Astraea Althea

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
X Elemental Amigo - Rahasia Carikan Kertas (1)

X Elemental Amigo - Rahasia Carikan Kertas (1)

Rahasia Carikan Kertas

Aku terbangun dengan keringat bercucuran. Jantungku berdegup kencang. Aku segera memeluk boneka kelinciku yang lembut. Perasaan takut masih memenuhi hatiku. Dengan tangan lemas, aku mengambil gelas berisi air putih di meja, kemudian meneguknya dengan cepat.

Mimpi buruk.

Sekujur tubuhku gemetar. Otot-ototku lemas. Rasanya, aku tidak bisa berpikir lagi. Mimpi buruk itu benar-benar merasukiku. Seolah mengambil akal sehatku. Pandanganku terasa berkunang-kunang, seisi ruangan terlihat buram. Bahkan boneka kelinciku sekarang terlihat super besar, seperti monster kelinci dengan gigi taring yang sangat tajam dan mata merah yang berkilat jahat. Astaga, sepertinya aku benar-benar kelelahan. Apakah semua ini adalah halusinasiku?

Aku berusaha mengatur napasku. Berusaha tenang. Akan tetapi, bayangan tentang sosok berjubah berceceran darah yang memegang katana terus menghantuiku. Tawa kejamnya, dan… teriakan minta tolong ayah dan ibu yang terus bergema di dalam mimpi. Aku dikejar-kejar sosok berjubah itu, juga angin berdesir dengan aura mistis, berterbangan bersama simbol-simbol misterius yang tidak kuketahui artinya. Aku terus berlari dalam gelap—benar-benar gelap sampai kukira aku sedang menutup mata—sementara peristiwa-peristiwa buruk yang pernah kualami terus terbayang-bayang. Aku hampir ditusuk katana oleh sosok berjubah itu, ketika aku jatuh ke lubang tak berdasar dan aku pun terbangun.

Aku bergegas turun dari tempat tidurku, kemudian merapikannya. Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang, adalah bergerak, sebagai pengalih perhatian. Aku segera pergi ke Kebun Kesegaran untuk mencuci muka. Namun, perasaan takut terus mengekor, mengikuti dan menghantuiku. Aku merasakan desiran angin yang berbeda, merasa seolah semua benda menatap ke arahku.

Aku buru-buru mencuci muka. Aku membasahi seluruh wajahku dengan air. Cipratan airnya mengenai bajuku. Setelah terasa segar, aku pun kembali rumahku. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.

Carikan kertas itu.

Aku merogoh sakuku dengan tanganku yang sudah kering dari air. Sekarang sudah cukup terang untuk membaca tulisan pada carikan kertas tersebut.

Kerajaan Fourheaven …….

Master Fau, ahli bela diri pengendali elemen api….

Dan tulisan-tulisan lain yang tidak kumengerti maksudnya.

Hmm… Sepertinya carikan kertas itu disobek dari sebuah buku. Aku yakin, seratus persen. Tapi, masalahnya, dari buku yang mana..? Di rumahku, tidak ada begitu banyak buku. Jumlahnya hanya hitungan jari.

Lalu, apa maksud dari Kerajaan Fourheaven? Kenapa nama kerajaannya sama seperti namaku, Freya Fourheaven? Ah.., entahlah.

Tiba-tiba, aku mengerti, kenapa ayah dan ibu pergi ke hutan. Mereka pasti berusaha mencari tahu jati diriku yang sebenarnya, meskipun aku tidak tahu kenapa mereka memilih untuk pergi ke hutan untuk mencari tahu siapa orangtuaku sebenarnya. Mungkin mereka mendapatkan petunjuk dari carikan kertas ini.

Portal menuju rumah Master Fau ada di—dan kalimat itu terputus karena memang setelah itu sudah akhir carikan kertasnya, maksudnya, sudah bagian robeknya.

Master Fau… Master Fau… pasti yang dimaksud adalah, portal menuju rumah Master Fau ada di hutan Scherenette. Kalau begitu, Master Fau pastilah tokoh penting dalam pencarian jati diriku yang sebenarnya. Dia pasti tahu segalanya, dan mungkin dia ada hubungannya dengan Kerajaan Fourheaven yang disebut-sebut tadi. Hmm…

Yah, untuk mendapatkan petunjuk yang lengkap, aku harus mencari sisa dari sobekan kertas ini. Bukunya. Semoga saja nanti aku bisa mengetahui jati diriku yang sebenarnya.

Carikan kertas itu benar-benar mengalihkan perhatianku dari kematian ayah dan ibu.

***

Tok tok tok! Pintu rumahku diketuk.

Aku mengenali irama ketukan pintu itu. Yang berada di luar sana pasti Julia dan Julie.

“Sabar sebentar, Jul,” aku menyahut.

Aku buru-buru menyisir rambutku yang berantakan, kemudian mengganti pakaian tidurku dengan kaus lengan panjang dan mantel berbulu. Itu mantel kesukaanku, mantel mewah yang dibawakan oleh Paman Kai dari kota. Kenapa aku pakai mantel? Cuaca di luar dingin berangin, jadi siapa yang akan melupakan mantel? Cepat sekali cuacanya berubah, tadi saat aku pergi ke Kebun Kesegaran masih angin semilir.

Aku membukakan pintu. Angin berhembus kencang, mengibarkan rambutku. Udara dingin menggigit kulitku. Aku merapatkan mantel, melingkarkan lenganku ke tubuh. Dingin sekali, membuatku menggigil. Aku memandang langit gelap di luar, beberapa kali petir menyambar. Kemudian, pandanganku beralih ke wajah Julie dan Julia.

“Kau lupa. Hari ini upacara pemakaman ayah dan ibumu,” ujar Julia, dengan suara pelan.

Aku terdiam. Aku baru ingat akan hal itu. Mataku kembali berkaca-kaca. Bayangan akan mimpiku kembali terlintas di kepala.

“Mmmh.., kita langsung ke Pemakaman Amaire?” aku bertanya. Amaire adalah nama desa kami. Kalian tidak pernah kuberitahu sebelumnya, kan?

Julie dan Julia serempak mengangguk. Julie menggenggam tanganku dengan sarung tangannya yang hangat, kemudian menarikku. Kami bertiga pergi ke Pemakaman Amaire.

Di Pemakaman Amaire, sudah banyak penduduk desa lainnya yang berkumpul. Petugas pemakaman sudah mengafani jasad ayah dan ibu, yang mengembalikan luka di hatiku. Teringat akan mimpiku yang terus menghantuiku, juga teriakan minta tolong ayah dan ibu, dan… ayah Ai. Ugh, di mana dia sekarang, dan anaknya yang menyebalkan itu?

“Freya Fourheaven, putri Sena Saralia dan Zen Zaenal, silahkan maju dua langkah ke depan,” ucap Mi-yeo-kun, tetua desa.

Aku maju dua langkah ke depan, ke arah kuburan yang siap digali. Wajahku pucatku, aku merasakan bulu kudukku yang berdiri.

Para petugas pemakaman mulai menggali tanah, menjadikannya kuburan. Aku memejamkan mataku rapat-rapat, tidak berani melihat sekaligus tidak tega melihat proses penguburan orangtuaku.

Kuburan sudah selesai digali.

Petugas pemakaman lainnya mulai memasukkan jasad ayah dan ibu ke dalam kubur. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menjerit. Air mataku menetes, tidak tahan melihat tubuh kedua orangtuaku tercinta dimasukkan ke dalam kubur. Tentu saja dengan kuburan yang berbeda.

Kuburan sudah ditutup. Jasad ayah dan ibu selesai dimasukkan. Tepat saat itu, petir menyambar dengan sangat hebat. Hujan menetes dengan deras.

“Cepat cari tempat berteduh..!” seseorang berteriak kencang.

Tanpa perlu diingatkan dua kali, para warga desa segera berlarian kalang-kabut, mencari tempat berlindung. Upacara pemakaman segera terlupakan. Sementara itu, aku masih bergeming di tempat. Julie dan Julia berada di sebelahku, tidak ikut berlari. Julia menggenggam tangan kananku.

