Srikandi
Judul: Srikandi
Oleh Calista Sahla
“Ibu memberikan nama yang terbaik untukmu nak, Chandrakanti Latoya Rubiyantoko yang artinya sinar rembulan nan di hormati orang lain, agar kelak kamu dapat dihargai oleh dunia”, Begitu ujar ibuku, saat aku baru terlahir di dunia. Aku memang tidak ingat soal ucapan itu, tapi ibuku selalu mengingatkanku, karena nama anaknya merupakan doa terbaik yang beliau minta, ujarnya.
Aku tinggal di pedesaan, yang mungkin orang lain tidak akan mengetahuinya ketika aku sebut namanya. Mungkin saja juga tidak bisa dibilang pedesaan, rumah kami disini adalah gubuk. Dari sekian gubuk yang ada, rumahku adalah gubuk yang paling rapuh, bahkan sudah tidak layak disebut rumah. Bukan ingin di kasihani, tapi memang ini kenyataannya.
Tujuan utama doa dinamaku agar dapat menaikan derajat keluargaku. Tapi aku selalu bertanya tanya dalam alam pikiranku, bagaimana bisa aku menaikkan derajat keluargaku?, bahkan diri ini saja tak mampu menaikkan derajat sendiri. Bukan tak ingin memperjuangkannya, tapi pendidikan saja aku tak mendapatkannya.
Di desaku, pendidikannya tidak merata. Laki laki dibolehkan sekolah sampai tinggi, sedangkan perempuan, hanya boleh sampai jenjang SD. Kebanyakan perempuan di desa ini malah tidak sekolah. Salah satu alasanya karena desaku percaya soal “percuma seorang wanita sekolah tinggi, nanti bakal berakhir di dapur juga”.
Jujur, awalnya aku beranggapan seperti itu, menjadi istri yang baik untuk suamiku kelak adalah hal yang terhormat, karena bakti itu penting. Suatu hari, ketika umurku 10 tahun, ada pendatang baru. Kukira mereka adalah orang orang yang terbuang atau terkutuk, sampai harus pindah ke sini. Tapi dapat dilihat dengan jelas, mereka orang yang berkecukupan. Ada 3 orang remaja, 2 laki laki dan 1 perempuan, sepertinya baru lulus kuliah.
Kira kira seperti ini deskripsinya, satu laki laki memakai kemeja kotak kotak, kacamata kotak, badan senormalnya, dan berambut pendek rapih, dan satunya nya lagi memakai baju hitam, badan atletis, dan rambut Panjang dapat dikuncir, satu perempuan menggunakan kemeja polos berwarna merah muda, dan rambut dikuncir. Mereka semua membawa tas yang besar dipunggung, serta gawai di genggaman mereka.
Saat pertama kali datang, mereka disambut oleh kepala desa, dan warga desaku. Aku terheran, mungkin orang tuaku belum sempat memberitahu. Dan ternyata mereka adalah guru relawan, ada komunitas baik yang mau mengajar di desa ku, oh betapa senangnya hati ini.
Kakak yang berkacamata bernama Abimana atau Kak Abi, kakak laki laki yang satunya lagi bernama Ganendra atau Kak Gen, dan terakhir yang paling cantik bernama Kak Calandra atau Kak Cal.
Tunggu, bolehkah perempuan belajar dan mendapatkan Pendidikan yang layak? Hanya karena ada relawan? Jawabannya TIDAK. Untuk perempuan, harus membayar besar agar mendapatkan pendidikan. Lalu untuk apa relawan itu? Mereka memang tidak dibayar, tapi sekolah memang menegaskan seperti itu.
Patah sudah semangatku, ku kira aku akan menjadi orang sukses kelak. Maksudku, lebih dari menjadi seorang istri yang bekerja di dapur. Namun, betapa baiknya Kak Cal, beliau adalah guru yang paling ku kenang, entah harus bagaimana aku mengatakannya, tapi memang Kak Cal yang membantuku menjadi wanita yang sekarang.
Begini ceritanya, Kak Cal turut prihatin terhadap anak perempuan di desaku, Kak Gen dan Kak Abi pun begitu. Tapi Kak Cal, berbeda. Beliau setiap pulang mengajar dari sekolah, beliau mengumpulkan anak anak perempuan di dalam kontrakan yang beliau sewa. Tidak semua anak perempuan, ya karena beberapa kekeh soal hubungan perempuan dan dapur. Kak Cal mengajarkan aku dan kawan ku cara membaca, menghitung dan menulis. Tiap hari selalu ada progress.
Kegiatan yang Kak Cal lakukan sebenarnya secara diam diam, karena masih ada orang tua yang tidak mau anak perempuannya belajar. Mereka bilang, anak perempuan harus membantu ibunya untuk memasak dan menjual barang dagangannya, belajar hanya akan membuang waktu. Di desaku, para ayah bekerja sebagai petani tradisional dan para ibu mengelola dan memproduksi barang dagangan hasil Bertani.
