Sunny Hinata

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Lily's Adventure (Bab 3)

Lily's Adventure (Bab 3)

Malam beranjak datang. Aku dan Hasna terkapar kelelahan di sofa. Sedari kemarin, kami pergi jalan-jalan. Ke Pantai, Hotel, Mall, dan Wahana. Perjalanan 3 jam, jadi, wajar Lelah.

“Kalian, Lily, Hasna, ayo, ganti baju. Lalu kita makan malam. Eh, kalian sholat Maghrib dulu, ya?” Bibi Seli berkata sambil mengeluarkan pakaian dari Koper. “Eh, Lily atau Hasna, itu ada telepon. Diangkat dulu, sayang!” Bibi Seli memang hebat. Bisa mengerjakan sesuatu sekaligus.

“Ya, Ma.” Sahut Hasna. Semenjak kejadian marah-marah itu, meskipun dia sudah meminta maaf, Hasna tetap saja masih sungkan bicara dengan ku. Entah apa pasal nya. Tapi, aku tidak terlalu memedulikan nya. Toh, sepatah dua patah, Hasna masih bisa bicara. Dan, Bibi Seli juga menyayangi kami sama rata. Maksudnya, tidak ada yang paling disayang, dan lain-lain. Begitupun om Reza.

“Ah, senang nya!” Aku menghempaskan diri di Kasur. Kasurku ini, Kasur lipat. Yeah… sama seperti di Jepang-jepang gitu. Kata Bibi Seli. Karena memang, Bibi Seli pencinta film jepang.

“Lily, Hasna, kalian jangan tidur, loh! Bergegas Ganti pakaian, lalu Sholat. Mama masak sesuatu yang spesial, loh!”

Aku mengangguk—walau aku tau, Bibi Seli tak dapat melihat anggukan ku. Bergegas mengambil Handuk disamping jendela. Walau tidak disuruh Mandi, aku tetap mandi. Karena, akhir-akhir ini, aku mulai suka mandi. Karena, eww, aneh rasanya jika tidak mandi. Rambut lepek, keringatan. Eww!

“Nah, ayo, kita makan. Sekarang, giliran Lily yang pimpin doanya.”

Aku mengangguk. Memimpin doa sebelum makan. Aku, Hasna, Bibi Seli, Om Reza dan beberapa pembantu lain khusu’ berdoa.

“Selamat makan!”

Aku dan yang lain sudah sibuk dengan makanan di piring. Hanya terdengar suara denting sendok. Semua fokus pada makanan.

“Bagaimana les kalian, Hasna, Lily?” Bibi Seli memecah legang. Bertanya padaku dan Hasna. Aku yang makanan penuh dimulut mengangguk. berusaha menelan makanan.

“Baik, Ma.” Jawab Hasna. “Matematika Hasna bagus. Juga les Inggris dan les balet nya.” Hasna mengangguk. melanjutkan makan. 2 hari lalu, Bibi Seli mendaftarkan Hasna untuk kursus Matematika, Inggris, dan Balet. Entahlah, aku tak mengerti betul, tentang ‘Balet’. Tapi, kata Hasna seru. Yeah, tubuh Hasna memang lentur.

Bibi Seli mengangguk. “Kalau Lily bagaimana?”

“Eh. Baik, kok, Ma.” Aku mengangguk. “Les Fisika, Biologi, Kimia, IPBA nya baik. Hanya Fisika dan Kimia yang masih agak-agak susah. Kalau les Inggris dan Piano nya lancer. Bahkan, Lily sudah hafal 2 not lagu, kali ini. Euh, lagu nasional sih.” Aku malu-malu menjelaskan. Aku juga sudah didaftarkan ikut les oleh Bibi Seli. Dan kursus ku yang paling banyak.

“Tidak apa. Itu sudah bagus.” Bibi Seli tersenyum. “Oh ya, ehm, Mama juga mau usulkan untuk kalian, Hasna, Lily. Eh, untuk ikut Belajar Qur’an. Kalian mau?” Kata Bibi Seli. Memandang kami berdua. Aku dan Hasna memang belum ada pelajaran Qur’an disekolah. Huruf dan Makhroj nya masih kurang bagus, itu kata Bibi Seli—sama dengan Hasna. Hasna juga kurang bagus, walaupun mendapat didikan dari Ibu nya langsung.

“Em…” aku berpikir sebentar. Kemudian, mengangguk. Tak masalah. Toh, aku ingin pintar Al Qur’an juga, bukan hanya Sains terus, Gumam ku.

“Kalau Hasna, bagaimana?”

“Hm… Oke, deh, Ma.” Jawabnya pendek. Mengangguk. melanjutkan makan Kembali.

“Baiklah, jika begitu. Beruntung, Mama punya teman, Namanya Tante Ira. Kalian bisa belajar disana sama Tante Ira. Atau, kalian bisa panggil Tante Ira dengan sebutan, ‘Ammah Ira. Ammah artinya Bibi dalam Bahasa Arab.”

Aku dan Hasna mengangguk-angguk. Tak bicara lagi. Hanya suara denting sendok yang terdengar.

Waktu meleset bagai peluru. Tak terasa, 1 tahun telah berlalu. Aku dan Hasna sudah tumbuh besar. Menjadi anak gadis berumur 10 tahun.

Sehari-hari ku seperti biasa. Sekolah, Kursus IPA, Kursus Piano, Bahasa Inggris, lalu Al Qur’an. Hanya saja, Hasna taka da perubahan dari sikap nya. Tetap pendiam, malas biicara, jika dengan ku. Hanya bicara sepatah-dua patah.

Tok…Tok…Tok!

Aku menoleh.

“Siapa?” Tanya ku pelan. Sudah jam 10 malam, tapi aku belum tidur. Hanya memandangi aliran sungai dibawah sana.

“Permisi,” Suara yang amat kukenal. Dingin. Dia tak menjawab pertanyaan ku.

“Oh, sebentar.” Aku mengangguk. aku sudah tau siapa yang masuk ke kamar ku. Hasna. Ya, itu Hasna. Suara dinginnya, aku kenal itu.

“Ada apa?” Aku tersenyum. Menatap Hasna di depan ku, yang balas menatap ku dingin.

Hasna terdiam. Menunduk. Menatap lantai kamar. “Lily…” ucapnya pelan. Pelan sekali.

“Ya?”

“Aku… Aku punya satu permintaan untuk mu. Eh—” Suaranya tercekat. Matanya tetap memandang lantai kamar. Tak sanggup bertatapan denganku walau sedetik pun—entah karena apa.

“Apa? Mungkin, aku bisa mengabulkan nya.” Aku tersenyum memandang Sahabatku yang ‘dulu’. Pikirku, mungkin ia tidak betah berkelahi selama setahun.

Keliru. Pikiranku keliru.

Hasna akhirnya mendongak. Menatap wajah ku. “Aku… euh, minta—” Suaranya tercekat. Menunduk lagi.

“Ya? Bilang saja, Hasna.”

“Aku, em, mau minta kamu pergi dari Rumah ini.” Ucapnya lirih. Pelan. Mendongak menatapku, kemudian menunduk lagi.

Aku tercekat. Apa yang dibilang Hasna—

“Aku… aku ingin Kembali seperti yang lalu. Maksudku, aku ingin disayang lai oleh Mama dan Papa. Tidak ada pembagian—”

Aku sudah tak mendengar nya lagi. Hei. Pertanyaan Hasna tak masuk akal. Pertanyaan Hasna sama sekali tak jelas. Apa yang dia bilang? Ingin aku pergi? Tidak ingin dibagi-bagi? Terlalu. Kataku ketus.

Aku tak pernah semarah begini. Entahlah. Jarang ku marah seperti ini. Biasanya, aku lebih banyak bersabar. Membiarkan orang lain bilang begini dan begitu. Tak Peduli. Tapi ini? Terlalu.

“Aku… eh—”

Aku mendongak. Menatap Hasna. Bertanya lirih, “Tapi… Tapi kenapa, Hasna? Apa yang salah?”

Hasna tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. “Aku hanya ingin semuanya Kembali seperti dulu lagi, Lily. Aku ingin, aku bisa merasakan Cinta Mama dan Papa sendiri. Seorang. Karena, aneh rasanya jika aku harus, eh, berbagi denganmu. Sedih, Marah, entahlah.” Kata-kata Hasna sudah tak seperti tadi. Sekarang, kata-katanya ketus, dan entahlah, sejenis itu.

“Tapi—”

“Aku mohon, Lily…” Ucapnya. “Aku…aku janji, jika kamu mau, aku, aku akan menjadi seperti dulu lagi. Sama seperti waktu kita Bersama Nadia. Aku janji.” Hasna mengacungkan jari kelingking nya. Tersenyum tipis.

Aku menelan ludah. “Nanti kupikirkan.” Jawabku lirih. Menutup pintu kamar. Sirna sudah senyum ku mendengar pertanyaan Hasna yang aneh begini.

Aku berlari. Berlari kencang. Malam ini, aku menyelinap keluar rumah diam-diam. Pergi menuju sungai. Ya, sungai yang biasa kulihat setiap malam datang.

Duduk. Sendirian. Memeluk lutut. Ujung jilbab ku meliuk-liuk diterpa angin. Tak sengaja, gamis ku basah tercelupkan air. Tak peduli. Aku tetap menatap kerlap-kerlip bintang diatas sana.

Kemarin, Nenek pergi. Kemarin, aku mulai Bahagia. Sekarang, kebahagiaan ku langsung sirna lagi. Sama seperti Ketika Nenek pergi dulu.

Aku menatap air yang mengalir didepan ku. Mengukir wajah Nenek, menggurat wajah Mama. Aku menghembuskan nafas. Hmph! Semua terasa begitu menyakitkan. Hasna… entah apa yang dia pikirkan.

Aku mengeram. Memukul air didepanku. Aku benar-benar lupa kalimat Mama kemarin. Sakit tapi tidak membalas. Sedih tapi tidak berlarut-larut. Aku mengepalkan tangan. Menahan sesak di dada.

Hasna… siapakah dia? Berani sekali menyuruhku ini dan itu? Berani sekali memerintahkan ku ini dan itu. Memangnya, dia siapa? Sok-berani, aku menyumpahi Hasna dalam hati.

Oke. Aku… aku tidak akan mematuhi kalimat nya. Oke. Aku tidak akan mendengarnya lagi. Oke. Terima kasih karena telah mengajarkan ku cara mu marah. Cuek, kasar. Oke. Aku akan membalas semua ini.

Aku menendang air sungai. Membuat ikan-ikan melompat karena kaget.

Krek! Aku menoleh. Ada seseorang yang menginjak ranting kayu! Aku menoleh kesana kemari. Berusaha mencari tau, sumber suara itu.

Seorang lelaki, kira-kira 2 tahun lebih muda dari om Reza, terhenti. Tubuh nya dibalut jubah putih Panjang. Sambil memegang syal Pink lembut. Langkah kakinya terhenti. Menoleh gugup.

“Si-siapa?” aku bertanya tak kalah gugup nya.

Lelaki itu terhenti Ketika memandang ku. Nyala lampu petromak yang kubawa menewarngi wajah nya dengan jelas. Mata hitam nya. Hidung pesek nya. Guratan wajah nya. Terlihat jelas sekali.

“Siapa?” aku bertanya patah-patah. Mengulangi pertanyaan ku tadi.

Lelaki itu menggeleng. Berlari menerobos gelap nya malam. Melempar syal pink yang ia bawa.

“Hei—”

Aku terdiam. Bulu kudukku berdiri. Kaki ku gemetar berusaha menopang tubuh. Melangkah pelan mengambil syal pink yang terjatuh.

Sepertinya, aku pernah melihat ini—

Aku gemetar menaiki anak tangga. Mengingat kejadian beberapa menit lalu. Guratan wajah lelaki berumur 37 tahun itu. Aku seperti mengenal nya. Juga syal pink ini. Aku gemetar memegang syal pink dengan wangi harum ini. Melilitkan pada leher.

Krek! Aku membuka pintu kamar. Melangkah pelan. Setelah mengembalikan kunci pintu yang ku ‘pinjam’, aku masuk ke dalam kamar. Merebahkan diri diatas kasur. Ah! Aku tetap memikirkan Lelaki dengan syal Pink ini. Aku merasa mengenalnya, tapi lupa kapan dan dimana aku bertemu dengan nya.

Sudahlah. Aku menutup mata. Mencoba tidur.

...

“Permisi, Nona Lily. Nona Lily dipanggil Mama.”

Aku menoleh. Itu suara Bi Ria. “Sebentar, Bibi. Nanti Lily keluar.” Jawabku. Tetap fokus pada buku dihadapanku—akhir-akhir ini, aku suka sekali baca buku. Sebenarnya, aku tidak fokus pada buku. Aku memang membaca buku, tapi pikiranku tidak tertuju pada buku ini, melainkan pada Hasna. Janjiku, untuk cuek dan kasar pada dia.

“Nona, dipanggil Mama.” Suara Bi Ria terdengar beberapa menit kemudian. Aku belum-belum keluar dari kamar.

“Iya.” Aku menjawab pendek menutup buku BUMI dihadapanku. Melangkah keluar kamar. Membuka pintu. Menuruni anak tangga.

Dibawah sana, Hasna terlihat sudah duduk manis diKursi nya. Bersampingan dengan Bibi Seli. Aku berbisik kesal, Bukankah itu posisiku dulu? Bukankah yang setiap hari duduk disamping Mama itu aku? Aku mendengus. Memilih duduk didekat Bi Lia.

“Ayo, makan. Sekarang, giliran Hasna yang pimpin doa kan?” Om Reza tersenyum. Mengelus kepala Hasna—Hasna duduk diantara om Reza dan Bibi Seli.

Hasna menganggguk. Tersenyum.

Aku ikut tersenyum sinis. Sok banget sih?!

Bismillahirrahmanirrahim...” semua yang berada di meja makan khusus’ berdoa. Aku ikut ‘pura-pura’ khusu’ mengangkat tangan. Padahal, aku menatap Hasna diseberang Meja dengan tatapan kesal.

“Selamat Makan!”

Aku mulai sibuk makan, seperti yang lain nya. Sesekali menyeringai kesal melihat Hasna yang tertawa dengan om Reza dan Bibi Seli.

“Ada apa, Lily?”

Aku tersedak dengan pertanyaan mendadak itu. Menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Menyeringai. Berbohong.

Bibi Seli mengangguk. “Kalau kamu kenapa-napa, bilang saja pada Mama. Gak usah malu.” Melanjutkan makan.

Aku Mengangguk. Tersenyum tipis. Melanjutkan makan. Hanya suara denting sendok yang terdengar. Selain itu, tawa kecil Hasna yang terdengar.

“Bagaimana pelajaran kalian hari ini Lily, Hasna?” Itu bukan pertanyaan Bibi Seli, melainkan pertanyaan om Reza.

“Baik.” Aku menjawab pendek. Kalem.

“ Baik, kok, Pa.” Hasna mengangguk. Tersenyum tipis. Aku menyumpahi Hasna dalam hati.

Om Reza mengangguk.

“Papa mau pergi kantor sekarang ya. Ada Rapat nih, soalnya.” Om Reza melirik jam tangan nya. Meninggalkan meja makan setelah mencium Bibi Seli dan Hasna, serta mengelus kepala ku.

Aku menanggguk. Tidak banyak bicara lagi. Pergi ke dalam kamar. Nasi ku sudah habis. Jadi, bisa segera masuk kamar, setelah pamit pada Bibi Seli. Buat apa di Ruang Makan jika hanya menatap Hasna yang tertawa lebar bergurau dengan Bibi Seli?

...

Aku setengah tertidur ketika pintu ku diketuk seseorang. Awalnya, aku biarkan saja. Melanjutkan tidur ‘pagi’ ku. Namun, semakin lama, ketukan itu Semaki bertambah banyak. Ngotot masuk ke dalam kamar.

“Siapa, sih?” Aku beranjak berdiri sambil bersungut-sungut kesal. Membuka pintu kamar. Terkejut dengan siapa yang datang. “Eh, Mama. Eh, Yuk masuk, Ma. Tadinya, euh, Lily kira siapa, makanya, eh, ngomel dikit.” Aku menggaruk kepala ku yang tidak gatal. Duh, kok aku jadi bingung sendiri?

Bibi Seli mengangguk. “Mama boleh masuk, sayang?” Bertanya. Tersenyum lembut. Persis senyum nya seorang ibu kepada anak nya.

Aku menelan ludah. Mengangguk cepat. “Silahkan, Ma.” Membukakan pintu lebar-lebar.

Bibi Seli tersenyum lagi. Melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar.

“Eh, Maaf, Ma. Agak berantakan kamarnya.” Aku menggaruk kepala. Kamarku memang belum dibersihkan. Di Rumah ini, terdapat peraturan, bahwa aku dan Hasna harus membersihkan kamar sendiri. Tanpa bantuan dari Bibi-bibi, terutama Bibi Seli.

“Gak pa-pa.” Bibi Sel duduk di sofa dekat jendela. Walaupun pagi, pemandangan dari jendela ini tak kalah indah nya—Rumah yang dibeli Bibi Seli agak didalam kampung. “Mama mau tanya sama Lily.” Ujar Bibi Seli. Pandangan nya tak lepas dari sungai yang mengalir dibawah.

Aku menelan ludah. “Eh, apa Ma?” Berusaha tersenyum—tapi lebih mirip seringai kuda.

“Kamu... Kamu benci pada Hasna, ya? Maksud Mama, kenapa kamu di meja makan berubah jadi cuek, menjawab seadanya, pergi lebih dulu. Biasanya, Lily yang Mama kenal tidak begitu. Lily yang Mama kenal itu, ceria, selalu menjelaskan panjang-lebar dengan semangat, Pergi dari meja makan setelah meja nya bersih, Membantu Bibi-bibi membereskan Dapur. Apakah kamu ada masalah, sayang?” Bibi Seli memandangku penuh kasih sayang. Kemudian memandang ke luar jendela lagi. Menatap batang padi yang meliuk-liuk.

