Siti Fauzanah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Mr. Park

Empat pria berseragam sekolah tampak memasuki kafe. Mereka hanya memesan minuman hangat. Tiga orang dari mereka memasang wajah berseri, yang satunya lagi terlihat datar saja.

"Waktunya satu minggu, kan? Gimana? Sudah dapet apa belom? "

"Belom. "

"Ko lama? "

"Perlu proses, " mereka terkekeh mendengar ucapan pria berwajah datar itu.

"Barangnya udah disiapin nih, ya nggak? " mereka cekikikan. Kafetaria masih sepi. Jadi walau mereka berbisik, akan tetapi suara mereka masih saja terdengar lirih.

"Aku gamau, " pria dengan wajah datar itu menyela dan mengangkat kepala sembari melempar pandangan ke setiap sudut kafe, membuat teman-temannya saling membalas pandangan.

"Abis kesambet dimana nih anak, biasanya juga mau. Barangnya sudah ada tuh. Masih gamau?"

"Nggak! " ketusnya kemudian menyeruput minumannya.

"Tapi tar dlu. Siapa nama orang itu? " _

Aku berlari mencari seseorang di koridor, napasku tersengal. Sesekali aku mendongak berharap menemukan seseorang yang kucari disekolah. Awan semakin pekat, matahari semakin tak terlihat. Aku yakin bahwa seseorang yang kucari belum pulang, karena sekolah baru saja usai. Aku mempercepat gerakku, takut diguyur hujan karena aku tidak membawa mantel.

"Geby! "

Sontak orang itupun menoleh, tidak menunggu waktu lama, aku menghampiri Geby dan memeluknya erat, lalu mengusap kepalanya, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah. "Kamu gapapa? "

"Kak Yeol tumben ke sini? " Geby terlihat bingung ketika aku berada dihadapannya.

"Cepat! Aku antar kamu pulang! " aku menarik lengan Geby menyuruhnya untuk pulang bersamaku. Geby yang masih terlihat bingung melepaskan peganganku.

"Aku sudah janji pulang sama Jev, "

Aku mengerutkan kening. "Jev? Siapa Jev? " apakah pria yang tadi?

"Dia temanku, mau aku kenalin?" sepenuhnya, aku tidak menghiraukan ucapan adikku. Yang aku inginkan adalah Geby pulang bersamaku. Itu saja.

"Ayo kita pulang, mungkin dia tidak pulang bersamamu hari ini, " aku kembali mencengkram lengan Geby. Akan tetapi, dihempaskan begitu saja. Aku khawatir kalau terjadi apa-apa dengan Geby. Aku tidak tahu persoalan apa yang dibahas keempat pria tadi. Suara mereka kurang jelas, sehingga menutup celah untukku menguping.

Tidak berhasil membawa Geby pulang, kemudian empat orang pria yang muncul entah dari mana mendekatiku dan Geby. Geby terlihat senang disaat mereka datang.

"Kak, " Geby menepuk-nepuk lenganku, sedangkan aku sibuk dengan pikiranku. "Ini Jev,"

Dugaanku benar. Pria ini memiliki urusan dengan Geby. Aku harus selalu mengawasi Geby. Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi.

Aku menatap Jev dalam-dalam. Aku sedang menantang Jev agar beradu mata denganku, itu kulakukan agar tidak terlihat seperti pengecut. Tapi naas, Jev justru melirik ke arah Geby. Hembusan angin diantara dedaunan terdengar jelas. Tidak ada yang mau memulai bicara. Aku melangkah dengan pelan, lalu menyodorkan tanganku.

"Park Chanyeol, "

Tidak kusangka Jev menyambut hangat tanganku. Ia sedikit menuai senyum kepadaku dan Geby. Senyumnya kelihatan biasa saja bagiku, sekilas tidak tampak kenakalan pada diri Jev. Sikap Jev yang sopan seperti itu bertolak belakang dengan opiniku.

Tapi Aku tidak goyah, bisa saja dia berakting di depanku. Tapi benakku terus memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi dan aku yakin identitas yang mereka ungkit adalah Geby. Jev membalas tatapanku yang dari tadi kuhintai. Sepertinya Jev baru saja mengetahui bahwa aku adalah kakaknya Geby.