Kak Gen dan Kak Abi juga sebenarnya ingin sekali membantu, tapi jika terlalu ramai, mereka akan ketahuan dan diusir dari desa. Kak Cal sangat sabar, tapi sayangnya, banyak kawanku yang gugur dalam proses pendidikannya ini. Orang tua mereka tidak setuju, ya karena proses produksi dagangan keluarga berkurang. Hanya tersisa aku, ya Cuma aku. Anak perempuan yang kaya sudah mengikuti sekolah yang sesungguhnya, tidak diam diam sepertiku.
Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi seorang srikandi yang terhormat, sesuai dengan doa ibuku. Kak Cal mengajarkanku pelajaran Sekolah Dasar, tapi sayangnya, setelah 9 bulan Kak Cal mengabdi di desaku, dia dilamar oleh seorang pebisnis sukses di kota.
“Maaf Chan, bukan maksud gurumu ini meninggalkan tanggung jawabnya, tapi tugas saya telah usai, kamu sekarang bisa membaca, menulis dan menghitung, saya pamit hendak balik ke kota, saya dilamar oleh lelaki yang baik, mungkin dilain waktu kita dapat bertemu, jadi Srikandi yang hebat ya Chandrakanti Latoya.” Ujar Kak Cal sembari memberi buku kepada ku. Beliau memberiku banyak sekali buku agar dapat aku pelajari secara mandiri.
Oh betapa sedihnya ucapan itu, maksudku, kenapa beliau tidak bilang bahwa ia akan Kembali lagi? Bagaimana jika aku tidak menjadi srikandi? Dan Kak Cal adalah orang yang berpendidikan, tapi mengapa dia tidak Kembali untuk membangun sekolah disini? Apa akan menjadi wanita dapur seperti apa yang orang lain bilang?
Ngomong ngomong, Kak Abi dan Kak Gen tetap mengabdi, tapi setelah 2 tahun lamanya mengabdi, mereka harus menikah dan mendapatkan tawaran pekerjaan yang tak tanggung tanggung gajinya, karena memang laki laki harus mampu menafkahi keluarganya kelak.
Pelajaran Sekolah Dasar mampu aku pelajari dengan waktu 4 tahun. Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah adalah masa perjuanganku. Orang tuaku siap membayar berapapun jumlahnya. Mereka melihat kesungguhanku dalam belajar. “Tidak perlu ayah, ibu”, aku mengucapkan itu beribu ribu kali, tapi yang mereka bilang “Aku ini orang tuamu, sudah menjadi kewajibanku menyekolahkanmu”. Jujur, sangat tidak enak hati aku mendengar itu, tapi disisi lain aku juga senang, karena aku dapat bersekolah.
Aku sangat mengerti soal ekonomi keluargaku, kau mau tahu bagaimana? Untuk makan sehari hari saja, kami masih sering berpuasa. Memaksa dan mengubah pikiran orang tuaku merupakan hal yang mustahil. Setelah aku menjadi srikandi, aku akan membawa orang tuaku ke tempat yang lebih baik lagi.
Di Sekolah, aku selalu mendapat peringkat terbaik dari seluruh siswa. Aku juga keterima di universitas ternama yang aku idamkan. Aku lulus sebagai cumlaude jurusanku di kampus. Suatu saat, ketika aku sedang makan bakso dipinggir jalan, samping kampus (aku baru saja selesai mengambil berkas dari kampus) ada email yang masuk ke dalam ponselku.
Aku mendapatkan tawaran pekerjaan yang gajinya lumayan besar bagiku.Tanpa ragu aku terima. Tiga hari setelah email itu masuk, aku pergi ke perusahaan itu, disana aku bertemu dengan calon atasanku, kamu tau siapa salah satunya? Kak Cal. Betapa senangnya hatiku, beliau membisikanku “Selamat srikandi, kamu menaklukannya”. Deras air mata tak sanggup beliau tahan. Aku juga begitu.
Diam seribu bahasa, tak mampu menyusun kalimat yang tepat untuk mengucapkan rasa terimakasihku. “Terimakasih Kak”, hanya itu yang dapat ku utarakan.
Setelah dua tahun aku bekerja disana, aku keluar. Aku ingin menjadi pengacara dan membangun beberapa sekolah alam di berbagai desa terpelosok, sekolah yang nyaman diperuntukan untuk anak anak, segala gender. Kesetaraan gender adalah hal yang perlu diingat. Semua gender berhak mendapatkan pendidikan.
Aku terkenal di dunia maya sebagai pengacara dan juga seorang jurnalis. Ku ceritakan banyak hal mengenai pendidikan dan sekolah alamku.
Bagaimana perasaan orang tuaku? Mereka bahagia bukan main. Ku perbaiki Sebagian gubuk di desaku, agar layak disebut rumah. Orang tuaku juga ku berikan rumah baru di kota yang mereka idamkan, ada kolam berenang di dalamnya. “Terimakasih, orang yang terhormat”, begitu kata orang tuaku. Ya sekali lagi, aku diam seribu bahasa.
Terimakasih Kak Cal, membantu mewujudkan cita citaku sebagai srikandi yang terhormat. Terimakasih ayah dan ibu, atas segalanya.
Profil:
Hii, my name is calista sahla, I am 15 years old. If you guys have criticisms and Suggestions, you can email me yes on the C**(censored)**
XOXO
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar