di pagi hari, sederhana tapi mampu membangkitkan semangat. Saat aku bersedih, ia menjadi tempat berlindung yang teduh, dengan bahu yang selalu siap menjadi sandaran tanpa banyak tanya.

Kita sering bermain bersama, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Saat bermain game, kami seperti dua prajurit kecil yang berjuang menaklukkan dunia digital, saling menertawakan kekalahan dan bersorak saat kemenangan kecil datang. Di antara layar dan suara tawa itu, aku merasa jarak tak pernah benar benar ada.

Kami juga punya selera musik yang sama yaitu Hindia. Setiap liriknya seakan berbicara tentang persahabatan kami, tenang, jujur, dan penuh arti. Saat malam ujian tiba, kami belajar bersama lewat panggilan video, di sela lelah belajar selalu ada tawa dan candaan ringan yang membuat semuanya terasa lebih mudah.

Dennish bukan sekadar teman. Ia adalah cermin dari ketulusan, tempat di mana aku bisa melihat diriku sendiri tanpa topeng. Ia mengisi kekosongan dalam diriku seperti air yang memenuhi gelas yang retak perlahan lahan hingga kembali utuh.

Menyenangkan rasanya bisa mengenalnya. Dennish bukan hanya sahabat terbaikku, ia adalah bintang kecil di langit malamku yang tak pernah lelah bersinar bahkan ketika dunia terasa gelap.

Tulisan Ke-7 ku

Jakarta, 11 Oktober 2025