Sore itu langit menitikkan air matanya perlahan, seolah sedang meluruhkan segala letih yang tertahan. Rintik hujan menari di atas genting, menepuk bumi dengan lembut seperti ibu yang menenangkan anaknya. Jalanan berkilau, memantulkan cahaya lampu kendaraan yang mulai bergegas pulang. Aku duduk di teras, hanya manusia kecil yang tak seberapa dibanding megahnya langit yang murung. Angin beriup pelan, dan sejenak dunia terasa seperti lagu sendu tanpa akhir.

Menjelang malam, hujan berhenti meninggalkan aroma tanah basah yang memeluk hidung. Kami sekeluarga bersiap pergi, meski rumah mungil kami terasa cukup nyaman untuk bersembunyi dari dingin. Ayah menyalakan mobil, lalu lesap menghilang. “Kita cari makan di luar saja.” katanya lembut, meski tetap saja utara halus itu tak terdengar seperti perintah. Di luar, kota berkilau seperti lautan bintang yang tumpah di bumi, dan hatiku ikut hangat bersama tawa keluarga, menyelip hawa malam yang mulai dingin.

Di restoran kecil, meja-meja dipenuhi wajah-wajah yang lapar, beberapa mulut menggambarkan seribu perut. Kami tertawa, bercanda, seolah seluruh dunia hanya milik kami malam itu. Ibu menatap kami, aku dan adik-adikku sambil tersenyum. Tatapan yang cukup untuk menyalakan seribu lentera di dada.

Aku beruntung bisa merasakan cinta sederhana ini. Di luar, hujan kembali turun perlahan, seperti ingin ikut makan bersama. Di saat itu, aku sadar, malam bukan sekadar waktu, tapi pelukan semesta bagi yang tahu cara menikmatinya.

Senin,6 Oktober 2025