Aku begitu bungkam. Aku menarik tanganku kembali dan memegang tangan Geby yang berada di sampingku. Tapi, Geby berusaha melepaskannya.

Sungguh berbeda. Sekarang tiga orang teman Jev memperlihatkan wajah kusam. Geby sedang dipermainkan oleh sekelompok orang brengsek di depanku ini.

Geby menolak untuk pulang bersamaku. Ia masih saja bersikukuh pulang untuk pertama kalinya dengan Jev. Aku paham betul, ia tidak akan melewatkan momen-momennya bersama Jev.

Dengan sigap, aku mengode Geby agar ia paham bahwa ada keperluan penting. Karena aku bersitegang lebih tepatnya memaksa, akhirnya Geby menurut. Jev juga tidak keberatan akan hal demikian, akhirnya kami berpisah di tempat itu.

_

(Geby's pov)

"Kak Yeol kenapa sih? " gerutuku

"Kamu ga boleh deket sama Jev, jaga jarak aja sama dia! " lancang sekali beliau. kaget mendengar omongan Yeol. Aku tidak mengira bahwa Yeol akan berbicara seperti itu padaku.

Aku mengerinyitkan dahi. Sungguh tidak percaya dengan tingkah Yeol hari ini. "Kenapa ga boleh? "

"Pokonya ga boleh. Kamu harus jauhin dia segera Geby, apapun caranya, "

"Ya alasannya kenapa? "

"Mereka cuma mainin kamu! " ucap Yeol. Yeol memejamkan mata dan berdiri dengan tangan di pinggang.

"Kakak tau dari mana?? "

Handphone Yeol berdering, kupikir ia harus kembali bekerja sekarang juga. Mungkin saja kafe sudah dipenuhi pelanggan. Yeol berjalan keluar. "Jangan kemana-mana, pintunya aku kunci! " ucapnya tergesa-gesa

Yeol menutup pintu rumah dan meninggalkanku seorang diri di dalam yang diselimuti kebingungan. Aku tidak tau harus berbuat apa. Hatiku bercampur sedih dan kesal. Sedih karena merasa dipaksa. Dan kesal karena alasan yang tidak jelas. Bagaimana tidak?

Aku menyukai Jev! Aku menyayangi Jev. Jev tanpa sadar mengajarkan tentang cinta kepadaku. Sangat tidak masuk akal jika Jev mempermainkanku. Aku sungguh tidak tega menjauh dari Jev. Karena menurutku, Jev juga akan seperti itu padaku. Sudah jelas aku tidak mau pedekate ku gagal.

Aku tidak bisa membayangkan betapa kecewanya Jev jika digosting dengan alasan tidak logis, lagian lama lambatnya aku juga akan memiliki Jev seutuhnya.

Aku tidak tau apa yang Yeol pikirkan akan semua yang Yeol rencanakan. Aku butuh penjelasan yang akurat sehingga aku bisa mengetahui dampak dari hubunganku dengan Jev. Aku yakin bahwasannya Yeol pasti salah paham.

Ngomong-ngomong, Yeol seorang pelayan kafe. Ia lakukan itu sejak appa menutup usia hampir empat tahun yang lalu dikarenakan kecelakaan. Yeol yang juga menjadi korban dikala itu mengalami luka serius dan harus dirawat. Akan tetapi, appa harus menepati janjinya menghadap sang kuasa.

Sejak saat itu kehidupan semakin susah. Berhubungan dengan keluarga appa di Korea yang sudah menutup komunikasi semenjak menikah dan mengikuti kepercayaan ibu, tapi ia masih punya pekerjaan yang menjamin keberlangsungan hidup kami.

Dan karena susahnya hidup semakin membludak di Korea, ibu, Yeol dan aku terpaksa memutuskan bertolak ke kampung halaman ibu di Indonesia karena ibu punya saudara yang masih peduli dengan kami di sini.

Kami segera mengurus paspor dan biaya keberangkatan ke Indonesia banyak dibantu oleh kakak ibu. Rumah yang kami tempati sekarang sangat berbeda dengan rumah yang kami tempati sebelumnya, hanya pas untuk menampung kami bertiga.

Melihat keadaan seperti itu, Yeol memutuskan untuk berhenti kuliah dan bekerja di kafe, karena ibu hanya membuka toko kecil yang menjual aneka kue dan makanan basah dengan penghasilan pas-pasan.

-

Aku menghembuskan napas dengan berat. Aku pergi ke kamar lalu merebahkan diri ke kasur, aku menatap langit-langit kamarku yang gelap, lusuh, penerangan yang redup, cahaya matahari tidak sempurna. Langit mendung. Persis seperti hidupku.

Aku lelah.

Aku ingin sendi-sendi kehidupanku menggeliat dan melahirkan kehidupan yang baru. Tapi apa boleh buat, aku hanya manusia yang menampung takdir dari tuhan, terpaksa dengan keadaan. Aku bertanggung jawab atas masa depan kami. Hanya aku satu satunya yang bisa diharapkan karena masa depan masih belum jelas.

Aku akan berusaha kuat, walau terkadang lemah. Aku akan bahagia walau terkadang sengsara. Aku akan menerima walau akan melepaskan. Aku tidak akan terlena, aku yakin tidak akan terpukul selamanya. Aku yakin suatu saat akan terbebas dari belenggu dunia.

Karena dunia tidak lebih hanya sebatas lelucon!

Disaat itulah permukaan bumi diguyur hujan. Aku membiarkan jendela kamarku terbuka. Aku sangat menikmati tamparan angin di pori-pori. Aku sangat larut dalam menikmati. Aku hanya ingin menikmati kebahagiaan yang orang lain rasakan, tetapi aku justru menikmati kesepian yang mendalam.

...

Aku tersentak. Aku mengusap mata dan melihat jam dinding, pukul 10 malam. "Astaga, aku ketiduran, " Aku menyibak rambut dan menekan pelipisku menggunakan telunjuk. Akhir-akhir ini kepalaku sering kali sakit. Badan terasa lengket dan kepalaku gatal sekali. Sangat tidak nyaman. Itu artinya aku harus mandi.

Habis mandi tubuhku segar dan sedikit ringan. Tentu saja, karena kuman juga mempengaruhi berat badan. Bukankah begitu?

Aku mencium bau menyengat, pasti ibu sedang memasak. Aku melangkah ke dekat pintu, lalu membukanya dan mengintip dicelah, kulihat ibu sedang mengiris bawang, air mata ibu mengalir, itu mungkin karena perih. Aku tersentuh melihat hal ini. Tidak disangka, kehadiranku disadari oleh ibu. Ibu segera mengelap air matanya dengan celemek yang ia pakai, lalu tersenyum padaku. Justru hal ini membuat ku berpikir. Apakah air mata barusan karena perihnya oleh bawang atau karena perihnya hidup?

"Tumben kamu bangun nak? " ucap ibu, kemudian tersenyum lagi menampakkan kerutan diwajahnya. Seandainya ibu melakukan perawatan lagi, mungkin wajahnya belum sekeriput ini sekarang.

"Iya bu, aku mau bantuin ibu, " ucapku berbohong, kata-kata itu aku lontarkan agar ibu makin semangat karena perhatian ku. Tapi bukanlah ibuku jika membiarkanku ikut bekerja, apalagi malam-malam begini. Aku mendorong pintu kamarku sedikit lagi.

"Gausah, besok kamu sekolah kan? " Elak ibu. Aku mengangguk. Aku menghampiri ibu. Meja dapur penuh dengan bumbu masak dan tepung. Aku diam-diam melempar pandangan ke arah ibu, ibu kelihatan lelah namun tidak berkeringat.

Ingin tubuh ini merasakan pelukan ibu. Aku ingin memeluk ibu. Jika saja rasa lelah dapat disalurkan ke tubuh lain lewat pelukan, aku akan memeluk ibu setiap malam.

Setiap saat.

Ibu, mari berbagi kelelahan.

Tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu di kaki ibu. "Kaki ibu diperban? Kenapa? " ibu mendongak dan melihat ke arahku, bersamaan dengan tetap mengiris sayuran.

"Oh, tadi ibu nginjak gelas pecah Geby, gapapa kok, " ucap ibu tersenyum dengan tenang.

