21122, Ketika Impian Besar Itu Direstui
21122, Ketika Impian Besar Itu Direstui
Oleh: Alexandria Zazila
Tidak ada manusia yang tidak ditanyakan perihal impiannya. Semua orang selalu penasaran akan hal tersebut, sehingga mulai dari kecil, aku sudah dijatuhi pertanyaan, “Kalau sudah besar, mau jadi apa?” Dulu, pertanyaan itu mampu membuatku bersemangat sehingga dapat menjawabnya tanpa ada keraguan. “Jadi dokter! Karena aku mau menyembuhkan orang-orang yang sakit…dengan begitu, mereka enggak sedih lagi.”
Tetapi nyatanya konsisten perihal impian itu sulit sekali ya, karena aku begitu sering mengganti impianku. Hal ini juga membuat pikiran dibanjiri dengan sejuta tanda tanya. “Bagaimana aku bisa mewujudkan impianku jika terus berubah-ubah seperti ini?” pertanyaan inilah yang membuatku tertampar, sehingga aku mulai serius untuk mencari apa sebenarnya impian yang akan selalu kugantungkan di bulan.
Di saat aku telah memantapkan hati untuk menerbangkan impian menjadi seorang jaksa, Semesta memberikanku sebuah kejutan yang benar-benar tak bisa kuduga. Ibu melarangku mengambil jurusan IPS beberapa hari sebelum pendaftaran siswa Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember dibuka. Padahal untuk menjadi seorang jaksa, aku harus masuk jurusan IPS agar relevan dengan fakultas yang akan aku ambil kelak, yaitu Fakultas Hukum. Pada saat itu, aku berusaha menjelaskannya, namun Ibu tetap pada pendiriannya. “Nanti kan bisa lintas jurusan, Kak. Kalau IPA bisa masuk ke rumpun IPS, tapi kalau IPS tidak bisa masuk ke rumpun IPA.” Kala itu, aku kecewa berat dengan keputusan Ibu. Bahkan aku sempat berpikir untuk tidak menghiraukan perkataan Ibu dan tetap memilih jurusan IPS sebagai jurusan yang dituju pada formulir pendaftaran. Namun, perkataan tentang melakukan apapun yang tidak direstui Ibu akan berujung buruk itu terus menghiasi benakku tak kenal lelah.
Aku berakhir menjadi siswi di jurusan IPA yang bahkan tidak aku minati sama sekali dan itu sungguh membuatku stres selama beberapa bulan. Aku kerap menangis saat mengerjakan tugas, membenci diriku sendiri saat tidak bisa mengerti fisika, matematika, ataupun bahasa Arab, insecure dengan teman sekelas yang pintar-pintar. Pada fase itu pula, aku sudah menyusun rencana untuk mempelajari pelajaran jurusan IPS guna mempersiapkan lintas jurusan. Akan tetapi, rencana itu kandas karena lintas jurusan tidak semudah yang Ibuku bayangkan serta ketidakmampuanku mengatur waktu dengan baik.
Dengan begitu, aku memutuskan untuk belajar mencintai dan mengakrabkan diri dengan seluk beluk sains. Tak hanya itu, aku mulai mencari-cari jurusan apa yang aku minati di rumpun IPA. Dari sana, aku tertarik dengan dua pilihan, yaitu Teknik Perminyakan dan Teknik Geologi. Akan tetapi, kali ini aku ragu karena satu alasan; aku tidak suka belajar fisika. Melihat hasil itu, aku memutar otak dan mulai mencari tips untuk memilih jurusan yang sesuai. Ada suatu tips yang terus tertancap dalam pikiran dan hatiku, yakni memilih bidang yang buat kamu mencuri-curi waktu buat belajar, memicu ‘sense of wonder’ dari dalam diri, dan menjadi bidang yang akan kamu tekuni seumur hidup kamu. Ya, aku sudah mendapatkan jawabannya. Jawaban itu persis seperti apa yang aku ucapkan waktu masih berusia 6 Tahun. “Jadi dokter! Karena aku mau menyembuhkan orang-orang yang sakit… dengan begitu, mereka enggak sedih lagi.”
Sayangnya, di saat aku sudah menggantungkan impianku di bulan, aku selalu takut dan berakhir menyembunyikan impian itu rapat-rapat. Aku tahu bahwa impianku kali ini tidak akan direstui. Ibu selalu berpesan agar tidak mempunyai impian menjadi seorang dokter karena biaya pendidikannya yang tidak sedikit. Bahkan di saat teman Ibu bertanya kepadaku apakah aku tertarik di bidang medis seperti anaknya yang tengah menempuh pendidikan dokter itu sukses membuatku mati kutu. Ibu langsung menjawab bahwa aku ingin bersekolah di sekolah kedinasan, padahal aku tidak tertarik sama sekali. Saat teman Ibu dan anaknya pamit pulang, Ibu berkata betapa senangnya Ibu jika punya anak seorang dokter. Aku merenung. Jikalau aku bersuara mengenai impian itu, apakah Ibu akan merestuinya?.
Setelah Ibu berhasil diembolisasi dan diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit Dr. Soetomo, dengan penuh keberanian aku menghadap dan mengatakan rencanaku. Ibu menjawab dengan jeda agak lama, membuat jantungku ingin mencuat keluar saking gugupnya. Jawaban yang Ibu layangkan membuatku tersenyum dengan senang. DIa memperbolehkan aku mengambil Fakultas Kedokteran, mendoakanku agar diterima, dan memberi pesan agar membantu pengobatan orang-orang yang tidak mampu.
Dari sini aku belajar bahwa dengan impian, kita dapat bergerak maju dengan semangat yang membara untuk mencapainya. Hendaknya, impian itu sudah mengantongi ridho orang tua ya!. Karena ridho Allah SWT., bergantung dari ridho orang tua. Dan, tidak perlu takut untuk mempunyai impian besar, teman-teman! Seperti kata Ibu Susi Pudjiastuti, “Cita-cita yang tinggi memang bukan kunci kesuksesan, tetapi rahasia orang sukses adalah mempunyai cita-cita yang tinggi.”
Semangat!. Nanti kita cerita bersama ketika sudah berhasil mencapai impian besar nan indah itu, ya!.
***
BiografiPerempuan yang berasma Alexandria Zazila Risqi dilahirkan di Jember, 18 Desember 2005 dan sedang menempuh pendidikan di MAN 02 Jember. Ia mempunyai banyak kegemaran, yaitu menulis, belajar bahasa asing, mendengarkan lagu, dan menonton film. Sekarang ia sedang berjuang untuk keluar dari zona nyaman yang sudah lama membelenggunya. Ia dapat dihubungi dengan: **(censored)**melalui WhatsApp atau **(censored)** melalui email.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar