Rei Andini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pandemi Menuai Rindu

Pandemi Menuai Rindu

Tak terasa, pandemi telah berlangsung selama setahun. Dan selama itu pula, saya dan teman-teman saya mengikuti pembelajaran online disekolah. Entah dengan media virtual berbasis Zoom, atau non virtual berbasis WA dan Google Classroom.

Setahun saya habiskan dengan berdiam diri dirumah. Kebanyakan, saya mendapat waktu senggang dari sekolah sehingga waktu luang saya jauh lebih banyak dibanding sebelum pandemi berlangsung. Dan, karena itu pula, rasa bosan datang jauh lebih cepat dari yang saya kira.

Tahun terakhir SD saya dihabiskan dirumah. Begitu pula tahun pertama saya saat SMP. Tidak ada perkenalan sekolah baru, tidak ada yang namanya mengobrol diam-diam ditengah kelas berlangsung, dan tidak ada yang namanya jajan dikantin.

Yah, kalau boleh jujur, saya lebih merindukan vibes sekolah yang dulu dibandingkan yang sekarang. Saya lebih merindukan cara belajar tatap muka langsung dibanding lewat layar kaca.

Libur 2 minggu hanya rencana awal. Karena rencana selanjutnya, adalah rencana awal yang diperpanjang. Bukan sehari atau dua hari, tapi sampai berbulan-bulan.

Mengambil nyawa orang-orang terkasih. Menyita waktu yang kami diperlukan. Dan juga membuat segalanya berubah, seakan-akan dunia tak lagi tersenyum.

Lantas, mengapa orang-orang dengan entengnya berkeliaran tanpa masker? Mengadakan berbagai acara ini dan itu tanpa protokol kesehatan?

Tidakkah mereka membuka mata dan hati mereka untuk melihat keadaan dunia kita sekarang? Tidakkah mereka melihat harapan kami sebagai siswa-siswi yang ingin cepat-cepat masuk dan bertemu satu sama lain?

Mengapa mereka harus egois seperti itu?

Banyak yang bilang mereka tidak percaya pada Corona, tidak percaya pada pandemi, dan juga menganggap bahwa semua hanyalah konspirasi belaka.

Mati hanya ditangan Tuhan? Benar, 100% benar. Tapi bukan berarti kita bisa seenaknya kesana kemari tanpa masker. Bukan berarti bergerombol itu diperbolehkan.

Tidakkah mereka tahu kalau orang yang menghambat pandemi itu mereka sendiri?

Banyak teman saya yang menolak tatap muka. Alasannya bermacam-macam. Mulai dari catatan hilang, malas, dan lain sebagainya. Jujur saja, dibagian catatan hilang itu saya termasuk. Bahkan saya yakin cukup banyak tugas saya yang hilang atau tidak pada bukunya.

Disisi lain, banyak teman saya yang ingin tatap muka. Pelajaran terlalu susah dicerna tanpa bertatap muka secara langsung. Entahlah, sepertinya otak kami terlalu lelah untuk berhadapan dengan laptop selama 3 jam.

Dampaknya macam-macam. Salah satunya minus saya yang semakin bertambah. Yang semua 2 dan 3, sekarang naik jadi 3 dan 4. Kacamata saya tebal jadinya, hehe.

Kembali ke topik yang tadi.

Tidak semua orang mempunyai persiapan matang untuk menghadapi pandemi. Terlebih keluarga-keluarga yang kurang mampu. Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan sekolah anak mereka?

Mereka menggunakan HP, bagaimana jika mereka tidak bisa membeli HP? Sedangkan untuk makan saja susahnya luar biasa. Bahkan uang sekolah masih jalan, padahal tidak ada pembelajaran tatap muka.

Banyak berita beredar. Kasus mencuri demi anaknya supaya bisa sekolah, mau pun anak yang rela jalan berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan sebuah sinyal.

Kami hanya rindu bertemu. Kami hanya rindu dengan guru-guru kami. Kami hanya rindu dengan waktu saat dimana kami bebas kemana saja. Tanpa masker, dan tanpa kekhawatiran tentang virus.

Pandemi telah merenggut segalanya. Tapi saya yakin, baik saya maupun teman dan anak sekolah diluar sana masih mau berusaha menggapai cita-cita. Meski kami dibatasi oleh jarak, tapi kami masih bisa berkomunikasi.

Pandemi mengajarkan kita, bahwa kesempatan tak datang dua kali. Waktu tidak bisa dibeli. Dan juga, karena pandemi pula, kita tumbuh selangkah menjadi lebih dewasa dengan persiapan yang lebih matang.

Ini tentang saya, dan juga sedikit pengalaman akan kerinduan saya pada sekolah.

Seperti yang orang katakan diakhir kisah.

Ini kisah saya, mana kisahmu?

- End -

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post