Rumaisha Annida

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Malam ( 3 )

Malam ( 3 )

The Archery Girl

3. Malam

Azwa menutup pintu rumah. Ia menemukan Ibu tertidur di sofa dengan buku tebal. Azwa memasuki kamarnya. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi tadi. Niyoka bagai raib ditelan bumi tak berbekas. Azwa melempar tasnya sembarangan.

“Az, kamu sudah pulang?!” tiba-tiba saja Ayah muncul di ambang pintu. Azwa menoleh tersenyum. Kedatangan Ayahnya membuat suasana hatinya membaik.

“Hari ini kita berlatih lagi kan, Yah?” Tanya Azwa. Ayah mengangguk.

“Bersama Kak Jeffier,” Tambah Ayah. Azwa menepuk dahi. Aduh, kakak laki-laki cerewet itu.

Sesampainya di hutan.“Masih pakai ketapel?!” Azwa menatap sebal ketapel yang disodorkan Ayahnya lalu melirik busurnya dibiarkan tidur di tanah.

Ayah tertawa. “Masih terlalu cepat untuk menggunakannya lagi,” ucap Ayah.

“Udah jangan banyak omong lagi paman, Si Az, semakin ditanggapi semakin susah,” lapor Kak Jeff. Azwa memonyongkan bibir.

“Miror!” Azwa mendorong tubuh tetangganya itu. Yang didorong tertawa.

Ayahnya memimpin jalan masuk ke hutan. Akhirnya Ayah menemukan tempat yang bagus untuk berlatih. Langsung saja azwa menarik karet ketapel yang sudah berpeluru. Ia melihat burung terbang tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Ia segera menyesuaikan bidikannya. Azwa sudah bersedia melepas bidikannya. Tunggu, apa!

Burung itu segera kabur, karena tembakan meleset Kak Jeff. Azwa dengan sebal mengarahkan bidikannya ke arah kepala anak besar itu, yang tengah kebingungan. Mengapa tembakanku meleset? Begitu maksud raut muka Kak Jeff. Tuak, kerikil kecil mendarat tepat di kepala Kak Jeff. Ia mengaduh pelan, lantas melotot ke Azwa. Azwa tertawa puas sambil menunjukkan muka sebalnya. Kamu dulu yang mengambil targetku!

Azwa kembali menatap langit. Suara burung melenguh pelan terdengar dari arah Timur. Azwa menoleh, tersenyum, menarik karet ketapel. Membidik burung malang itu. Hup, Azwa melepas bidikannya. Ouch, Azwa tertawa puas melihat burung itu tumbang.

“Ayah, lihat itu!” Tunjuk Azwa. Ayahnya menatap sebentar lantas menggeleng tegas.

“Kamu terlalu lama. Hari ini kita akan belajar kecepatan, Az!” Ayah menatap Azwa serius. Lalu mendongak mencari target. Baiklah, jangan ragukan keahlian Ayahnya, dalam hitungan detik Ayah berhasil menumbangkan burung tersebut.

Azwa menghela napas pelan baiklah. Ia, menutup matanya untuk memberi aksen ke otaknya. Ia mendengar suara burung dari arah Barat. Azwa membuka matanya kembali. Menarik karet ketapel yang sudah berpeluru. Ia segera membidik dengan mata setengah terpejam. Sedikit lagi…yak, kerikil itu melesat cepat bagai peluru sniper ke arah kepala burung itu.

“Bagaimana Yah?” Azwa menatap Ayahnya berbinar. Kak Jeff tersenyum kagum. Ayah tersenyum bangga.

“Nyaris mengalahkan Ayah,” Ayah mengacak rambut hitam kecoklatan Azwa. Ia menatap Kak Jeff sambil tertawa sombong.

“Kuakui kamu memang berbakat dalam hal ini az,” Kata Kak Jeff. “Tapi, tidak untuk yang ini-“ Lanjutnya sambil menyikut bahu Azwa lalu segera berlari. Azwa jatuh dan segera bangkit mengejar.

Azwa berusaha meraih ujung baju Kak Jeff. Tidak dapat. Kak Jeff mempercepat larinya. Oke, dia yang meminta. Azwa berhenti dari larinya meraih kerikil dan ketapel dengan kedua tanganya secara bersamaan. Lantas menutup sebelah matanya. Memiringkan kepalanya, sambil menarik karet ketapel. Membidik Kak Jeff yang masih berlari lurus.

“Rasakan balasanku!” Seru Azwa melepas karet ketapel. Lagi-lagi bagai peluru sniper, melesat cepat ke arah punggung Kak Jeff. Hahaha…kena!

Kak Jeff mengaduh kencang. “Itu sakit Az, kau curang!” Kak Jeff menatap galak. Azwa tersenyum kecut.

“Sejak kapan ada peraturannya?!” Ujar Azwa enteng. Ayah tertawa melihat kelakuan anak-anak itu yang mulai beradu mulut.

Pagi kembali datang. Azwa meraih tasnya. Mood-nya sedang baik. Nanti siang Ayahnya membolehkan dirinya untuk kembali menggunakan panah. Ia berjalan dengan semangat lupa akan ada gangguan di sekolah, atau bahkan di jalan. Benar saja gadis albino itu muncul dari jalan arah hutan.

“Pagi Az, kemarin kau hebat sekali,” puji Niyoka sambil berusaha menyejajari langkah Azwa yang semakin cepat.

“Kamu mengintip ya?” Tanya Azwa menyelidik. Niyoka tertawa menggeleng.

“Tidak, kalian saja yang tidak melihatku.” Niyoka membalasnya dengan senyuman.

Sesampainya di kelas. Azwa segera meletakkan tasnya lalu meraih alat panah yang rutin ia bawa, tidak ada larangan. Lantas segera pergi dari situ melihat Niyoka duduk di bangku sebelahnya. Ia berjalan cepat ke arah belakang sekolah. Azwa tersenyum pohon tua yang cukup lama menemaninya berlatih di padang, bahkan jadi sasaran Azwa. Azwa mengelus batang kayu itu dengan sayang.

“Baiklah pohon tua, mari bermain!” Seru Azwa dengan semangat. Ia segera menyiapkan alat panahnya. Lalu berlari menjauh sebelas meter dari pohon tua. “Tunggu, tidak seru jika kamu hanya diam di situ,” celoteh Azwa seolah pohon tua itu mendengarkan. Azwa menatap langit-langit. Tidak ada yang lewat. Aha, panah saja ranting-ranting kecil di pohon tua itu. Sayang sekali, kalau saja pohon itu masih berbuah pasti seru. Tak apa, ukurun ranting-ranting itu cukup kecil sulit untuk dilihat. Azwa bertekad mematahkanya.

Azwa mulai mengambil anak panah dari belakang punggungnya. Dengan cepat, Azwa memposisikan anak panah dibusurnya, lalu mulai menarik tali busur. Ia tengah menguji coba kecepatannya. Azwa memincingkan mata, membidik ranting yan pandangannya kabur. Detik ke delapan, anak panah itu melesat dengan cepat kea rah ranting paling tengah. Anak panah itu berhasil menembus halangannya dan menancap di batang pohon itu. Yey, patah!

“Waduh semakin, profesional saja kau Az,” Nara menepuk pundak teman baiknya. “Lihat hanya butuh waktu beberapa detik saja anak panah itu tiba di sana.” Puji Nara sambil memincinkan mata mencari anak panah itu. Azwa tersenyum bangga.

“Jadi kamu sudah berteman baik dengan anak baru itu?” Tanya Nara asal. Azwa segera mengubah ekspresinya 90 derajat, hendak membantah.

“Ya, aku sudah menganggapnya teman baikku!” Seru Niyoka tiba-tiba muncul. Azwa dan Nara terkejut. “Tapi aku yakin Az, berpikiran sebaliknya.” Lanjut Niyoka memandang Azwa sanbil tersenyum tulus.

“Ugh, kau selalu saja penuh dengan kejutan,” Azwa mendengus jengkel.

“Aku suuukaaa, sekali kejutan. Dan aku berharap kau juga akan menyukainya,” Balas Niyoka. Nara dan Azwa saling pandang. “Maaf, aku lupa. Niyoka!” Niyoka menjulurkan tangan ke arah Nara. Nara menerimanya, hendak menjawab. “Nara kan? Teman baik Azwa.” Niyoka berbicara lebih dulu. Lagi-lagi Nara dan Azwa saling pandang.

