Shofiyah Syifa Mujahidah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Sekolah Kebanggaan Mutiara || MY SMILE AT SCHOOL

Sekolah Kebanggaan Mutiara

Sekolah Mutiara bernama “SDIT Malang Pagi.” Sekolah itu cukup terkenal, dengan prestasi gemilang para murid-muridnya. Juga bangunan sekolah yang tampak menarik, fasilitas lengkap dan nyaman, dan guru-gurunya pun ramah.

Tidak sekali-dua kali sekolah Mutiara didatangi para wartawan, pejabat, sampai dijadikan objek wisata terbatas. Di dalam sekolah itu ada kolam ikan yang indah, dihiasi dengan banyak hiasan. Juga kelas-kelasnya tidak ketinggalan, sudah puluhan karya terbaik ditempel di dinding kelas, pintu kelas, sampai dinding luar kelas. Tentu saja biaya masuk sekolah di sana tidak terbilang murah, namun juga menyediakan beasiswa untuk anak kurang mampu, anak berprestasi, dan lain sebagainya.

Mutiara tentu bangga dengan sekolahnya. Ia pernah menjadi orang yang diwawancarai bagaimana kesan-kesan bersekolah di sana. Mutiara bangga, apalagi wawancaranya itu masuk ke televisi. Mutiara pun bercita-cita menamatkan sekolahnya dengan nilai sempurna.

Pagi yang indah menyambut hari Senin kali ini. Anak-anak dengan semangat pergi ke sekolah. Wajah sumringah terpancar di setiap muka anak-anak bangsa, gembira bertemu teman-teman dan guru-guru kembali setelah 2 hari libur akhir pekan.

Mutiara pun terlihat sangat senang. Hari Sabtu dan Ahad ia lewati dengan bosan, karena tidak ada yang mengajaknya bermain. Kak Al masih di Yogyakarta, sedangkan bunda sibuk memasak untuk arisan minggu ini.

Mutiara bangun pukul lima. Ia membaca doa bangun tidur dan langsung mengambil handuk. Ia terbiasa mandi sebelum melakukan salat subuh, alasannya supaya lebih semangat. Sayangnya, Mutiara suka berlama-lama di kamar mandi, kadang hanya berendam, kadang ia berkhayal peralatan mandi itu bisa hidup, dan ia bermain bersama mereka.

“Mutiara!! Salat dulu, udah jam setengah enam!” seru bunda dari dapur. Kebetulan, di dapur ada kamar mandi dan di situlah Mutiara mandi pagi ini.

“Mutiara!” bunda mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.

“Iya Bunda!” jawab Mutiara.

“Cepetan mandinya, ntar waktu salat udah keburu habis.”

“Iya iya, dikit lagi kok. Hiyaa…” terdengar suara Mutiara. Bunda geleng-geleng kepala. Mungkin anak itu berkhayal lagi, batin bunda.

Bunda kembali memasak. Pagi ini, bunda memasak mie telur yang bunda kreasikan dengan tangan bunda sendiri.

Krek. Pintu kamar mandi terbuka. Bunda menoleh ke arah kamar mandi.

“Udah cepetan ih, malah main-main. Apalagi kamu belum salat,” tegur bunda.

Mutiara cengengesan, lalu mengacungkan jempol. Ia berlari menuju kamarnya, lalu memakai kaus rumahan. Tidak lupa ia memakaikan sedikit bedak ke wajahnya yang imut. Mutiara memang sangat menjaga kebersihan diri dan benda-benda miliknya.

Mutiara mematut dirinya dalam cermin, lalu tersenyum. Ia meloncat ke lemari baju, mengambil mukenanya, membentang sejadah ungunya, lalu memulai salat.

***

“Bunda!!” Mutiara mengetuk pintu kamar bunda. Kali ini, Mutiara sudah siap dengan seragam merah putihnya.

“Apa?” sahut bunda dari dalam kamar.

“Itu sarapannya udah siap kan?”

“Iya udah siap, kamu makan aja duluan, Bunda masih ada urusan di kamar.”

Mutiara mengangguk. Ia berjalan riang ke arah meja makan, lalu mengambil kotak bekalnya yang masih kosong. Ia mengisi kotak bekal itu dengan segopok nasi, beberapa nugget, ayam pop, dan tambahannya mie telur yang bunda bikin tadi. Di dalam mie itu, sudah tercampur beberapa sayuran seperti wortel dan seledri. Tidak lupa sebuah pisang ia selipkan di antara bilik ayam pop dan bilik nasi. Lengkap, deh!

Bunda memang selalu menyiapkan makanan yang lengkap, mulai dari susu, nasi, lauk pauk, lauk tambahan, sayur, dan buah-buahan. Setiap pagi ketika Mutiara menuju meja makan, pasti semua makanan itu sudah tampak di meja. Mutiara pun diajari bunda hidup sehat dan selalu memakan makanan lengkap, 4 sehat 5 sempurna.

Sesudah menyiapkan bekalnya, Mutiara menaruh bekal itu di dalam tasnya. Lantas, ia mengisi perut yang sudah keroncongan sedari tadi. Tidak lupa ia mencuci tangan sebelum makan.

Sebenarnya, Mutiara bingung, ke mana Ayah pergi? Ia tidak melihat ayah dari subuh tadi.

Di tengah asyiknya ia menikmati sarapannya pagi itu, bunda datang.

“Gimana mie-nya? Enak?” tanya bunda sambil tersenyum, ikut sarapan bersama gadis kecilnya.

Mutiara mengacungkan jempol. “Top markotop deh, masakan Bunda.”

Bunda tertawa.

“Eh, Bun, Ayah ke mana sih? Dari pagi Muti belum lihat Ayah,” tanya Mutiara. Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, ia memang biasa memanggil namanya sendiri dengan sebutan “Muti”. Sedangkan kalau berbicara dengan teman sebaya, ia biasa menyebutkan “Aku”.

“Ayah ada urusan keluar kota lagi, ke Jakarta. Tadi pukul 2 pagi Ayah berangkat. Mendadak katanya.”

Mutiara mengangguk-angguk.

“Cepat habiskan sarapannya, nanti mau Bunda antar atau berangkat pakai sepeda?”

“Pakai sepeda aja Bun. Muti mau sekalian olahraga. Hehe…”

“Ya sudah. Oh ya, untuk bekal susu nanti, kemarin Bunda ada beli susu milo yang ukuran kotak, ada Bunda taruh di dekat kompor. Nanti diambil ya.”

“Sip.”

***

Mutiara memakai sepatunya dengan hati gembira. Bunda sedang duduk-duduk di kursi teras, sambil sesekali melambai dan menyapa tetangga yang lewat di depan rumah. Mutiara mengetuk ujung sepatunya begitu tali terikat sempurna, menyesuaikan dengan ukuran kakinya. Sesudah memakai sepatu, ia pun berpamitan pada bunda.

“Bunda, aku berangkat dulu ya, assalamu’alaikum,” Mutiara mencium punggung tangan bunda.

Bunda mengangguk sebagai jawaban. “Uang jajanmu bulan kemarin masih ada kan?”

Sambil mengeluarkan sepeda ungunya dari garasi, Mutiara menjawab, “Masih kok Bun, bisa buat seminggu lagi.”

Mutiara melambai ke arah bunda sebelum sepedanya ia kayuh keluar dari pekarangan rumah. Mutiara mengayuh sepedanya pelan sambil sesekali bersiul.

Mutiara memang anak yang hemat. Ia pandai mengatur uang jajan bulanannya, sehingga yang seharusnya uang itu habis dalam sebulan, namun sering masih ada sisanya, hampir setengah dari jajan bulanannya. Namun, ketika Mutiara melihat benda kesayangannya—yaitu buku—tergolek tak berdaya di rak-rak buku, ia tidak tahan dan segera membelinya, berapa pun harganya.

Di perempatan perumahan, ia bertemu seorang gadis sebayanya yang tidak asing lagi di matanya dari jalan yang berada di samping kirinya.

“Nisywa!” pekik Mutiara. Ia mengerem sepedanya, menunggu Nisywa mendekat ke arahnya.

“Hei, Mutiara! Aduhh, enggak usah teriak-teriak juga kali! Nanti Bu Narsih menyergap kita lagi lho,” balas Nisywa, melaju kayuhan sepedanya, mendekati sahabat terbaiknya, Mutiara.

Mutiara cengengesan, lalu mereka tos ala persahabatan mereka. Kebiasaan mereka, setiap kali bertemu selalu tos ala persahabatan.

Mereka tertawa begitu selesai melakukan tos.

“Udah yuk lanjut jalan lagi,” kata Nisywa. Mereka pun mengayuh sepeda beriringan menuju sekolah tercinta mereka.

Mutiara dan Nisywa bersahabat sejak kelas satu. Kala itu, Nisywa sama cerianya dengan Mutiara. Namun, di semester 2, adik kesayangan Nisywa bernama Farhan jatuh sakit, dan tidak lama kemudian, ia meninggal. Nisywa sangat terpukul dengan kepergian adik satu-satunya itu. Selama seminggu Nisywa enggan makan, mengurung diri di dalam kamar, menangis, dan tidak mau masuk sekolah. Namun berkat dukungan dan nasihat dari Mutiara, Nisywa pun kembali ceria dan mengikhlaskan kepergian Farhan.

Sampai sekarang, mereka masih menjalin persahabatan yang indah. Sejak kelas satu mereka selalu sekelas, kecuali ketika kelas tiga.