Aku menunduk dalam-dalam, memandang tanah yang sekarang becek penuh lumpur. Kubiarkan air mataku yang menetes dari ujung mata, mengalir di pipi dan akhirnya jatuh ke tanah. Aku tidak memedulikan langit yang mengamuk, gelap kelabu. Aku tidak memedulikan hujan yang turun dengan derasnya, membasahi setiap jengkal tanah ini. Aku tidak memedulikan petir yang menyambar-nyambar dengan dahsyat, kilat dan guntur yang memekakkan telinga. Aku tidak peduli. Hatiku teriris melihat ayah dan ibu yang tak ada lagi untuk memelukku.

Ya, mereka memang tidak ada lagi di sisiku. Tapi di hatiku, selalu ada sosok mereka yang senantiasa melindungiku.

Ya, memang tidak ada lagi cinta kasih mereka di sekelilingku. Tapi cinta dan pengorbanan mereka akan selalu membekas di hati.

Ya, suara lembut dan tawa riang mereka memang sudah tidak ada. Tapi setiap perkataan dan suara mereka selalu bergema di hatiku.

Ya, mereka memang tidak ada lagi untuk memelukku. Tapi pelukan hangat mereka selalu ada untukku, di hatiku. Dan kedua sahabatku yang senantiasa menemaniku, kesetiaan mereka bagaikan pelukan ayah dan ibu.

Julie merangkulku, berbisik menenangkanku. Suara bisikan khasnya menggelitik telinga kiriku. Sementara Julia memelukku dari belakang.

“Freya… Kami akan selalu ada di sisimu, senantiasa menemanimu, jadikanlah kami sahabat sejatimu..,” begitu Julie berbisik.

Air mataku menetes penuh haru.

“Kami tidak akan meninggalkanmu lagi, Freya,” Julia di sebelah kananku berbisik.

“Dahulu, sekarang, selamanya. Kalian adalah sahabat sejatiku,” aku berbisik. Air mataku berjatuhan ke tanah. Lebih deras daripada hujan yang turun.

Dahulu, sekarang, selamanya. Kami adalah sahabat sejati. Tidak peduli hujan turun dengan deras, badai berembus menghancurkan segalanya, kami sahabat sejati. Sahabat dalam suka dan duka.

Sayangnya, ada yang menghancurkan semua harapan kami. Semua benih-benih persaudaraan kami.

***

“Ayo kita berteduh!” ucap Julie.

Julia memeluk mantelnya yang basah terkena air hujan. Hujan masih turun dengan deras, sama derasnya dengan kesedihanku. Mungkin langit turut berduka cita atas kematian ayah dan ibu.

Aku mengangguk. Aku mengajak mereka untuk berlindung di dalam rumahku. Angin di luar rumah sedang tidak bersahabat, jadi kami harus berhati-hati. Kami harus saling berpegangan tangan agar tidak terpisah atau tertiup angin. Setelah beberapa menit bersusah payah menerjang badai, kami pun sampai di rumahku. Kami buru-buru mendekatkan diri ke perapian.

Aku memandang bungkus berisi bubuk cokelat di lemari, kemudian beralih ke botol air panas. Aku berinisiatif untuk membuat tiga cangkir cokelat panas. Setelah melepaskan mantel yang basah dan menggantinya dengan jaket lain yang sama tebal, aku mengambil tiga cangkir dari dalam lemari, kemudian meletakkannya di meja. Lalu, aku mengambil bungkus berisi bubuk cokelat dan menaburkannya sama rata ke dalam setiap cangkir. Setelah selesai, aku pun menuangkan air panas ke dalam setiap cangkir dan mengaduknya.

Aku meletakkan ketiga cangkir di atas nampan kayu, kemudian memberikannya kepada Julie dan Julia. Menyadari kalau mantel mereka basah, aku melepasnya perlahan, kemudian menggantinya dengan selimut. Setelah itu, aku mengambil selimut lain dan menghamparkannya sehingga menutupi kakiku, kaki Julie, dan kaki Julia. Kami saling pandang, melempar senyum.

“Oi, kertas apa itu yang ada di sakumu, Frey?” tanya Julie.

“Oh, ini?” aku mengeluarkan carikan kertas yang selalu kusimpan di dalam saku celanaku.

“Iya, kertas apa itu?” Julie bertanya lagi.

Aku menyodorkan kertas itu kepada mereka. Kalau aku yang membaca isinya, mereka tidak akan percaya. Tapi, kalau mereka membaca, mereka tidak akan mengerti. Ah, sama saja, lah, seperti aku.

“Kerajaan Fourheaven… apa maksudnya ini, Freya? Bukankah ini sama dengan namamu?” Julia bertanya.

“Yeah.., entahlah. Aku juga sedang berusaha menafsirkannya,” aku memasang seringai di wajah.

“Ini sangat menarik, Freya. Dari mana kamu mendapatkan kertas ini?” tanya Julie.

Sosok ayah dan ibu yang terbaring di tanah tanpa daya, dengan pakaian berdarah-darah, kembali terbayang di kepalaku. Raut wajahku berubah menjadi sedih. Siapa yang tidak sedih jika mengingat orangtuanya yang sudah meninggal? Yah.., walaupun mereka bukan orangtua kandungku…

“Aku menemukannya berada di dalam genggaman tangan Ibu saat… saat dia.. meninggal…,” suaraku berangsur-angsur menjadi lirih.

Julia menepuk pundakku, tatapan matanya berusaha menenangkanku. Aku mengulas senyum, berusaha mengusir kesedihan yang berjejalan di hati.

“Jadi.., kertas ini… mungkin bisa menjadi petunjuk tentang orangtua kandungku yang sebenarnya..,” aku menjelaskan dengan singkat.

“Orangtua kandungmu?” Julie dan Julia melongo.

“Iya. Kalian ingat, kan, ketika Ai mengejekku anak pungut atau apa pun itu? Entah bagaimana caranya dia tahu kalau aku tinggal bersama orangtua tiriku. Dan Ayahnya—“

“Ayahnya apa?” Julie bertanya, mendesakku.

Aku menggeleng. Soal Ayahnya yang kuduga membunuh Ayah dan Ibu dan menyakitiku, tidak tepat untuk kuberitahu sekarang. Aku belum bisa memastikan bahwa Ayahnya Ai-lah yang membunuh Ayah dan Ibu. Tidak, tidak sekarang ini, mungkin besok-besok, ya, suatu saat nanti, aku pasti bisa mendapatkan bukti bahwa… bahwa Ayahnya Ai-lah yang membunuh Ayah dan Ibu.

Tunggu! Bukankah itu buktinya…? Kalian ingat, percakapanku dengan Ayahnya Ai?

“Kau.. Kau yang membunuh Ayah dan Ibuku! Ya, kan?! Jangan coba-coba mengelak, ya!”

“Tenang, Putri. Tenang. Tujuanku membunuh dua orang itu adalah untuk menyadarkan Putri bahwa mereka bukan orangtua Putri. Tujuanku adalah untuk memberitahu Putri, siapa orangtua kandung Putri…,”

“Lantas, siapa?! Aku tidak peduli siapa pun kamu! Meskipun mereka bukan orangtua kandungku, tapi mereka yang merawatku selama sebelas tahun!”

Percakapan itu kembali terngiang di kepalaku. Menimbulkan rasa sakit dan membuka kembali luka di hati. Dia membunuh Ayah dan Ibu untuk menyadarkan bahwa mereka bukanlah orangtua kandungku… Dia hendak memberitahu kepadaku, siapa sebenarnya orangtua kandungku. Dan, aku ingat, dia juga memanggilku dengan sebutan “putri”. Hei, kenapa harus dengan cara membunuh?

Aku meneteskan air mataku, kembali teringat dengan jasad Ayah dan Ibu di tengah hutan, terbaring penuh darah berceceran. Juga tangisanku saat itu, dan wajah mereka yang akan selalu kurindukan.

Sementara itu, badai semakin dahsyat di luar, petir menyambar-nyambar dan guntur berdentum memekakkan telinga. Pats! Tiba-tiba, lampu ruangan mati. Aku buru-buru menyeka air mataku, kemudian, dengan gelagapan mencari lilin dan korek api. Ketemu! Bruk! Aku mendengar suara barang yang terjatuh. Aku mengabaikannya. Sekarang yang penting adalah menyalakan lampu.

“Lampunya mati, ya, Freya?” terdengar suara Julie.