“Eh?” Aku menelan ludah. Kalimat ‘Lily yang Mama kenal’ terasa menyentuh, sedih, entahlah. Aku tak mengerti. “Nggak kok, Ma. Nggak ada masalah.” Aku menggeleng. Berbohong.

Mata Bibi Seli menyelidik. Menatap ku penuh selidik. “Benar? Gak boleh bohong, loh?”

Aku terpaksa mengangguk. “Tadi itu... Karena Lily... Lily makhraj tilawah nya kurang bagus kemarin. Dimarahi Ammah Ira. Jadinya... Jadinya, Lily seperti itu, deh.” Aku menjawab asal—walau memang benar makhraj mengaji ku kurang bagus.

Bibi Seli mengangguk. “Makanya, kamu rajin-rajin belajar. Biar, Ammah Ira suka. Biar, Tilawah mu bagus. Percuma, loh, kalau Lily hafal 30 Juz, tapi makhraj dan tajwid nya tidak bagus.” Bibi Seli tersenyum. Kalimat nya persis seperti kalimat Ammah Ira kemarin saat aku belajar Al Qur’an.

Aku mengangguk. “Iya, Ma.”

“Ya sudah. Ini sudah jam berapa?” Bibi Seli mengangguk. Melirik jam diatas meja belajar ku yang menunjukkan pukul 9. “Aduh, sudah pukul 9 kah? Mama telat buka klinik.” Wusss! Bibi Seli berlari keluar kamar.

Aku tertawa kecil. Bibi Seli persis seperti diriku.

...

Hari ini berjalan lambat sekali. Belajar Piano yang dulunya sangat kusuka menjadi amat membosankan. Fisika yang dulunya amat susah menjadi teramat amat sangat Susah. Biologi yang awalnya benar-benar kacang, menjadi membosankan. Semua Karena pikiran ku dan sikap ku kepada Hasna. Entahlah, kenapa aku merasa beban ini sangat berat? Jika Hasna yang dulunya sampai sekarang cuek padaku, kenapa tak terasa berat?

Aku menghempaskan badan di kasur setelah Makan malam dan Sholat Isya’. Langsung jatuh tertidur.

...

Hei. Aku mendadak terbangun karena mendengar suara berisik. Menoleh ke bawah. Kaget.

“Siapa?” Aku memandang awas. Melihat lelaki seumuran om Reza yang kemarin malam. Lelaki tersebut menaiki anak tangga. Terpisah satu lantai dari kamar ku. “Siapa?” Aku kembali bertanya. Patah-patah menyalakan lampu kamar. Sudah jam 2 malam. Begitu yang kubaca di jam dinding.

“Siapa?” Aku bertanya lagi setelah menyalakan lampu kamar. “Om... om siapa?” Wajah ku seluruh nya terlihat jelas dengan adanya cahaya. Lampu.

Tiba-tiba, entah karena apa, lelaki itu terkejut bukan kepalang. Memegang tiang rumah yang ada disamping nya. Terkejut melihat wajah ku.

“Siapa?!” Aku bertanya lebih keras. Mendesak. Kenapa orang ini tiba-tiba ingin bertemu dengan ku. Memangnya, aku siapa nya?

“Kamu... kamu—” Suaranya terpotong.

“Hei, Pencuri!” Teriak seseorang. Itu Pak Roy, sekuriti rumah. “Nyonya, Tuan, ada Pencuri! Dia mau bertemu Nona Lily, tuan, Nyonya!” Tak memberikan waktu sedetik pun, Pak Roy naik ke tangga. Tangga itu terletak di lantai 3.

Sekejap. Pembantu rumah berlarian keluar. Menuju posisi ‘lelaki tak dikenal’ tersebut. Om Reza dan Bibi Seli juga terbangun. Masih mengenakan baju tidur, mereka ramai-ramai mengejar ‘lelaki tak dikenal’ itu yang sudah lari terbirit-birit terlebih dahulu.

“Lily! Kamu tak apa-apa, sayang?” Bibi Seli membuka pintu. Bergegas memeluk ku. Melihat di segala sisi tubuh ku. Bahaya kalau aku terluka, mungkin itu pikir Bibi Seli.

“Tidak apa, kok Ma. Lily tidak kenapa-napa.” Aku mengangguk. Tersenyum menenangkan.