Mereka asyik mengobrol selama perjalanan, bercanda tawa, dan saling meledek. Di pertigaan menuju sekolah, tiba-tiba Mutiara teringat sesuatu.

“Eh Nisy, kata Bunda, kata wali kelas kita, bulan depan Ibu Gubernur bakalan berkunjung ke sekolah kita dalam rangka memberikan penghargaan ke salah satu Kakak-kakak kelas enam, karena Kakak itu berhasil mengharumkan nama provinsi karena menang dalam olimpiade matematika-sains se-Indonesia. Juara umum pula lagi. Selain itu, kabarnya Bu Gubernur juga bakalan kasih penghargaan ke sekolah, karena juara satu sekolah ramah anak se-provinsi, juara satu sekolah terfavorit, dan banyak lainnya. Aku enggak terlalu ingat juga sih,” cerita Mutiara.

“Hah? Yang benar?” tanya Nisywa tidak percaya.

“Yee, dibilangin enggak percaya Eh tapi aku enggak tahu juga sih, itu jadi atau enggak. Soalnya kata Bunda, info dari wali kelas kita, masih dibicarakan sama guru-guru yang lain. Jadi ya, enggak tahu deh.”

Sesudah itu, mereka terdiam. Entahlah, mungkin mereka sedang memikirkan tentang sekolah mereka.

Tidak terasa, mereka sampai di sekolah. Tampak sebuah jam raksasa yang digantung di depan pagar sekolah—agar mengetahui sekarang pukul berapa—menunjukkan pukul 06.45. Mutiara dan Nisywa turun dari sepeda mereka, lalu menuntun sepeda masing-masing menuju pos satpam untuk mengisi absensi. Begitu peraturan sekolah, kehadiran murid diambil dari absensi di pos satpam.

Mereka ikut mengantri dengan siswa-siswi lainnya yang akan melakukan absensi. Sebelum tiba giliran mereka mengisi absensi, Nisywa menengadah, melihat poster ukuran raksasa yang berisi profil dan nama sekolah mereka. Lama sekali Nisywa menatap poster itu, lalu tercipta sebuah sungai di pelupuk matanya. Ia sampai tidak sadar bahwa siswa yang ada di depannya sudah maju, dan teman-teman yang berada di belakangnya menyorakinya menyuruh maju.

Mutiara yang berada di belakang Nisywa mencolek bahunya. Seketika Nisywa sadar, lalu menatap Mutiara dengan air mata bergantung di pelupuk mata.

“Maju cepetan!” ujar Mutiara. Nisywa cepat-cepat menggiring sepedanya menuju depan pos satpam.

“Siapa namanya?” tanya pak satpam.

“Humaira Nisywa Alessa, kelas 4A,” jawab Nisywa.

Pak satpam memeriksa komputer, mengetikkan nama Nisywa di sana, lalu memberikan tanda ceklist di komputer.

“Silahkan masuk.”

Nisywa berjalan perlahan menuju garasi khusus sepeda. Ia menggembok sepedanya, dan tidak lama kemudian, Mutiara datang menyusulnya.

“Hei, kawan! Kenapa kamu tadi ngelamun sambil mendongak sih, Nisy?” tanya Mutiara.

Ia meletakkan sepedanya di samping sepeda milik Nisywa. Lalu Mutiara berjongkok, menggembok sepedanya.

Nisywa tersenyum, lalu menaruh kunci sepeda di dalam kantungnya. Kunci cadangan yang satu lagi masih ada di dalam tasnya.

“Enggak. Aku cuma senang plus terharu, enggak nyangka kalau sekolah ini bisa maju kaya gini. Padahal awalnya aku ogah masuk ke sekolah ini, aku udah pernah cerita, kan? Sampai seharian aku ngambek di kamar karena nggak mau sekolah di sini. Eh ternyata, sekolah ini adalah sekolah yang maju, dan aku senang sekolah di sini,” jawab Nisywa. “Lihat deh, bagi siswa yang bawa sepeda aja, diberikan garasi sepeda khusus, ada penjaganya pula lagi.”

Mutiara tersenyum, ia masih sibuk menggembok sepedanya. Krek! Suara itu menandakan bahwa sepedanya sudah terkunci. Mutiara berdiri, lalu tersenyum.

“Suatu saat nanti, akan aku buktikan bahwa kita sebagai alumni sekolah ini punya bakat yang hebat,” ujar Mutiara. Nisywa cengengesan, lalu mereka tos persahabatan lagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren kak. semangaat!

21 Dec
Balas

Iya, makasih.

21 Dec

Keren bgt teh! Lanjuutt

17 Dec
Balas

Aduhh, salah pakai akunn ><

18 Dec



search

New Post