“Iya, sabar sebentar! Aku akan menyalakan lilin!” aku berseru.

Brak! Sebelum aku sempat menyalakan lilin, tiba-tiba, pintu rumahku terbuka dengan keras, daun pintunya nyaris copot dari engselnya malah. Aku terkejut setengah mati, menjerit menjatuhkan lilin. Teriakan Julie dan Julie malah lebih kencang lagi. Aku memandang sosok yang berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat dengan jelas ketika petir menyambar di belakangnya.

Wajah itu. Wajah kejam itu.

Ya, siapa lagi kalau bukan Ayahnya Ai? Dan, itu putrinya sendiri ada di belakangnya, ekspresi wajahnya khas seperti biasanya, datar.

Satu menit kami hanya saling pandang, menilai situasi. Julie dan Julia berkali-kali saling tatap, kemudian memandangku, lalu memandang Ai dan ayahnya, kemudian saling tatap lagi. Mereka benar-benar tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini, sungguh.

Tapi mereka akan segera masuk ke dalam masalah ini.

***

“Nona Freya, kalau Anda benar-benar keras kepala, saya akan membawa Anda secara paksa!” Ayah Ai berseru lantang.

Aku memandangnya dalam gelap, menyipitkan mata. Aku menyalakan lilin, yang menghasilkan cahaya redup.

“Apa maksud Anda ingin membawa temanku secara paksa? Mau dibawa ke mana?” Julie bertanya, sebelum aku sempat menanyakan hal yang sama.

Bukannya menjawab, Ayah Ai malah menatap Julie dengan garang.

“Singkirkan anak-anak ingusan itu, Ai! Mereka hanya mengganggu urusan kita saja!” perintah Ayah Ai pada Ai.

“Ya, Ayah,” ucap Ai pelan.

Dia berlari ke arah Julie dan Julia, kemudian, wuuuuush..! Dia melesat ke udara, mengambang, kemudian mengarahkan tinjunya ke arah Julie dan Julia. Aku melihat pusaran angin keluar dari tinjunya, melesat ke arah Julie dan Julia.

“Tidak boleh! Kamu tidak boleh menyakiti Julie dan Julia!” aku berteriak.

Aku berlari ke arah Ai, kemudian melompat ke udara dan mengacungkan tinju ke arah Ai. Astaga, apa yang dilakukan oleh tubuhku? Kenapa tubuhku bergerak sendiri? Ya ampun, bodoh sekali mencoba melakukan hal yang sama seperti Ai. Aku kan bukan Ai. Tapi…

Jika kalian mengira kalau tidak terjadi apa-apa, atau bahkan kalian mengira aku akan jatuh ke lantai, kalian salah.

Bum! Sentakan angin keluar dari tanganku, meskipun kalah dahsyat dibandingkan punya Ai. Pusaran angin itu melesat ke arah Ai.

Hasilnya? Bruk! Kami berdua jatuh ke lantai, disentak angin. Seri.

Ayah Ai terdiam, berhitung menilai situasi. Julie dan Julia dengan bingung memandangku, Ai, dan ayahnya Ai secara bergantian.

“Kita pergi sekarang,” dengan dingin, dia berkata kepada Ai. “Kami akan kembali lagi, tunggu saja,” dia menatapku tajam.

Dia pun pergi bersama putrinya, melenggang keluar dari pintu rumahku.

***

Nantikan episode selanjutnya, Rahasia Carikan Kertas bagian 2.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjutttt! Semangat!! Penasaran tau.

19 Nov
Balas

Tysm, Kak Ai! My hobby is bikin orang penasaran :v Awokawokaowk

19 Nov

Ideku nge-stuck, Kak Ai. Hiks

19 Nov

Tapi tenang aja, pasti kulanjutin :v

19 Nov

Ohh gitu.. chemangatz terus lah!!!!!!!!!!

19 Nov

Hehehe, iya Kak Ai

19 Nov

Ini baru, kak?

19 Nov
Balas

Baru apa, Han?

19 Nov

Gapapa. Ga jd

19 Nov

Wkwkwkw

19 Nov

Hai kak Nafisa salam kenal

22 Nov
Balas

Hai, Radhwa, salam kenal :)

22 Nov



search

New Post