“Kau telah menjawabnya sendiri.” Jawab Nara.

Hari berlalu cepat. Tidak teras lonceng pulang terdengar. Azwa meraih tas dan alat memanahnya. Untung hari ini tidaj serepot kemarin, ia bisa mengatus Niyo dengan baik. Tidak perlu uring-uringan memikirkan hal negative selama perjalanan pulang. Mengingat akan berburu burung dengan panah, Azwa kembali fresh seolah-olah tidak ada pelajaran yang dibencinya barusan dan juga Niyoka yang selalu mengikutinya.

“Az, ikut!” Panggil Niyoka. Karena suasana hati sedang baik ia mengiyakan Niyo. Selama perjalanan. Tidak ada yang berbicara sedikitpun. Azwa hanya menyanyi dalam batin. Entah Niyo menatap kosong jalanan. Azwa mengabaikannya. Pertigaan, mereka berpisah saling melambai, berlalu. Azwa menyempatkan menoleh sebentar berharap melihat proses menghilangnya Niyo. Namun, Niyo sudah tidak ada.

Malam harinya, purnama menembus jendela kamar Azwa. Gadis itu tengah mencorat-coret buku hariannya dengan geram, ia menggambar asal seorang gadis dengan muka ditekuk. Nampaknya, Azwa sedang merajuk. Ia kecewa dengan Ayahnya. Janji memanah burung ditunda. Karena hal yang menurut Azwa tidak masuk akal.

Maklum Azwa sangat marah. Ayahnya bukanlah tipe orang yang suka ingkar janji. Ini pertama kalinya Ayah ingkar padanya. Namun entah apa yang melintas di benak Azwa sesaat setelah menlihat purnama. Di mana Niyoka berasal?

Ide nakal itu terbesit di kepalanya. Azwa akan pergi ke hutan malam ini juga. Sekalian saja membawa alat panah. Kita lihat seberapa, hebatnya Azwa memanah dalam gelap. Jarang sekali ia memanah di malam hari.

Azwa segera menyiapkan barang yang hendak ia bawa. Setelah semua siap ia mulai melompat keluar jendela. Azwa menatap kamarnya yang lenggang. Lalu ia menutupa jendla kamar dari luar. Azwa bergegas pergi.

Ia tidak akan pernah menyangka kalau ia tidak akan melihat kamar itu lagi kedepannya untuk sementara.

Sesampainya di hutan. Lebih terang dari yang ia kira. Azwa mengeluarkan senternya. Hutan ini rupanya lebih horor dari yang ia pikirkan. Azwa menarik napas dan menhembuskannya. Ia mulai berjalan perlahan hutan ini sudah cukup terang dari biasanya karena cahaya purnama. Suara burung hantu terdengar jelas. Suara kelelawar, dan hewan lainnya yang terganggu oleh sorotan cahaya senter.

Jujur Azwa tidak terlalu takut. Ia menyukai suasana hutan yang damai. Azwa memijakkan kakinya di tempat Ia berlatih bersama ayahnya. Ok, Niyo pernah bilang kalau dia pernah melihatku bermain ketapel di sini. Pikir Azwa, selanjutnya apa yang harus ia lakukan.

Azwa menatap sekeliling diiringi cahaya senter. Entah apa yang membuat Azwa takut. Suara aneh itu berasal dari belakang. Azwa bergegas mematikan senter lalu, memanjat pohon terdekatnya. Ia berpikir kalau itu bisa jadi beruang.

Suara itu menghilang begitu saja Azwa masih dalam posisinya. 3 menit lenggang, baiklah ia bersiap hendak turun. Namun, saat ia memijakkan kaki di tanah, ada yang menepuknya dari belakang. Azwa menoleh perlahan bersiap menjerit. Rupanya…

“Hey Az, bagus kau sudah di sini aku tidak perlu pergi ke rumahmu,” kata sosok tersebut. “Lihat bahkan kau sudah membawa alat kesayanganmu.” Sosok tersebut menunjuk punggung Azwa yang tersampir alat panah.

