"Aku dan janjiku 13 tahun yang lalu. Kalau kalian bertanya, dia akan datang atau tidak-"

---

Bagi Okta, janji adalah janji. Tak peduli seberapa lama janji itu dibuat, Okta akan menepatinya. Karena janji, adalah sumpah baginya.

Sama seperti hari ini, dimana dia, dengan kemeja kuning pastel serta rok putih selutut disertai tas selempang kecil berwarna putih, menunggu didepan sebuah telepon umum tua. Bukan tanpa alasan dia menunggu disini.

Ia mempunya janji, dengan sahabat kecilnya yang pindah ke Jerman sejak 13 tahun yang lalu. Apa mereka berkomunikasi? Tidak, bisa dibilang, mereka lost contact, meski memori samar masih teringat diotak.

Lagi pula, mereka berpisah saat berumur 7 tahun. Tidak ada yang punya gawai pada saat itu. Jelas, mereka kini hanya bisa bertemu sesuai dengan janji.

Janji dimana mereka akan bertemu didepan sebuah telepon tua itu. Dimana mereka akan kembali bersama, bercanda dan tertawa bersama kembali. Diusianya yang ke-20 tahun ini, Okta todak ingin menyesal karena hanya menganggap itu hanyalah janji bualan belaka.

Hanya karena mereka berumur 7 tahun saat itu, bukan berarti janji mereka adalah mainan.

Semoga.

Menit demi menit berlalu, nyaris satu jam terlewati. Gadis itu masih diam ditempatnya, sesekali melirik kearah kanan dan kiri. Barang kali sahabat lamanya itu datang tiba-tiba.

Nihil, batang hidungnya tidak nampak sekalipun.

Okta menyerah. Ia beranjak, berlalu dari telepon umum tua itu. Dalam hati, ia memedam rasa kecewa pada sahabatnya itu. Vanessa, begitu ia memanggilnya.

Terakhir kali yang ia ingat, Vanessa sangat cantik. Dia suka dikunci kelabang. Kulitnya putih mulus, dan juga cukup tinggi. Senyumnya pun begitu manis, nyaris mengalahkan gula.

Lalu yang lainnya, entah, Okta lupa.

"Lho, ga jadi, Dek?"

Okta menggeleng mendengar pertanyaan kakaknya. Ia hendak naik keatas motor. Namun sebuah suara berhasil menghentikannya.

"Okta?"

Senyum Okta mengembang, ia membalikkan badan.

"Vanessa!"

---

"-maka jawabannya adalah iya."