Kembali (H-14)
Langkahku mengarah lurus pada sebuah gitar tua yang tengah bersender di lemari kayu. Teringat meriahnya suara tepuk tangan yang sering kudengar dulu. Lama memang, sudah dua tahun sejak kali terakhir aku menyentuhya. Dan sekali lagi aku hanya bisa memberi senyuman pada sobat lama itu.
Ruangan ini, gudang sekolah kami. Penuh dengan berbagai alat musik yang telah berdebu. Aku menatap sekitar, tak ada seorang pun di sini. Hanya aku, dan beberapa rayap. Ini sudah lewat jam tiga sore. Mungkin tinggal beberapa orang yang masih menghuni sekolah. Dan di antara kesunyian ini lagi-lagi dia muncul. Aku hanya tersenyum tipis membalas tatapannya.
Gadis itu. Gadis berambut sepundak dengan kacamata burung hantunya. Si tak terlihat. Remaja malang itu. Sahabatku Bella.
Benar, mungkin anak ini terlalu naïf untuk mengatakan apa yang dirasakannya. Aku hanya merindukannya. Tapi belum bisa kuungkapkan. Tak bisa kuutarakan bahwa aku menginginkan semua kembali seperti dulu.Dia selalu mendatangi tempat ini di jam yang sama tiap hari, sejak aku menyerah pada musik. Setiap nada yang kudengar mengingatkanku pada suara merdunya. Itu mengapa aku memilih untuk berhenti.
Dia terus menatapku, kami sangat dekat saat ini. Aku ingin keluar dan meninggalkannya sendiri di ruangan ini, tapi tak bisa. Sulit bagi otak ini memberi perintah pada otot-otot untuk bergerak. Aku masih mematung. Mengingat kelalaian bodohku yang menyebabkan ini semua terjadi.
Tepat dua tahun lalu. Di tengah lapangan yang berada di tengah-tengah bangunan sekolah kami. Nagajingga, band kami saat itu hendak mendemokan ekskulnya. Aku memangku gitarku dan yang lainnya telah siap dengan bagiannya masing-masing.
Saat itu Bella tersenyum padaku, sangat manis. Dia menatapku, kemudian dagunya menunjukkan pada stopkontak di sampingku. Dia tak suka bicara banyak, kode seperti itu sudah biasa dilakukannya. Tapi kali itu aku salah mengartikannya. Kupikir mengerti betul maksudnya. Kupikir hanya perlu mencolok kabel microphone ke sana. Kulakukan, tapi yang terjadi selanjutnya bukan yang kami harapkan.
Cahaya yang terang dan menyilaukan terpancar. Hal terakhir yang mataku lihat saat itu. Telingaku sempat berdengung.
Dummnn!!!
Sebuah ledakan.
Pengelihatanku kabur. Aku mungkin setengah sadar, namun telinga ini masih bisa mendengar sirine ambulans dan pemadam kebakaran dengan jelas. Juga suara histeris, kebingungan serta rintihan mereka yang terluka. Aku mendengarkan beberapa suara untuk beberapa saat. Sampai kesadaranku benar-benar hilang saat itu. Dan yang terakhir kudengar adalah, suara Bella yang memanggilku pelan, sangat lemah.
Dua bulan berlalu sangat cepat di atas kasur, sampai aku siuman. Mataku menatap lingkungan yang asing. Tempat itu adalah salah satu ruangan di rumah sakit.
Bella.
Nama itu begitu saja teringat di benakku. Aku hendak bangun dari kasurku, tapi aku belum sembuh total untuk bisa melakukan hal itu. Aku menolehkan kepala untuk menatap sekitar, berharap ada orang lain yang bisa kumintai bantuan di sana. Tapi hal lain yang dilihatnya.
Ruangan di sebelah kanan ruanganku, hanya dibatasi sebuah dinding kaca transparan. Gadis itu terbaring di sana. Dengan berbagai alat bantu penunjang hidupnya saat itu. Aku merasa sangat bersalah. Karena aku, semuanya salahku.
Mungkin aku perlahan mulai gila. Sejak saat itu aku merasakan, bahkan melihat kehadiran Bella lainnya. Bella yang tak bisa dilihat oleh orang lain. Dia tersenyum dan terus meyakinkan bahwa semua itu bukan salahku.
Bahkan hari ini. Lagi-lagi di dalam gudang ini Dia juga tersenyum padaku. Aku menatapnya balik, dengan penuh harapan. Semua keluar begitu saja dari mulutku.
“Gua kangen sama lo, Bel. Cepet sembuh, dan maaf untuk semuanya. Cepet balik ke sini. Biar kita bisa manggung bareng lagi. Biar kita bisa main bareng lagi. Biar bisa ketawa sama-sama lagi. Mungkin cuma lo yang bisa balikin istilah ‘musik’ ke dalam ingatan manis gua. Dan ngapus semua kenangan buruk tentang itu.”
Aku mengharapkan jawaban, namun anehnya sosok itu menghilang perlahan, seperti terbawa angin. Aku terpaku menatap kepergian tanpa jejak itu. Tak peduli kemana perginya, aku tak mau kehilangan Bella.
Dering ponsel memecah lamunanku. Aku meninggalkan gudang dan mengangkatnya.
“Halo?”
Lidahku kelu, tak terpikirkan satu pun kata lagi untuk dikeluarkan saat ini. Aku hanya berlari ke luar gerbang. Pergi dengan taksi yang kebetulan melintas di sana. Aku tersenyum, tak percaya. Tapi aku benar-benar bahagia.
Telepon masih tersambung. Aku masih menggenggam erat ponselku yang kutempelkan di telinga kanan. Kuharap aku tak salah dengar kali ini.
“Lo yakin? Ini beneran, kan?”
Aku menggigiti bibirku, gerogi.
“Iya, Bella siuman.”
Aku bergumam pelan setelah menuruni taxi, “kita mulai dari awal lagi, Bel.”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar