Shofiyah Syifa Mujahidah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Retakan Persahabatan - 3 || Sahabat Dunia Akhirat

Retakan Persahabatan

Kulihat, mereka tampak akrab bermain boneka-bonekaan. Kinan memegang Mocu—ah iya, aku baru ingat. Nama boneka yang berwarna merah muda itu bernama Mocu! Ah, imut namanya.

Kinan memainkan Mocu, sedangkan Sabrina memainkan Mancik. Mereka terlihat akrab, seperti seorang sahabat. Aku yang berada di samping mereka, seolah dilupakan. Dianggap tidak ada. Siapa yang tidak cemburu melihat sahabatnya akrab dengan orang lain?

Aku memang pemcemburu. Apalagi, jika berurusan dengan keluarga atau sahabat.

Kucoba bergabung dengan mereka. Aku menghentak-hentakkan bonekaku ke dekat mereka. Tapi, mereka tidak sedikit pun melirik padaku. Aku mendengus kesal, lalu menjauhkan bonekaku dari mereka.

Aku mencoba fokus menambah hafalan. Walau aku sudah menyetor, tetapi tetap harus menambah hafalan, untuk setoran pekan depan. Mataku sudah berair. Sudah aku katakan di awal, aku memang sensitif untuk urusan keluarga dan sahabat. Inilah yang membuat persahabatan antara aku dan Kinan sering ada retakan, karena aku terlalu sensitif untuk urusan sahabat. Tapi, bukankah itu yang dinamakan persahabatan sejati? Kita terlalu sensitif dalam urusan persahabatan, mudah cemburu, karena kita sudah merasa benar-benar bersahabat. Benar kan?

Aku memang cemburu dalam persahabatan. Cemburu ketika Kinan lebih dekat dengan yang lainnya. Cemburu ketika aku tersisihkan dari Kinan.

Aku menghapus air mataku dengan kasar. Aku mencoba menutupi wajahku dengan Al-Qur’an. Tanganku sibuk mengusap-usap mata.

“Shof, pinjam bonekanya ya,” sebuah suara mengagetkanku. Aku masih sibuk menghapus air mataku, tidak kujawab. Apalagi, aku kenal suaranya. Suara Sabrina! Huh!

“Shof?” panggil Sabrina lagi.

“Yaa, ambil aja!” sahutku ketus. Dia mengangguk-angguk dan kembali bermain bersama Kinan. Ini yang aku tidak suka jika aku duduk dipisah dari sahabatku. Dia jadi bermain dengan yang lain. Tapi, bukankah boleh bermain dengan selain sahabat? Memang boleh sih, tapi, aku memang terlalu sensitif saat itu.

Akhirnya, bel pertanda istirahat tiba. Aku bisa keluar dari ruangan menyesakkan ini. Aku memakai sepatu dan langsung berlari ke warung Nenek tanpa mengajak Kinan. Mataku sudah tidak berair lagi. Sebenarnya, aku tadi tidak menangis. Tapi entah kenapa, mungkin karena aku sesak melihat Kinan yang asyik bermain dengan Sabrina, maka otakku memperintahkan mata untuk mengeluarkan air.

Aku membeli bakso bakar yang satu tusuknya ada tiga bulatan bakso sebanyak dua. Itu beli yang sudah jadi. Jadi, tidak bisa dipilih rasanya. Yang ada hanya pedas semua. Aku suka bakso ini. Hampir setiap hari aku membeli bakso bakar. Lalu, aku membeli teh manis dingin. Untuk urusan teh ini, aku selalu membelinya setiap hari juga. Hehe, aku terlalu banyak mengkonsumsi gula. Semoga tidak terjadi apa-apa, ya!

Teh manis dingin ini dijual per-plastik. Satu plastik dijual seharga seribu. Aku juga membeli pempek. Satu pempek harganya seribu, kuahnya silakan ambil sepuasnya. Aku membeli dua. Jadi, jajanku seluruhnya lima ribu rupiah.

Lalu, aku bergegas kembali ke kelas. Aku duduk di atas kursi, tidak bergabung di bawah bersama teman-teman perempuanku yang lain. Hehe, beginilah aku kalau lagi ngambek.

Kelas masih lumayan kosong. Aku jadi tenang menikmati jajananku. Di kelas, aku tidak melihat Kinan. Mungkin, dia lagi jajan bareng teman yang lain. Ah, biar saja. Aku tidak mempedulikannya.

Tidak lama kemudian, Kinan datang bersama teman perempuan yang lain. Aku cuek tetap makan sendiri meski teman-teman perempuanku semuanya berkumpul.

***

Hingga ishoma (istirahat sholat makan) , aku tidak bertegur sapa dengan Kinan. Kinan pun tidak membuka obrolan denganku. Dia hanya sibuk mencubit-cubit bibirnya yang kering akibat kurang minum.

Ketika ishoma, sesudah salat zuhur, aku mengambil bekal sendiri ke depan. Aku katering sama Bude. Jadi, Bude baru mengantar kateringnya pukul sebelasan. Baru nanti kotak kateringnya diambil Bude ketika pulang, pukul empat. Kami yang katering sama Bude hanya perlu meletakkan kembali kotak katering ke meja yang yang ada di depan ruang guru.

Biasanya, aku mengambil katering bersama Kinan. Kinan tidak kateringan, tetapi ia mengambil bekal di pos satpam. Jadi, kami sekalian ambil bekal bersama. Lalu setelah mengambil bekal, biasanya kami akan jajan di warung Nenek. Keseringannya, kami membeli pop ice.

Tapi kini, aku ogah bersama Kinan. Ego-ku mengatakan, bahwa yang salah pada pertengkaran ini adalah Kinan dan Sabrina. Mengapa Sabrina tega merebut Kinan? Mengapa Kinan tega tidak mengajakku bermain bersama?

Sedari pagi tadi, ketika aku mendiamkannya, aku terkadang melirik Kinan. Dia masih saja asyik mencubit-cubit bibir keringnya. Tapi anehnya, dia sambil melamun. Aku menebak, dia mulai ngeh kalau aku mendiamkannya.

Untung saja, Ustadzah Eno tidak menanyakan perihal kami berdua. Ustadzah Eno sudah tahu, kalau ke mana aku pergi, pasti Kinan juga ikut. Begitu juga sebaliknya.

Sesudah mengambil bekal, aku bergegas menuju warung Nenek. Aku tetap ingin membeli pop ice rasa cokelat kesukaanku.

“Bu Upik, pop ice-nya rasa cokelat satu,” ujarku pada Bu Upik. Bu Upik adalah ibu yang bekerja di warung Nenek. Sekarang, Bu Upik sudah menjadi petugas kebersihan di sekolah.

“Pakai mieses?”

“Enggak,” jawabku. Kalau lagi mood, biasanya aku membeli pop ice memakai mieses. Tapi sekarang, aku lagi kurang mood.

***

Di kelas, aku bergabung bersama teman perempuan lainnya. Membentuk formasi lingkaran di karpet untuk makan siang bersama. Kali ini, aku tidak duduk di samping Kinan. Kinan duduk di hadapanku. Di sebelahnya, ada Sabrina.

Aduh, kepalaku jadi pusing kalau melihat mereka berdua.

Kami mulai makan sambil bercerita. Aku tetap menyahut kalau dipanggil, dan tetap menjawab kalau ditanya. Untung saja, tidak ada yang menanyakan kenapa aku dan Kinan duduknya berpisah hari ini.

Sudahlah, perutku sudah keroncongan sedari tadi. Aku menyeruput pop ice dan langsung membuka bekalku. Hmm… ayam tepung dengan saus.

“Kinan, makanlah bekalmu, nanti dilalatin,” tegur Meme. Aku melirik ke bekal Kinan. Ia membiarkan bekalnya terbuka, tapi tidak kunjung disentuhnya.

“Nanti aja. Ana nunggu Aca sama Atika.”

Entah apa penyebabnya, begitu Kinan selesai mengatakan itu, air mataku keluar lagi. Ada rasa sesak di dadaku yang membuat mataku kian lemah untuk menjaga bedungan air mata ini. Entah rasa kesal, marah, benci, sedih, atau apalah.

Seketika, selera makanku hilang. Aku menutup bekal, lalu langsung berlari menuju kamar mandi. Aku tidak sempat mengucapkan permisi pada sekelompok laki-laki kelas 5 Bilal yang sedang makan di koridor.

Kudengar, mereka sempat menyorakiku yang lewat tanpa permisi. Aku tidak peduli dan langsung menutup pintu kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, aku terisak. Apa? Apa yang membuat aku menangis? Apakah rasa cemburu yang sedari pagi tidak bisa kutahan lagi? Apakah karena Kinan mengucapkan kalimat tadi? Lalu mengapa aku menangis karena Kinan berkata seperti itu?

Sejuta pertanyaan meremas-remas hatiku. Entahlah, aku terlalu cengeng, ya? Sehingga segitu saja aku sudah menangis?

Kuhidupkan keran air agar isakanku tertelan oleh berisiknya suara keran. Sambil aku buang airnya agar tidak melimpah. Sayup-sayup kudengar suara dari luar, “Shofi nangis! Shofi nangis!” aku menggemeletukkan gigi. Siapa yang berkata seperti itu? Membuatku malu saja!

Sesaat kemudian, aku mendengar suara ketukan pintu dari kamar mandi yang aku tempati.

“Shofi ayo keluar Sayang. Enggak baik nangis di kamar mandi.”

Ah, suara Ustadzah Eno! Aku semakin geram. Kenapa sih, masalah persahabatanku harus diketahui banyak orang? Pasti berita ini sampai ke kelas 5 Bilal. Aku tidak ingin dianggap cengeng oleh mereka!

“Gapapa zah…” lirihku. Aku berusaha menghapus air mata, dan membuat hidungku yang memerah pulih kembali. Entah apa yang terjadi di kelas sekarang, dan entah siapa yang memberi tahu kepada Ustadzah Eno kalau aku menangis.

Nyatanya, aku tidak menangis! Aku hanya terisak! Aku hanya terisak, bukan menangis!

Akhirnya, kuberanikan keluar dari kamar mandi. Ustadzah Eno menuntunku kembali ke kelas. Sempat kulirik Kinan. Ah, mukanya yang polos begitu tampak mengisyaratkan penyesalan.

Aku tahu, selama aku menjadi sahabatnya, Kinan tidak pernah mengucapkan “Maaf” secara langsung. Ketika aku mendiamkannya, dia juga ikut mendiamkanku. Dan aku yakin sekali, ketika dia mencubit bibirnya sambil melamun, ia memikirkanku.

Aku tahu, dia tidak pernah mengucapkan maaf kepadaku. Tapi, dilihat dari tingkah lakunya, ia menampakkan penyesalan, sedih, dan lainnya. Saat itu, aku baru tersadar. Bukankah Kinan juga perlu bermain dengan selainku? Mengapa aku terlalu egois menjadi seorang sahabat? Apakah itu menyebabkan selama ini aku susah mendapatkan sahabat sejati? Hanya Kinan yang mau menerimaku apa adanya.

Dan saat itu juga, ketika aku melihat wajahnya, aku tahu, yang salah hari ini aku, bukan Kinan, atau malah Sabrina. Mungkin saja Kinan juga bosan bermain denganku terus, kan? Mengapa aku tidak membiarkannya bermain dengan selainku?

Aku pun merasakan dadaku dilapangkan. Hatiku disiram oleh pengikhlasan. Otakku serasa dipijat oleh persahabatan. Aku kembali merasakan persahabatan yang selama ini aku jalani dengan Kinan. Dia memang sahabat sejati. Sahabat yang menerima apa adanya. Sahabat yang lapang dada. Sahabat yang… ah, Kinan. You’re the best friend.

Kinan, maafkan sahabatmu yang egois ini ya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus bangett teh!! Aku juga sering gitu. Pas udah dapet sahabat, pasti aku ndak mau dia main sama yang lain.. Lanjuuttt yaa teh!! Semangatt

05 Feb
Balas

Alhamdulillah makasiihh... hehe, kita jadinya pencemburu kan yak. Iya, semangat juga!!

05 Feb

Iya >_<

05 Feb

Aku juga pernah kyk gitu... sama persis kyk teteh, tp bukan anak baru....

05 Feb



search

New Post