Astraea Althea

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

X Elemental Amigo - Namaku Freya

Namaku Freya Pagi ini, angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Ayam jago pun enggan berkokok. Daun-daun berterbangan dengan anggunnya. Gemericik air di sungai terdengar jelas. Aku merapatkan selimutku ke tubuhku, menggigil kedinginan. Kupeluk boneka kelinci berwarna putih di sebelahku. Ibu yang sedang merajut pun merapatkan mantelnya. Ayah yang sedang menyeduh kopi pun urung meminumnya, memilih untuk mendekat ke perapian. Aku memandang langit-langit kamarku yang gelap. Sama seperti langit-langit kamar di rumah temanku, rumah sepupuku, rumah guruku, dan rumah siapa pun di desa ini. Gelap dan sederhana. Aku menutup jendela kamarku supaya angin tidak masuk. Kututup tirai jendelaku yang berwarna merah muda kusam. Aku melompat kembali ke atas ranjangku, menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Gaunku yang berwarna biru langit tak lagi sebiru langit. Bahkan terasa kelam seperti cuaca di luar. Boneka kelinciku yang kupeluk sedari tadi berwarna putih, tapi tak lagi seputih kapas atau seputih salju. Sekarang, boneka kelinciku terlihat kusam, sama sekali tidak menggemaskan seperti badai salju yang menghancurkan segalanya. Aku memandang ibu yang duduk di kursi goyang di pojok kamar, memandang syal hasil rajutannya. Menilik ekspresi wajah ibu, sepertinya perasaannya sama sepertiku. Syal merah itu tidak terlihat lembut, bahkan seperti api yang berkobar-kobar yang bisa menghanguskan segalanya. Pandanganku teralih dari wajah ibu ke wajah ayahku. Dia tak lagi nafsu memandang gelas berisi kopi berwarna cokelat yang sekarang terlihat seperti lumpur lengket menjijikan yang bisa menghisap siapa pun. Perasaan kami semua sama. Bergejolak dan tak gembira sama sekali. Mungkin karena cuaca suram di luar. Atau mungkin karena kematian nenek, yang wafat beberapa minggu yang lalu. Atau mungkin karena persediaan makanan yang semakin menipis. Atau mungkin karena api perapian yang bahkan tidak menghangatkan ruangan sama sekali. Atau mungkin karena hasil rajutan yang sungguh tak memuaskan. Atau mungkin karena bonekaku yang tak lagi terlihat lucu, bahkan sekarang terlihat menyeramkan. Namaku Freya, jika sejak tadi kalian bertanya-tanya tentang namaku dalam hati, menungguku untuk memberitahu. Umurku sebelas tahun, jika kalian juga ingin menanyakan hal itu. Atau kalian juga ingin menanyakan nama bonekaku? Nama bonekaku adalah Fluffy, yang tak lagi terlihat lembut, menggemaskan, lucu, atau terasa hangat ketika dipeluk. Aku memandang wajah ayah dan ibuku. Menghela napas dalam-dalam. Kalian tahu? Mereka bukan orangtua kandungku. Mereka hanya orangtua angkat. Namun, aku tak pernah tahu siapa orangtua kandungku. Ayah dan ibu sangat terbuka padaku, tapi mereka tidak pernah memberitahu kepadaku mengenai orangtua kandungku. Atau mungkin mereka memang tidak tahu? Kata mereka, aku dititipkan oleh seseorang bertudung dengan wajah yang tertutupi tudung, ketika cuaca sedang seperti ini. Aku dititipkan olehnya ketika masih bayi. Tentu saja ayah dan ibu sangat senang menerimaku. Mereka belum punya anak bahkan setelah sepuluh tahun menikah. Kalian tahu? Mereka merawatku penuh kasih sayang. Mereka tak pernah meninggalkanku walau satu jam. Mereka sangat menyayangiku, sebagaimana aku menyayangi dan mencintai mereka. Aku tidak pernah menghiraukan fakta bahwa mereka hanyalah orangtua angkatku, bukan orangtua kandungku. Ah, kasih sayang mereka mungkin saja sama dengan kasih sayang orangtua kandungku. Mereka baik dan tulus dalam merawatku. Mereka sangat jarang memarahiku, tentu saja karena aku selalu menuruti perintah dan nasihat mereka. Aku tidak pernah menyesal berada dalam pangkuan mereka. Walaupun mereka bukan orang berada, aku tetap menyayangi mereka. Walaupun mereka tidak bisa memberikanku hadiah yang seharusnya, aku tetap mencintai mereka. Walaupun mereka hanya punya tempat tinggal yang kumuh lagi sederhana, tinggal di desa yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, jauh dari segala kemewahan dan kemajuan masyarakat kota, aku tidak akan pernah menyesal menjadi anak yang dirawat oleh mereka. Walaupun bukan orangtua kandung, mereka bagaikan sedarah dan sedaging denganku. Aku memandang lamat-lamat wajah ibu yang terlihat lelah. Keriput di wajahnya jelas terlihat. Wajah itu selalu terlihat cantik walau sudah tua. Wajah itu adalah wajah orang yang senantiasa mencurahkan seluruh kasih sayang dan tenaganya untukku, menyusui dan menimangku di kala aku masih kecil, memberikan aku makanan walau dirinya sendiri tak punya cukup makanan untuk dimakan, dan segala cinta kasihnya yang diberikan hanya untukku. Ibuku, ibu tiri yang tak pernah kuanggap rendah dibanding ibu kandung. Pandanganku beralih kepada wajah ayah, yang terlihat amat lelah dan mengantuk. Uban di rambutnya jelas terlihat, banyak pula. Wajah itu selalu terlihat tampan walau sudah tua. Wajah itu adalah wajah orang yang senantiasa mencurahkan seluruh kasih sayang dan tenaganya untukku, bekerja keras menguras tenaga walau hanya berprofesi sebagai tukang kayu, rela berjam-jam di hutan gelap demi mencari penghasilan yang cukup untuk menghidupi aku dan ibu, dan segala cinta kasihnya yang hanya diberikan untuk kami. Ayahku, ayah tiri yang tak pernah kuanggap rendah dibanding ayah kandung. “Ada apa kamu memperhatikan wajah kami, wahai rembulanku yang menerangi hatiku?” dengan kelembutan dan kasihnya, ibu bertanya padaku. Rembulan adalah panggilan kasih sayang dari ibu untukku. Tentu saja, ibu sangat menyukai rembulan dan malam hari. Ibu mengamati bulan setiap malam, dan tentu saja bintang-gemintangnya. Aku menggeleng, tersenyum simpul. Mataku berkaca-kaca penuh haru. Di cuaca keras seperti ini, mereka masih mampu bertahan, terus mengawasiku dan siap melindungiku dari bahaya apa pun. Mereka rela menahan kantuk berjam-jam, demi memastikan aku baik-baik saja dan berada dalam kehangatan yang benar-benar menghangatkan. “Tidurlah, wahai mentariku. Tidak apa, kamu tak perlu mengawasi kami berjam-jam. Bukankah kami yang seharusnya mengawasi dan memastikan kamu baik-baik saja?” ayah menyelimutiku dengan selimutnya, padahal aku sudah memakai selimut. Mentari adalah panggilan kasih sayang dari ayah untukku. Ayah selalu mengibaratkan mentari dengan cahaya hati. Mentari selalu menyinari bumi setiap hari, dari terbit sampai terbenam. Mentari tak pernah pilih kasih dalam memberi, memberikan cahaya dan kehangatan sesuai haknya masing-masing. Aku memandang wajah ayah yang tak menampakkan lelah di hadapanku. Beliau terlihat begitu perkasa walau hanya pria tak berada di sebuah desa terpencil. Aku nyaris tak bisa menahan air mataku yang hendak menetes. Ayah merasa bahwa aku masih membutuhkan kehangatan. Memang begitu faktanya. Ayah merelakan selimutnya untukku, demi memastikan aku tak lagi kedinginan. “Ini selimut Ayah. Seharusnya Ayah yang memakai selimut Ayah, bukan Freya,” aku beranjak duduk. “Tidak, wahai mentariku. Kamulah yang membutuhkan selimut itu,” ayah tersenyum tulus, malah menambahkan selimut lain dari lemari. Angin yang berhembus kencang tak terdengar lagi. Aku melompat dari atas ranjangku, menoleh ke jendela kamarku sekaligus kamar ayah dan ibuku. Kalian tahu? Ibu tidur di ranjang yang sama denganku. Sedangkan ayah tidur di tikar yang keras. Ayah dan ibu bergantian tempat tidur. Satu hari, ayah tidur di ranjang bersamaku, sedangkan ibu tidur di tikar. Esoknya, ibu tidur di ranjang bersamaku, sedangkan ayah tidur di tikar. Begitu terus, rutinitas yang dijalani bahkan sejak aku ada di rumah ini. Aku menyingkap tirai jendela. Tidak ada angin kencang lagi di luar. Langit kembali seperti semula, biru dan cerah. Awan putih berarak-arak. Gerimis menyegarkan turun membasahi tanah. Aku bersorak girang. Aku berlari keluar, melewati ruang keluargaku yang kecil. Aku membuka pintu dan melompat-lompat di tanah becek berlumpur. Ayah dan ibu tertawa riang, bersahaja menyambut hujan bersamaku. Aku berlari dan melompat ke pelukan ayah dan ibu. Kami bergabung dengan penduduk desa lainnya di hamparan rumput kosong, bermain-main menyambut hujan yang tidak terlalu deras. Itu kebiasaan di desa kami, bahkan merupakan tradisi. Kami bernyanyi-nyanyi riang. Tetua desa kami menyanyikan lagu yang dibawakan oleh leluhur kami dahulu. Aku bergabung dengan teman-teman sepermainanku. “Freya..!” Julia menyambutku. Dia memelukku, bersama teman-teman lainnya. Sudah menjadi adat istiadat di desaku untuk saling peluk ketika bertemu. Sikap saling memeluk dan menyapa dengan nada riang merupakan sopan santun dalam menyapa di desa kami. Itu hanya berlaku untuk sesama jenis kelamin saja. Jika menyapa dengan lawan jenis, maka yang dilakukan adalah saling membungkukkan badan sama rendah. “Mainnya yang rukun, ya..!” ibu membisikkan kalimat tersebut di telingaku. Kalimat yang biasa ibu katakan ketika aku bermain dengan teman. “Iya, Ibu!” aku tersenyum. “Bibi Sena!” Julia memeluk ibu, berseru dengan nada riang. “Selamat pagi, Bibi Sena!” Mia ikut memeluk ibu. Teman-temanku yang perempuan memeluk ibu demi sopan santun. Sebagian memang sudah menjadi kebiasaan, sedangkan sebagian lagi demi menghormati adat istiadat. “Selamat pagi, Freya, Julia, Mia, dan kawan-kawan semua,” Lucas menyapa. Dia membungkukkan badannya. “Selamat pagi, Lucas,” aku membungkukkan badan sama rendah dengan Lucas. Begitu juga Julia, Mia, Rose, Lily, dan Sha. “Selamat pagi, Bibi Sena,” Lucas membungkukkan badan kepada ibu. Memang, sih, acara sapa-menyapa ini cukup lama. Tapi, kita harus melestarikan adat-istiadat di desa ini. *** Hujan mulai reda ketika kami pulang kembali ke rumah masing-masing. Ibu melanjutkan merajut. Ayah menyeduh kopi. Aku bermain di halaman rumah bersama kucing liar yang tiba-tiba datang. Begitulah kami menjalani keseharian kami. Ketika hari beranjak sore, lewat pukul tiga sore, aku mulai bersiap-siap. Aku mengenakan pakaianku yang paling bagus. Kemudian, aku menyiapkan kotak berisi kapur untuk menulis. Kalian tahu, aku mau ke mana? Aku mau ke sekolah. Waktu sekolah di desa kami memang ketika sore hari. “Ibu, Freya berangkat dulu, ya..,” aku memeluk ibu. “Ini bekal untukmu, rembulanku,” ibu memberikan kotak rotan. Aku tahu isinya. Bubur hangat. Itu satu-satunya makanan yang paling lezat yang bisa kami santap setiap hari. “Terima kasih, Bu,” aku menerimanya dan memasukkannya ke dalam tas yang terbuat dari katun. Aku melangkah dengan riang ke sekolah. Sekolah kami, tidak seperti sekolah di perkotaan. Sekolah kami hanyalah sebuah saung atau gazebo sederhana. Lantai kayunya hanya dialasi tikar. Gurunya pun hanya satu, yaitu Pak Min. Sayangnya, Pak Min sudah tua dan sakit-sakitan, sehingga jarang mengajar. Kami hanya belajar dari buku pelajaran lusuh yang disediakan oleh Rie, anak Pak Min. Murid sekolah kami hanya sedikit, bahkan bisa dihitung dengan jari. Paling hanya sepuluh orang saja. Itu pun yang bersekolah, yang rajin masuk biasanya cuma lima sampai tujuh orang, termasuk aku. Hal ini dikarenakan oleh orangtua yang meremehkan pendidikan dan memaksa anaknya untuk bekerja mencari penghasilan. Ketika aku sampai di gazebo sekolah, aku segera melepas alas kakiku yang hanya berupa sandal tua. Aku melompat naik ke atas gazebo, bergabung dengan teman-temanku. Ada si kembar Julia dan Julie, Melisa, Amel, Lina, dan Rais. Aku duduk di sebelah Julia. “Pak Min sedang sakit,” ujar Rais. Rais adalah tetangga Pak Min. Aku menghela napas. Pak Min semakin sering sakit dari waktu ke waktu. Usianya sudah mencapai delapan puluh lima tahun, tahukah kalian? Tapi dia selalu setia mengajar kami. Selama tidak berhalangan, Pak Min selalu datang untuk mengajarkan kami. Cara menerangkan pelajaran Pak Min pun unik sehingga mudah dimengerti. Pak Min juga tidak pernah memarahi atau menghukum kami jika kami tidak mengerti. Pak Min baik lagi tulus dalam mengajar. Aku mengambil buku pelajaran di atas meja, kemudian mulai membacanya. Tintanya banyak yang luntur, kertasnya lecek dan robek-robek. Ada banyak kotoran yang menutupi tulisannya. Aku susah payah berusaha membaca tulisan di buku pelajaran tersebut. Seandainya ada Pak Min, tentu saja aku tidak perlu bersusah-payah seperti ini. “Huhuhu.., Pak Min mana..? Amel belum bisa membaca..,” Amel menangis. Aku menoleh, memandang Amel prihatin. Nasib Amel sungguh buruk. Orangtuanya sudah tiada, dan Amel dititipkan secara bergantian kepada penduduk desa karena kerabatnya tinggal jauh di seberang pulau. Amel belum bisa membaca, umurnya masih enam tahun. Memang, di sekolah kami, tidak ada batasan umur. Semuanya disamakan pelajarannya, karena hanya sedikit muridnya. “Amel, kita belajar berhitung saja, yuk, bagaimana?” aku mendengar mulutku mengatakan hal itu. “Hiks, memangnya, Kak Freya bisa mengajarkan Amel? Kak Freya kan, bukan Pak Min. Huuhuhu.., dimana Pak Min..?” Amel menangis sesenggukan lagi. “Sssst… Amel, jangan menangis, ya.. Coba lihat ayam-ayam itu!” aku menunjuk ke arah beberapa ayam yang berkokok di jalanan depan gazebo. “I.. iya, Kak Freya. Amel lihat,” Amel mulai menghentikan tangisnya. “Ada berapa ayam di situ?” aku bertanya. “Mmmhh.. Satu.. dua... tiga.. empat.. Empat, Kak Freya!” Amel berseru. “Wah, Amel benar! Ada empat ayam,” aku tersenyum. Julia dan Julie berhenti membaca buku pelajaran, mengamati kami. Kemudian, mereka mendekati kami. Tampaknya, mereka juga ingin mencoba mengajarkan Amel. “Nah, Amel lihat? Ada satu ayam yang masuk ke semak-semak. Coba Amel hitung, sekarang, ada berapa ayam di jalanan?” tanya Julie. “Mmm.. Satu.. dua.. tiga.. Tiga, Kak Julie!” Amel berseru menjawab. “Amel benar! Berarti, empat ayam dikurang satu ayam yang pergi ke semak-semak sama dengan tiga ayam. Empat dikurang satu sama dengan tiga. Apakah Amel mengerti?” Julie memastikan. “Amel mengerti, Kak Julie!” Amel berseru girang. “Nah, coba perhatikan papan tulis ini, Amel! Ada berapa goresan kapur di sini?” Julie menunjuk papan tulis hitam. “Satu.. dua.. tiga.. empat..,” Amel menghitung. “Berarti ada empat goresan kapur, ya, Amel. Nah, kalau Kakak hapus satu goresan, jadinya tersisa berapa goresan kapur, Amel?” Julie bertanya lagi. “Mmmm.., tiga goresan kapur, Kak Julie!” Amel menjawab. “Nah, Amel benar! Ada tiga goresan kapur. Jadi, semuanya sama, Amel. Jika empat dikurang satu, maka hasilnya adalah tiga. Seperti goresan kapur ini, seperti ayam-ayam tadi, semuanya sama,” Julie tersenyum. Jadilah, sore itu, kegiatan kami adalah mengajar Amel. Seru sekali ternyata, membantu orang lain belajar! Ini pengalaman yang menyenangkan, berharga, sekaligus menyimpan pelajaran berharga, tahukah kalian?
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

bagus

12 Oct
Balas

Terima kasih.

13 Oct

Bagus..

12 Oct
Balas

Terima kasih.

13 Oct

bagus

12 Oct
Balas

Terima kasih.

13 Oct

Bagus banget kak..

17 Oct
Balas

Terima kasih, keysha, maaf baru bales yaa ^^

19 Nov



search

New Post