Rumah dalam Isolasi, Hati dalam Pelukan
Tahun 2020 menjadi titik balik dalam hidupku. Pandemi COVID-19 datang begitu tiba-tiba, seperti badai yang menggulung tenang lautan kehidupan kami. Sekolah mendadak ditutup, jalanan berubah sunyi, dan suara sirine ambulans menjadi lagu yang tak pernah ingin kudengar.
Aku, Alkisyah, saat itu siswi kelas 3 Sekolah Dasar, harus belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru: belajar dari rumah lewat layar, memakai masker ke mana pun pergi, dan menjaga jarak dari orang-orang yang dulu bisa kupeluk tanpa ragu.
Pandemi COVID-19 tentu sudah lama kami dengar. Keluargaku selalu berusaha disiplin—memakai masker, menghindari kerumunan, dan rajin mencuci tangan. Namun ternyata, virus itu tak selalu bisa dicegah oleh usaha terbaik manusia. Ia bisa datang diam-diam, seperti angin malam yang tak kasat mata.
Saat itu libur sekolah, dan ayahku mulai demam. Kami mengira ia hanya kelelahan. Tapi ketika ia kehilangan indra penciuman dan batuknya tak juga reda, firasat buruk mulai menyelimuti rumah kami. Kekhawatiran tak bisa lagi disembunyikan. Akhirnya, ayah dan ibu memutuskan untuk menjalani tes swab. Dan benar saja—hasilnya positif.
Raut cemas jelas tergambar di wajah mereka ketika mengabarkan kabar itu kepadaku, anak pertama dalam keluarga. Adikku yang masih kecil belum benar-benar mengerti apa arti semua ini. Keesokan harinya, kami dibawa ke rumah sakit untuk dites. Hasilnya: aku dan adikku pun terpapar.
Sepulang dari dokter, jujur saja, aku merasa dunia runtuh. Ketakutan menggumpal dalam dada. Selama ini, setiap kali membaca berita tentang COVID-19, yang terekam di pikiranku hanyalah kematian, kesedihan, dan kesendirian. Aku selalu berdoa agar tak pernah mengalami itu semua. Namun, takdir berkata lain.
Aku menangis diam-diam di sudut kamar, membiarkan air mata jatuh satu per satu. Tapi di tengah tangis itu, ibu datang, memelukku erat, sehangat matahari pagi yang menembus jendela. Ia menghapus air mataku pelan dan berkata dengan suara yang lembut, "Tak apa, Nak. Ini bukan akhir dari segalanya. Kuncinya adalah menjalani semuanya dengan bahagia. Jangan takut. Kita sudah berada dalam lindungan dan takdir Allah."
Kata-katanya bagai cahaya lilin di tengah ruangan gelap. Memberi kehangatan, sekaligus harapan.
Kami menjalani isolasi mandiri selama sepuluh hari. Rumah kami berubah menjadi tempat penyembuhan dan tempat belajar tentang makna kebersamaan. Banyak tetangga dan kerabat yang menunjukkan kasih dengan cara sederhana: meletakkan makanan, vitamin, dan buah-buahan di gerbang rumah. Mereka tak bisa memeluk kami, tapi perhatian mereka terasa seperti pelukan dari kejauhan.
Hari-hari selama isolasi berjalan dengan pola yang hampir sama: bangun pagi, ibadah, sarapan bersama, berjemur di halaman, menonton film, bermain PlayStation, lalu minum obat dan vitamin. Tapi di balik kebosanan yang terkadang mendera, ada kehangatan yang tumbuh diam-diam. Kami jadi lebih sering makan bersama, lebih banyak berbincang, dan tertawa karena hal-hal kecil yang selama ini terlewat.
Pandemi memang memisahkan banyak orang dari dunia luar, namun justru mendekatkan kami dalam rumah ini. Di tengah ujian yang penuh akan kesedihan, aku belajar bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal fisik yang sehat, tapi hati yang kuat dan penuh cinta.
Kini, setiap kali aku melihat ke jendela—tempat dulu aku mengintip dunia luar sambil berdoa agar semua lekas membaik—aku tahu, bahwa meski badai datang, rumah dan keluarga adalah pelabuhan paling aman untuk kembali.
Tulisan Kedua
Jum'at, 1 Agustus 2025
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar