Astraea Althea

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
X Elemental Amigo - Misi Pencarian Ayah dan Ibu

X Elemental Amigo - Misi Pencarian Ayah dan Ibu

Misi Pencarian Ayah dan Ibu

Sore itu, aku bersiap-siap untuk mencari ayah dan ibu di hutan. Aku tidak sekolah, ya karena tidak ada yang mengajar. Kan Pak Min sudah tiada…

Aku menyiapkan obor untuk penerangan di sepanjang jalan. Siapa tahu aku harus bermalam di hutan sampai bertemu ayah dan ibu. Setelah itu, aku menyiapkan kantong rajut. Kantong itu nanti akan kugunakan untuk menyimpan buah-buahan yang kupetik di hutan.

Setelah persiapan, aku pun pergi ke hutan. Setiap aku melihat buah-buahan yang sudah ranum, aku memetiknya, kemudian memasukkannya ke dalam kantong rajut. Aku kembali berteriak-teriak menyebut nama ayah dan ibu, atau kata ayah dan ibu, seperti kemarin. Sekencang apapun aku berteriak, tidak ada yang menyahut balik. Yang ada…

“Nak, kalau kamu bocah hilang, lapor polisi saja, ya.. Pasti nanti akan dilayani dengan baik. Kalau seperti ini, yang ada suaramu habis, Nak,” kata kakek tua yang berpapasan denganku. Dia terkekeh, menyodorkan batok kelapa penuh dengan air.

Uhuk, uhuk! Memang suaraku sudah habis sepertinya. Mau bilang terima kasih, cuma bisa komat-kamit saja, enggak ada suara yang keluar. Aku meneguk air dari dalam batok kelapa tersebut, kemudian beranjak berdiri.

“Mau buah, Kek?” aku bertanya. Akhirnya aku menemukan kembali suaraku.

Kakek itu menggeleng dengan sopan. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, kakek itu melangkah pergi meninggalkanku.

“Kakek..! Ini batok kelapanya bagaimana?!” aku berteriak.

Namun, kakek itu sudah tidak terlihat di mana-mana lagi. Kakek itu menghilang dalam sekejap, seperti ditelan bumi. Aku menelan ludah, merinding. Jangan-jangan, kakek itu siluman hutan yang suka diceritakan oleh para orang tua di desa untuk menakut-nakuti anak-anak? Hiiiy.., jangan-jangan, air yang tadi beracun? Ih, kenapa aku malah berpikir yang tidak-tidak?

Aku memakan tiga buah apel yang tadi kupetik, sedangkan sisanya kubiarkan di dalam kantong. Kemudian, aku beranjak berdiri. Saatnya melanjutkan misi pencarian! Hehehe, kok malah misi? Memangnya aku detektif?

Aku melangkah dengan santai, sambil terus menjaga nyala api obor. Hari sudah mulai gelap, biru langit sudah menjadi lembayung. Aku memandang pemandangan di dalam hutan, sambil terus menyusuri jalan setapak. Ada burung-burung berterbangan di langit, berkicau. Suara burung hantu mulai terdengar. Gemerisik semak-semak juga terdengar, entah apa yang ada di baliknya.

Ngomong-ngomong, tentang jalan setapak…, entah bagaimana jalan setapak ini bisa terus melewati hutan, melewati pohon-pohon rindang yang menutupi langit. Siapa pun yang membuatnya, tentu dia sangat mengenal hutan ini. Sepertinya jalan setapak ini akan terus ada sampai ujung hutan ini. Entahlah.

Tapi ternyata, dugaanku salah. Setelah setengah jam berlalu, ternyata jalan setapak itu sudah sampai di ujungnya, sedangkan pohon-pohon rindang masih banyak bersisian. Aku yang sedari tadi memetik buah-buahan dan memasukkannya ke dalam kantong, mulai tersadar. Aku sudah dua puluh meter meninggalkan ujung jalan setapak. Suara jangkrik mulai terdengar. Aku sekarang dikelilingi pohon-pohon tinggi menjulang, tak tahu ada di bagian hutan yang mana.

“Ayah..! Ibu..! Kalian di mana? Aku tersesat! Ini Freya, Freya tersesat..!” aku mulai berteriak-teriak.

Api obor mulai padam. Sekarang gelap gulita, senyap. Hanya suara jangkrik dan hewan-hewan hutan yang mengiringi langkahku. Gemerisik semak-semak membuatku khawatir, cemas menoleh ke sana kemari. Aku duduk di bawah salah satu pohon, membuka kantong rajut. Ada kira-kira lima puluh buah-buahan yang berhasil kukumpulkan. Aku memakan lima buah. Terasa pahit. Mungkin karena ketakutanku tersesat di tengah hutan yang tidak kukenali sama sekali. Huft.., salahku sendiri berkeliaran di hutan tanpa teman.

Hmm.., mungkin nasib ayah dan ibu sama denganku. Tersesat di tengah hutan, tidak tahu jalan pulang. Berhari-hari hanya dikelilingi pohon-pohon tinggi menjulang. Kira-kira, apa yang sedang mereka lakukan, ya? Berkeliling mencari jalan keluar? Memetik buah-buahan yang sudah ranum? Menebang pohon untuk mendapatkan kayu? Hmm.., entahlah. Lagipula, aku tidak benar-benar yakin kalau mereka ada di hutan ini. Bagaimana jika ternyata mereka berada di tempat lain, sedangkan aku sendiri di sini? Sia-sia saja aku berjam-jam di hutan ini, berteriak sana-sini.

Tiba-tiba, seisi hutan menjadi senyap. Benar-benar senyap. Suara jangkrik berhenti. Burung hantu dan burung-burung lainnya berhenti bersuara. Kegelapan itu menjadi semakin nyata. Di tengah pohon-pohon dan bayangannya berkelebat, sendirian di hutan.

Kemudian, seisi hutan menjadi sangat ribut. Burung-burung berkicau nyaring, termasuk burung gagak dan burung hantu. Jangkrik-jangkrik kembali berbunyi “krik.. krik.. krik..” tapi kali ini lebih nyaring. Apa yang terjadi?

Sekejap, ada banyak burung yang terbang meluncur ke arahku, kemudian meninggalkanku begitu saja. Mereka terbang sambil berkicau-kicau. Aku merunduk, berusaha menghindari rombongan burung-burung itu. Kenapa mereka begitu ribut, ya? Seperti panik. Apakah ada sesuatu yang terjadi di hutan ini?

Tiba-tiba, aku mendengar suara teriakan.

“Tolong..! Kumohon, jangan..! Tidak..!”

“Aaaaaaak..!”

Aku berlari ke asal suara, menerobos kawanan kelelawar dengan panik. Untung saja mereka tidak marah atau mengejarku. Aku terus berlari ke asal suara. Apa yang terjadi? Suara itu seperti suara ayah dan ibu. Tapi, apa yang terjadi dengan mereka?

“Ayah.., ibu..! Ini Freya, Freya di sini!” aku berteriak.

Aku berlari semakin kencang, tapi segera terhenti. Aku melihat ayah dan ibu terkapar di tanah, darah berceceran. Aku menjerit panik. Aku duduk di rerumputan hutan, menyentuh dada ayah dan ibu. Tidak ada detak jantung. Aku menundukkan kepalaku, berusaha mendengarkan napas mereka. Tapi aku tidak bisa mendengarnya… Apakah, apakah mereka..?

Air mataku menetes seketika. Semakin lama semakin deras. Sebulan yang lalu, kami menghadapi kematian nenek. Beberapa hari yang lalu, Pak Min meninggal. Sekarang, di hadapanku, setelah berhari-hari mencari ayah dan ibu, aku harus menerima kenyataan bahwa… ayah dan ibu telah tiada.

“Ayah.. ibu..,” aku menangis tersedu-sedu.

Kupeluk tubuh mereka yang sudah terbujur kaki, tidak memedulikan darah yang akhirnya malah berceceran di bajuku. Bagaimana mereka bisa meninggal..? Apakah mereka dibunuh? Tapi, siapa yang begitu tega membunuh mereka? Siapa yang begitu kejam membunuh mereka? Siapa..?

Hiks.. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku jauh tersesat di tengah hutan. Aku tidak bisa menggendong ayah dan ibu. Aku tidak bisa berteriak-teriak, yang ada suaraku tidak terdengar sampai ke desa.