“Benar?” Tanya Bibi Seli dengan mata menyelidik. Kemudian melihat tangan, lengan, rambut, bahkan hendak membuka baju ku!

“Tidak apa-apa, Mama. Suwwer!” Aku mengacungkan 2 jari. Tersenyum. Melarang Bibi Seli yang hendak betul-betul membuka bajuku

Mata Bibi Seli masih menyelidiki. Tapi, beberapa detik kemudian mengangguk. Tersenyum lega. “Syukurlah, jika begitu.” Memeluk ku erat.

“Mama!” Om Reza membuka pintu keras.

Bibi Seli hendak protes karena ia kaget mendengar suara keras dari pintu yang di dorong om Reza.

Namun, om Reza tak memberi kan sedetik pun waktu Bibi Seli untuk bicara. “Pencuri itu, dia kabur. Aku dan Roy tak sanggup mengejarnya.”

Bibi Seli mengangguk-angguk. Terlihat santai.

“Aduh, Ma, itu Pencuri kabur. Kenapa kamu malah terlihat santai?” Om Reza protes. Menatap Bibi Seli yang tetap memandang om Reza santai.

“Gak apa-apa. Yang penting, Lily tak terluka, dan tidak ada barang yang hilang. Lagipula, yang jahat itu Papa. Sampai copot jantung Mama mendengar suara pintu yang Papa dorong, juga Teriakan keras Papa. Sakit tahu, telinga Mama.” Jawaban Bibi Seli membuat ku tertawa kecil. “Ya sudah, Lily, kamu lanjut tidur ya? Mungkin, Hasna saja yang tidak terbangun mendengar teriakan Papa yang keras ini.” Bibi Seli melangkah pelan keluar kamar. Santai.

Aku yang hendak tertawa mendengar celetukan Bibi Seli terdiam ketika mendengar nama ‘Hasna’.

Om Reza menatap bingung Bibi Seli. Ikut melangkah membuntuti Bibi Seli.

Setelah Bibi Seli dan om Reza hilang di balik pintu, Aku teringat sesuatu. Lelaki ‘tak dikenal’ itu! Aku menelan ludah. Gemetar pergi ke kasur. Tidur.

Sambil terus memikirkan, siapakah dia. Hingga aku jatuh tertidur.

...

“Halo, My Dear.” Seorang wanita muda cantik menyapa ku. Ujung Jilbab biru muda nya meliuk-liuk. Syal Pink cantik terlihat melilit di leher nya. Mata biru nya terlihat teramat menawan. Hidung mancung nya terlihat cantik. Bibir nya yang menyunggingkan senyum, menambah kecantikan wajah nya. “Lily!”

Aku menoleh. Mata biruku mengerjap-ngerjap. Patah-patah memanggil, “Ma-Mama?”

Wanita muda itu adalah Mama. Mama tersenyum. Melambaikan tangan. Berlari menyibak bunga-bunga yang wangi tiada kira. Seperti beberapa tahun lalu, kaki ku sama sekali tak bisa digerakkan!

“Kamu masih ingat Mama, Lily?”

Aku mengangguk cepat. Air mata ku keluar karena terharu. Tentu saja aku akan ingat. Mana mungkin, aku akan melupakan Mama?

Mama tersenyum. Mencium keningku. Memeluk. Pelukan nya membuat ku tenang.

“Ma.. Mama tahu tidak?” Aku mulai bercerita pada Mama tentang ‘lelaki tak dikenal’ itu.

“Ya?”

“Tadi malam, Lily di datang seseorang, loh, Ma. Nggak tahu, tuh, namanya siapa. Dia naik tangga, karena mau datangi kamar Lily.” Aku langsung bercerit dengan semangat nya. Mama tersenyum sambil memandang ku. Aku selalu suka melihat senyuman Mama. Menenangkan.

“Oh ya, Ma. Mama tahu, Lily benci banget sama Hasna, Ma. Itu, anak nya Bibi Seli dan Om Reza.” Aku teringat sesuatu. Berbicara lagi pada Mama.

“Kenapa Lil benci dengan Hasna?” Tanya Mama. Tersenyum.

“Karena... karena...” suaraku tercekat. “Karena Hasna mau usir Lily dari Rumah nya. Mama pasti tahu, kalau Lily tinggal bersama Bibi Seli dan om Reza, orang tua Hasna.”

Mama tak menjawab. Sabar menunggu lanjutan cerita ku.

“Memang nya, Hasna siapa, Ma? Berani sekali dia mau usir-usir Lily. Terlalu. Padahal Kan, Lily dulu sama Hasna sahabat? Tapi sekarang? Hasna keterlaluan! Jadinya... jadinya...”