Azwa menghembuskan napas lega. Lalu ia memandangi sosok tersebut. “Niyo, Jika kamu Niyo? Kenapa kulitmu jadi putih sekali? Bercahaya lagi?” Tanya Azwa penasaran. Itu niyo berdiri dengan tegak, tersenyum ke arah Azwa. Kali ini mata dan kulitnya bercahaya layaknya purnama.

“Iya, ini aku, Niyo,” Niyo tersenyum. Lalu sedetik kemudian raut wajah Niyo berubah jadi serius. “Az, langsung saja aku butuh bantuanmu, kebetulan sekali kamu datang di waktu yang tepat.” Niyo berhenti sejenak menatap sekeliling seolah takut ada yang nguping.

“Aku tahu selama kita bertemu kau memiliki pertanyaan tentang diriku. Khususnya, dari mana aku tahu banyak hal tentang dirimu.” Kata Niyo.

“Ya,” Azwa masih berusaha mencerna apa yang dialaminya.

“Semua akan kujelaskan di sini. Secepatnya.” Lanjut Niyo. “Dengar, aku memang bukan manusia. Rupanya manusia mudah ditipu. Penyamaranku jelas-jelas tidak sempurna begini masih dikira Albino-“

“Manusia tidak mudah ditipu, aku buktinya!” Potong Azwa tidak terima.

Niyo memuter bola matanya. “Terserah apa katamu deh…”

“Fokus oke. Intinya aku bukan dari dunia ini yang bisa kamu sebut Bumi. Aku berasal dari ‘Dunia Layn’. Tempat di mana seolah imajinasi fantasimu benar-benar terwujud menjadi nyata.” Jelas Niyo.

“Jadi, di sana ada unicorn?” Azwa mencoba bertanya apa yang muncul dikepalanya.

Alicorn bahkan ada.” Niyo mengangguk cepat. “Dan, setiap hendak musim semi, duniaku akan diserang oleh ‘makhluk hitam’ yamg jumlahnya selalu melebihi kami.”

“Apa hubungannya denganku?” Azwa masih tidak paham.

“Mudah menjelaskannya. Setiap tahun, tepatnya pada awal Bulan Juni. Dunia Layn akan pergi ke Bumi mencari manusia-manusia muda yang tangguh dan berbakat hebat dalam bidang perang. Untuk membantu kami, melawan ‘makhluk hitam’. Dan dengan begitu mereka yang membantu kami akan selalu mendapatkan imbalan bersama kenangan tak terlupakan.” Niyo menatap Azwa penuh harap.

“Dan itu artinya aku akan pergi meninggalkan Bumi.” Azwa menggeleng bimbang. “Kenapa tidak orang dewasa saja? Anak kecil sepertiku tidak mungkin mengikuti perang?” Tanya Azwa heran.

“Kalau yang itu aku sulit menjelaskannya, kamu akan menemukan semua jawaban dari pertanyaanmu di ‘Dunia Layn’. Ayolah Az, mau ya…” Pinta Niyo memohon.

Azwa berpikir sejenak. Entahlah apa yang harus ia pilih. “Ayo dong, toh nantinya kamu juga tidak rugi.” Niyo di depannya masih memelas.

“Oke, tapi-“

Azwa tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, tangannya sudah ditarik oleh Niyo yang tampaknya buru-buru. “Oke-kan, berarti kita harus cepat.” Kata Niyo. Niyo membawa lari Azwa lebih masuk ke hutan. Suasana hutan terasa semakin gelap. Dan keganjilan pun terjadi. Semakin mereka masuk ke hutan, Azwa merasa ia tidak lagi memijak tanah, namun bagaikan udara kosong. Pepohonan hutan mulai menghilang secara perlahan. Saat Azwa menatap kearah depan. Di ujung sana sebuah cahaya berpendar-pendar. Kini cahaya itu tepat berada di depan hidung Niyo. “Jangan kaget ya,” ujar Niyo tersenyum lebar. Lalu, Niyo mengulurkan tangannya. Ajaib, tangan sepirti masuk kedalam air yang…berwarna putih. “Ayo, masuk.” Ajak Niyo.

Azwa sangat yakin ia tengah memasang wajah paling aneh sepanjang umur.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut kak

27 Jul
Balas

Maaf baru baca, maaf juga lagi nggak bisa lanjut kakak banyak kerjaan. Tapi insyaAllah kakakbikin yg baru :')

28 Jul



search

New Post