Aku menemukan carikan kertas yang digenggam erat oleh Ibu. Aku berusaha mengeluarkannya dari genggaman tangan Ibu yang sudah menjadi kaku. Aku sangat berhati-hati agar carikan kertas tersebut tidak robek. Huft.., setelah tiga menit berusaha mengeluarkan carikan kertas itu dengan utuh, akhirnya aku berhasil. Aku berusaha membacanya namun terlalu gelap di hutan.

Aku menyeka air mataku. Memandang lamat-lamat wajah Ibu. Itu wajah Ibuku. Wajah Ibuku yang cantik jelita. Itu wajah Ibuku, yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya untukku. Itu wajah Ibundaku tercinta, aku mencintainya dan dia pun mencintaiku. Itu wajah Ibuku, yang akhirnya telah direnggut nyawanya dan berpulang menyusul orang-orang yang telah tiada sebelumnya.

Air mataku mengalir tak tertahankan lagi. Aku memeluk jasad Ibuku yang terbujur kaku, memandangi wajahnya tak pernah puas. Aku membasahi wajahnya dengan air mataku yang menetes deras. Aku mencium keningnya, sebagaimana dia biasa melakukannya kepadaku. Aku mencium pipinya. Aku tidak memedulikan darah yang mengalir dari bibirnya. Mau ada darah, mau ada luka, tidak apa-apa! Yang penting, itu wajah Ibuku. Yang sebelas tahun telah merawatku.

Jasad Ayahku terbaring kaku di sebelah jasad Ibuku. Wajahnya tetap sama tampannya, walau penuh luka. Kenangan tentangnya membanjiri benakku. Jasa-jasanya, dan ketulusan hatinya dalam menjagaku. Aku mengenggam tangannya, menciumnya sebagaimana ketika aku berangkat keluar rumah. Aku membasahi punggung tangannya dengan deraian air mataku.

Semua kenanganku bersama mereka melebur bersamaan dengan derasnya air mata. Kini, kedua orangtuaku yang kucintai telah pergi untuk tidak kembali lagi. Hanya meninggalkan secarik kertas tanpa arti.

***

Tiba-tiba, saat aku berada dalam kesedihan yang mendalam, di tengah kesunyian hutan tengah malam, terdengar suara teriakan yang memanggil-manggil namaku. Berkali-kali, namaku terus diteriakkan. Mungkin warga desa berinisiatif untuk mencariku. Aku segera berdiri, balas berteriak.

“Ini Freya..! Freya di sini..! Freya tersesat, tolonglah Freya..! Ayah dan Ibu…,” tenggorokanku langsung tercekat. Mataku langsung berkaca-kaca lagi.

Aku berlari menerobos hutan, melewati pohon-pohon lebat. Suara-suara itu semakin terdengar jelas. Mereka memanggil-manggil namaku. Pasti mereka adalah para warga desa. Aku mengenali dengan jelas suara mereka. Ada suara Pak Yero, kepala desa, suara Bibi Nami, dan… suara Julie dan Julia juga… Sakit di hatiku muncul kembali ketika nama itu melintas di kepalaku. Ah, sudahlah! Lupakan tentang masalah itu!

Aku agak ragu untuk meninggalkan ayah dan ibu, tapi, mau bagaimana lagi? Beberapa kunang-kunang mengikutiku, sehingga ada sedikit cahaya di sekitarku. Aku masih menggenggam erat carikan kertas yang tadi digenggam oleh Ibu. Aku terus berlari, beberapa kali merunduk untuk menerobos pepohonan yang lebat dan berdekatan.

Duk! Tiba-tiba, ketika aku sedang sibuk berlari, mencari suara-suara itu, aku menabrak seseorang. Aduh! Siapa sih yang tengah malam berkeliaran di tengah hutan sepertiku? Aku mendongak, dan… aku melihat sosok tinggi kurus di balik jubah. Wajahnya terlihat dari bawah, tampan tapi ekspresinya luar biasa menyeramkan. Aku menjerit ketakutan, tapi suaraku tidak terdengar sama sekali. Aura dingin membuatku terasa membeku.

“Putri Freya…,” sosok berjubah itu mengeluarkan suara mendesis bagaikan ular. Aku beringsut mundur, ketakutan. Siluman penjaga hutan! Hiiiy.., apa mungkin?

Aku berteriak meminta pertolongan, tapi sepertinya ada yang bermasalah dengan suaraku. Tidak ada suara yang keluar sama sekali, volume suaraku bahkan tidak mencapai satu persen.

“Putri Freya… Anda tidak dimiliki oleh dua orang tua itu… Anda dimiliki orangtua kandung Anda yang jauh di langit… Biarlah saya yang membawa Anda menghadap orangtua Anda saya yang sebenarnya…,” sosok itu mendesis. Udara di sekitarku semakin dingin. Mata sosok itu berkilat merah.

Apa?! Orangtua kandungku?! Dia tahu siapa orangtua kandungku? Dia bilang, dia bisa membawaku menghadap orangtua kandungku yang sebenarnya? Astaga..! Apa mungkin?! Tapi, sebenarnya, siapa dia? Mengapa dia tiba-tiba menemuiku di tengah hutan?

Darah! Aku melihat darah di jubahnya! Astaga! Apakah dia yang membunuh ayah dan ibuku? Buktinya, dia berada di tengah hutan, malam-malam pula, dan meninggalkan bekas darah di jubahnya! Pasti itu darah Ayahku atau darah ibuku. Ya ampun, aku harus waspada! Bisa saja dia akan membunuhku juga!

“Kemarilah, Putri.. Kemarilah…,” suara halus mistis itu bersuara kembali.

Aku menatap tajam sosok itu. Aku berdiri, perlahan mendekatinya. Kemudian mengelilinginya. Berhasil! Aku menemukan belati terselip di sakunya! Aku segera menarik belati itu keluar. Belati itu berceceran darah. Napasku menderu, marah sekali. Sudah bisa dipastikan, lelaki inilah yang membunuh ayah dan ibuku.

“Kau.. Kau yang membunuh Ayah dan Ibuku! Ya, kan?! Jangan coba-coba mengelak, ya!” aku berseru. Aku bersiap menikam lelaki itu dengan belati yang berhasil kurebut.

“Tenang, Putri. Tenang. Tujuanku membunuh dua orang itu adalah untuk menyadarkan Putri bahwa mereka bukan orangtua Putri. Tujuanku adalah untuk memberitahu Putri, siapa orangtua kandung Putri…,” lelaki itu melangkah mundur.

“Lantas, siapa?! Aku tidak peduli siapa pun kamu! Meskipun mereka bukan orangtua kandungku, tapi mereka yang merawatku selama sebelas tahun!” aku mendekati lelaki itu. Jarakku dengannya tinggal dua meter.

Mata lelaki itu berkilat. Udara di sekitarku menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Semakin dingin. Aku kehilangan udara untuk bernapas. Tanpa memedulikan apa-apa lagi, aku melompat, menghunjamkan belati ke dada lelaki itu.

Bruk! Bukan lelaki itu yang jatuh tersungkur, melainkan aku. Seperti ada angin yang mengentak sehingga aku terlempar ke belakang. Aduh! Kenapa aku malah tersangkut di semak-semak? Semak-semak itu berduri tajam. Aduh.., sakit..

“Jangan coba-coba melawanku lagi,” lelaki itu membersihkan debu di jubahnya, kemudian, dalam sekejap, dia lenyap seperti ditelan bumi.

Aku segera berdiri, mengusap luka sayatku akibat terkena duri semak-semak. Rasanya perih. Aku mengaduh kesakitan dalam hati, sambil bertanya-tanya, ke manakah lelaki itu pergi? Sungguh misterius…

Aku segera tersadar. Tujuanku kan mencari suara itu! Gara-gara menabrak lelaki misterius itu, pikiranku jadi buyar. Ya sudah, lah, aku lanjut jalan saja. Kenapa pula lelaki itu datang tiba-tiba di tengah hutan, hanya untuk menemuiku?

Ya ampun, aku baru ingat! Kalian ingat kan, aku pernah menceritakan tentang ayahnya Ai? Sosoknya sama persis seperti yang kutemui tadi! Jangan-jangan, itu ayahnya Ai? Tapi, apa mungkin..? Ayahnya Ai kan enggak punya masalah apa-apa denganku. Bertemu saja jarang.

Tunggu, kenapa dia menyebutku putri, ya? Memangnya, aku putri macam apa?

***

“Freya..! Freya! Kamu di mana..?” teriakan-teriakan itu terdengar lagi. Semakin dekat.

“Aku di sini..!” aku berteriak. Kira-kira dua puluh meter lagi sampai bertemu dengan mereka. Aku mulai menemukan jalan setapak. Aku menyusurinya.

“Freya! Itu Freya!” aku mendengar suara Julie berseru.

“Julie..! Julia..!” aku menjerit. Aku langsung menghambur ke pelukan mereka berdua. Air mataku menetes penuh haru.

Warga desa lainnya tersenyum melihat kami. Air mataku semakin banyak menetes, jatuh ke pundak mereka. Sungguh, walaupun aku telah melakukan kesalahan kepada mereka, mereka akan tetap mengkhawatirkanku. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.

“Ka.. kalian mencariku..?” aku menyeka air mataku. Memandang mereka penuh haru.

“Tadi sore, kami datang ke rumahmu untuk meminta maaf. Tapi, kamu tidak ada di rumah. Kami langsung sadar kalau kamu pasti pergi ke hutan. Kami mengumpulkan warga desa untuk mencarimu bersama-sama,” jelas Julia. Dia mengayunkan lampu minyaknya.

Aku tersenyum kepada mereka. Sekejap, senyumku segera hilang. Aku tersentak. Bayangan akan jasad ayah dan ibu yang terbaring di tengah hutan kembali muncul di kepalaku. Aku telah meninggalkan mereka! Tapi, aku tidak ingat jalan kembali menuju tempat itu…

“Ada apa, Freya?” Julia bertanya. Dia mengarahkan lampu minyak ke arah wajahku, membuatku merunduk karena silau.

Aku menatap Julia, kemudian Julie, kemudian seluruh warga desa yang ikut mencariku. Mataku kembali berkaca-kaca. Tak lama kemudian, air mataku mengalir di pipiku.

“Ayah dan ibu meninggal..!” aku menjerit tak tertahankan, tangisku sesenggukan. Aku memeluk Julie dan Julia. Mereka tampak terkejut, nyaris terjatuh.

“Bibi Sena dan Paman Zen meninggal?!” Julie dan Julia terkejut setengah tidak percaya. Zen adalah nama ayahku. Kalian tidak pernah kuberitahu sebelumnya, bukan?

Para warga desa terdiam. Tentu saja, kan, tidak boleh berisik jika ada orang yang meninggal.

“Sekarang, di mana jasad ayah dan ibumu, Freya? Lalu, luka apa ini?” Julie mengarahkan lampu minyak ke arah tanganku.

“Eh, eng.. ini..,” suara yang keluar dari mulutku terdengar gagap.

Mereka tidak akan percaya kalau aku mengatakan bahwa ayahnya Ai-lah yang membuatku terluka.

“Tadi aku enggak sengaja jatuh ke semak-semak berduri,” aku berbohong.

“Oooh..”

“Ya sudah, kita pulang sekarang, ya, Anak-anak. Ini sudah malam,” kata Pak Yero. “Saya dan beberapa orang lainnya akan mengurus jasad Bu Sena dan Pak Zen. Freya, bisakah engkau menunjukkan jalan kepada kami?”

“Iya, Pak,” tenggorokanku kembali tercekat mendengar nama ayah dan ibuku disebut.

Maka, aku pun menunjukkan jalan menuju jasad ayah dan ibu. Meskipun sebenarnya, aku sudah agak lupa.

Huft… Kesedihan yang mendalam masih melekat di dalam hatiku. Tapi, masih banyak pertanyaan besar yang meledak-ledak di kepalaku, menunggu untuk dijawab. Termasuk carikan kertas itu. Carikan kertas yang sekarang berada di dalam saku celanaku.

Nantikan bab berikutnya: Rahasia Carikan Kertas.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut, lanjut.. :)))

01 Nov
Balas

Iya

10 Nov

Lanjut kakkkkkk!!!

09 Nov
Balas

Terima kasih.. Aaa.., aku mulai merasa seperti dulu lagi...

10 Nov

Dulu kapan nihh?? Xixiixi

10 Nov

Yaa dulu Dulu Dulu Dulu Dulu Dulu Du-lu Du-lu Du-lu Du-lu Du-lu D-u-l-u D-u-l-u D-u-l-u D-u-l-u D-u-l-u Xixixi

10 Nov



search

New Post