“Jadinya, apa?” Tanya Mama. Memandangku sayang. Lebih dari pandangan Bibi Seli.

“Jadinya, Lily putuskan, biar Cuekin Hasna. Kasar sama dia. Balasan karena perintah nya dan sikap nya selama ini.” Aku berkata ketus. Memandang Mama yang hanya tersenyum dengan tatapan teduh nya.

“Kenapa begitu? Lily kan anak baik. Lily kan anak nya Mama. Kalau anak nya Mama itu, orang nya baik, pemaaf, hebat, murah senyum, dan dermawan. Nah, Lily mau gak, jadi anak Mama? You want to be Mama’s Child?” Mama bertanya lembut. Tersenyum. Senyuman nya membuat hati ku tenang.

Aku balas tersenyum. “Yes, Mama!” Mengagguk. Memeluk Mama erat.

Mama tersenyum lebar. “Wah, anak Mama rupanya sudah pintar bahasa inggris, ya?” Terkekeh pelan.

Aku ikut tertawa kecil. Mengangguk. “Masih sedikit-sedikit sih.” Tersenyum malu.

“Tidak apa. Yang penting sudah bisa, walaupun masih sedikit.”

Aku tersenyum. Mengangguk.

“Oh, ya, my dear. Pesan mama, coba, kamu pikirkan baik-baik. Apakah kamu ingin bisa keliling dunia? Mencari di berbagai sudut bumi, tempat ayah mu?”

Aku mengangguk cepat. Tentu saja aku mau bertemu Papa. Aku sangat ingin bertanya, kenapa Papa meninggalkan ku? Walau sudah tahu jawaban dari Mama, aku tetap sangat dan teramat ingin mendengar jawaban dari Papa.

“Nah, saran Mama, coba kamu pikirkan tawaran Hasna. Ya, Mama tahu, sayang, Hasna bilang begitu semata-mata agar kamu pergi. Tapi, ingat Lily, selalu ada alasan terbaik di setiap keputusan yang di buat Dia. Mungkin, jika kamu turuti tawaran Hasna, akan ada hal baik yang datang menjemput mu. Tapi, terserah mu saja, Lily. Mama serahkan pada mu.”

Aku menatap Mama tidak mengerti. Berusaha mencerna kalimat-kalimat nya.

Sebelum aku berhasil mencerna semua kalimat itu, Mama lebih dulu berkata, “Sudah, ya, Lily? Waktu Mama hampir habis. Berjanji lah, kau akan membanggakan Mama. Berjanjilah, untuk menjadi anak yang manis, baik, penurut. Okay” Mama mengacungkan jari kelingking nya. Meminta ku untuk menepati janji.

Aku yang sedang mencerna kalimat Mama terhenti. Itu berarti, Mama akan meninggalkan ku lagi! Aku menggeleng kuat-kuat. “Mama gak boleh pergi!” Berteriak serak. Memeluk Mama.

Mama tersenyum.”Kamu berjanji, Lily?” Mama tetap bertanya dengan pertanyaan yang tak ku sukai.

Aku menelan ludah. Mama benar-benar bertanya.

“Jawab Mama, Lily, kamu berjanji?”

Aku terdiam sejenak. Memutuskan, mengangguk. Menyeka air mata di pipi. Sesenggukan memandang Mama.

“Anak pintar.” Mama mengelus kepala ku. Memberi kecupan ‘selamat tinggal’. Lantas, berlari kecil menuju ‘gerbang emas’ yang berada di ujung sana.

Bye, Lily!”

Aku yang masih Terisak mengangguk. Berucap lirih, “Bye, Ma!”

Seketika, pandangan ku menjadi gelap!

...

“MAMA!”

“Hei, Lily. Kamu kenapa, sih?” Sebuah suara ‘ketus’ menyapa ku di pagi hari.

“Mama!!” Aku memberontak. Menendang-nendang bantal guling.

“Hei, Lily! Bangun!” Adalah Hasna yang membangunkan ku. Menggoyangkan tubuh ku dengan muka masam nya—karena diperintahkan Bibi Seli membangunkan ku.

Aku tersadar. Mengucek mata. Mengerjai-ngerjap.

“Cepat bangun, Lily! Ini sudah jam 8 loh! Males banget, bangun. Gak disiplin!” Hasna berseru ketus. Muka nya memasang wajah marah. Meninggalkan ku sendirian tanpa pamit.

“Iya—” Aku yang hendak berseru ketus terdiam. Teringat mimpi ku tadi malam bersama Mama.