Tiba-tiba pintu rumah dibuka oleh seseorang, dengan spontan aku dan ibu memutar kepala, ternyata itu Yeol. Ia basah kuyup dan sambil menjinjing sepatu, Yeol langsung berjalan ke kamarnya tanpa menoleh sedikitpun kepada kami. Sepatunya meneteskan air sehingga membentuk jejak dilantai.

Aku melirik ibu.

Ia sedikit tertunduk dan sepertinya sedang menahan isak. Aku harus peka dengan kondisi seperti ini.

Tanganku yang sedang memegang wortel, dengan hati-hati kuletakkan kembali di atas meja, seakan-akan tidak boleh menimbulkan bunyi sekecil apapun. Aku terus menatap ibu, sekarang keringatnya sudah mulai mengalir dipelipis. Otakku menyuruhku memasuki kamar. Lain halnya dengan hatiku yang tetap ingin bersama ibu.

Tubuhku berjalan menjauhi ibu dan memutuskan untuk ke kamar. Aku kembali melihat ke arah ibu. Sekali lagi, aku ingin memeluk ibu.

Lalu aku menutup pintu.

Aku terus membiarkan jendela kamarku terbuka, sehingga rintik hujan juga menghampiri lantai kamarku. Aku merogoh ponsel dan kudapati pesan yang sangat banyak dan 1 panggilan tak terjawab, tentu saja dari Jev.

- -

"Jauhin Jev, ok? "

Yeol langsung berbalik, kemudian pergi bekerja ke kafe 24 jam yang tidak jauh dari sini. Kafe tempat Yeol bekerja adalah kafe besar dan cukup terkenal dikalangan kaum muda sehingga membutuhkan pelayan yang banyak. Beberapa pekerja paruh waktu juga menyibukkan diri di sana. Sekolah masih sepi. Tentu saja sekarang masih sangat pagi.

Gerbang sekolah sudah dibuka sepagi ini oleh penjaga sekolah. Penjaga sekolahku bukan orang yang terlatih ataupun terdidik. Ia hanya menawarkan diri kepada pihak sekolah agar diberi pekerjaan. Sangat sulit untuk mencari pekerjaan pada zaman sekarang ini.

Saingan yang ketat dan lapangan pekerjaan yang sangat terbatas menyebabkan usaha untuk bertahan hidup minim. Memiliki pekerjaan akan menciptakan kebahagiaan secara batin, karena akan menjamin keberlangsungan hidup tentunya walaupun hasilnya belum tentu seperti yang dibayangkan. Setiap orang pasti bahagia jika ia memiliki pekerjaan yang ia inginkan, tapi tidak sedikit dari mereka yang tidak berterima kasih atas pekerjaan yang didapatkan.

Kebahagiaan dan kesedihan tidaklah abadi. Seseorang akan bahagia jika itu adalah masanya, dan seseorang akan sedih jika itu adalah saatnya. Tolong nikmati waktu!

Seseorang hanya perlu bersyukur dan berusaha. Kemudian persaksian kepada tuhan syukur dan usaha itu. Maka, undian untuk memperoleh kebahagiaan akan jatuh saat itu juga. Percayalah.

Brakk!

"Aduh! " seseorang menabrakku dari belakang, sampai-sampai aku kehilangan keseimbangan dan hampir saja mencium tanah.

"Maaf, " Manusia dengan tangan putih pucat itu bergegas mengambil sebuah buku yang terjatuh. Aku tidak bisa mengintip wajah dibalik poninya dengan jelas. Dengan napas yang tidak beraturan selanjutnya ia kembali berlari memasuki lorong sekolah. Memang, sekilas seperti hantu!

Aku berdiri dengan berbagai umpatan. Untung masih sepi. Aku merapikan rokku dan menepuk-nepuk bagian yang kotor. Dan hey! Lututku memar. Padahal hanya menimbulkan gesekan sedikit saja.

Aku berjalan dikoridor setelah membasuh lututku yang berpasir. Aku menghela napas. Perlu menaiki tangga agar bisa mencapai kelasku.

Sial! Pelajaran pertama adalah matematika.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post