“Ya sudah, kenapa bengong, terus, disana? Cepat!”

Aku mengangguk. Melangkah masygul.

...

“Ma, Pa.” Kataku pelan. Aku, Hasna, Bibi Seli dan Om Reza, sedang duduk santai di sofa panjang sambil membaca buku.

“Ya?” Tanya Bibi Seli dan Om Reza bersamaan. Menoleh padaku.

Aku menelan ludah. Baiklah, aku sudah meneguhkan hati. “Ehm, Ma, Pa, Mama kan punya adik, Tante Diana itu. Kata Mama, Tante Diana sudah 8 tahun menikah tapi tidak pernah punya anak. Benar tidak, Ma?” Aku menoleh pada Bibi Seli. Meminta jawaban.

Bibi Seli dan Om Reza yang sepertinya tahu apa yang ingin ku bicarakan saling tatap. Memandang gelisah. Sebaliknya, anaknya, Hasna, yang sepertinya menebak apa yang ku bicarakan tersenyum lebar.

Setelah makan, aku memang memikirkan itu. Aku menerima tawaran Hasna, tapi bukan karena di desak, melainkan mendengar nasihat Mama. Aku pun memikirkan, siapa yang membutuhkan anak kampung seperti ku? Siapa yang sudah menikah bertahun-tahun, tapi sama sekali belum memiliki anak? Tante Diana. Pikir ku. Adik Bibi Seli yang setiap datang selalu mengeluh soal dia tak punya anak. Umur nya sudah kepala tiga, tapi tak mempunyai anak satu pun.

“Ma?”

“Apa yang kamu bicarakan Lily?!” Aku kaget mendengar jawaban Bibi Seli, yang bukan nya menjawab malah menjawab dengan pertanyaan. Dan juga, Bibi Seli menjawab dengan suara meninggi.

“Eh—” aku tergagap. “Gak ada, kok, Ma. Eh, Lily mau tanya saja. Karena, Lily mau diasuh sama Tante Diana. Eh bukan, maksudnya, mau pergi jalan-jalan ke Semarang. Keliling Jawa.” Duh, jawabanku berantakan. Bagaimana caranya aku akan meyakini Bibi Seli dan Om Reza jika jawaban nya begini?

Om Reza di belakang Bibi Seli menghela nafas prihatin. “Kenapa kamu ingin pergi dari rumah ini, Lily? Tak enak kah kamu dengan semua ini? Atau kamu belum puas bersenang-senang? Ingin tinggal di Rumah Diana yang sampai 8 tingkat itu? Ingin makan banyak masakan buatan Diana?”

Aku tahu, Tante Diana dan suaminya, Om Rafif orang kaya. Tante Diana memiliki beberapa Cafe yang tersebar di pulau Jawa. Juga Om Rafif yang memiliki perusahaan makanan, dan Supermarket di berbagai cabang di Indonesia, D Mart. Dan tidak aneh jika rumah mereka lebih besar. Menurutku, Rumah Bib Seli sudah cukup besar. Tapi ternyata, ruah Tante Diana lebih besar lagi.

“Bukan begitu Pa... Lily Cuma ingin mencoba pergi ke beberapa tempat, kok, Pa. Tak lebih, tak kurang.” Aku mencoba meyakinkan. Berusaha memasang wajah senormal mungkin. Tersenyum paling manis sedunia.

Bibi Seli dan Om Reza menghembuskan nafas. “Baiklah. Nanti Mama dan Papa akan pikirkan.” Menjawab pelan.

Sekejap, aku merasa bersalah. Tapi buru-buru ku usir rasa bersalah itu. Fokus, Lily. Fokus. Gumam ku menyuruh diriku untuk fokus.

Bibi Seli dan Om Reza pergi. Melangkah pelan. Tepat ketik punggung nya sudah hilang di balik pintu, Hasna menyentuh punggung ku. Tertawa kecil. “Bagus sekali, Lily. Mulai hari ini, aku akan memaafkan ku.” Pergi ke kamar nya.

Aku terdiam. Berdiri membeku di ruang tengah.

...

Hai, Friends. Gimana nih, tulisan-tulisan ku? Menurut kalian bagaimana? Apa yang kurang? Komen dibawah, yaaaa... :)

Oh ya, cerita ini masih berlanjut, men temen... Ikutin terus kisah Lily yang selanjutnya!!! (Jangan lupa follow, yahhh p)

Kalau kalian ingin lebih kenal lagi, kalian bisa cek email ku, [email protected]

Bye, men temen!!!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post