Nasywan Aqila Auliarai

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

0004

0004

Bak pohon ditebang, awalnya miring lama-kelamaan akan tumbang seiring waktu. Itulah yang aku rasakan saat sesuatu itu hendak membobol pondasi gedung yang aku masuki. Miring sekian derajat, membuatku harus menambah kekuatan untuk menaiki anak tangga yang jumlahnya ribuan.

Seratus delapan puluh lima... Ha~ah... Masih lima bebas lagi…

= # =

Aku terus berlari, mengejar kakakku yang berada jauh di depan sana. Aku tak mau jatuh bersama bangunan ini. Kalian semua pasti tahu menara Pisa di Italy (salah satu dari delapan keajaiban dunia, dulu). Jika kalian tidak tahu, kapan-kapan main ke sana, jika dilihat dengan teliti bangunan itu memang miring tapi gedung ini lebih miring dari pada menara Pisa tersebut dan tentu saja kalian semua jangan berpikir bahwa otakku semiring menara ini…

Tak mau dikalahkan oleh waktu dan tak mau juga ditelan habis oleh gedung didetik-detik kerobohannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, aku memaksakan kaki ini untuk terus berlari.

Andai punya kaki cadangaaan... Gerutuku dengan nafas yang sudah tak berirama serta berlari-lari ke atas.

Seperti tidak ada ujungnya, aku berlari tapi serasa tidak naik-naik tingkat digedung ini.

“Kak! Tu-tunggu!” pintaku dengan histeris, bahkan membuat tenggorokkanku kering.

= # =

Sayup-sayup suara memanggil dari lantai bawah terdengar sangat menyadihkan, layaknya seorang gamers biasa yang akunnya sudah pro tiada duanya, namun akunnya di-heck lalu dihapus begitu saja.

“Dasar anak itu, kok bisa tertinggal sih?” gerutuku mendengar sayup suara barusan.

“Ha~h, ada-ada saja” kataku santai sambil menghembuskan nafas yang sebal.

Aku pun melihat ke jendela dan melompat keluar. Lantai demi lantai aku lewati, menuju tanah dengan makhluk super misterius menunggu. Yak… Sekarang! Aku langsung mengayunkan badanku ke dalam sebuah lantai gedung. Terlhat sebuah sosok bayangan yang tengah berlari. Tanpa basa-basi aku langsung memanggilnya.

“Woy! Mau kemana?!” teriakku dengan nada agak mengagetkan. Sosok itu tersentak dan terjatuh, dan dengan segera ia langsung menoleh ke arahku.

“Ka-kakak! Dasar, jangan meninggalkanku dong!” ujarnya riang.

“Ayo kita langsung kelantai dua ratus!” ajakku dengan semangat.

“Ayo! Siapa takut?!” balasnya semangat.

“Haa~ Aku sengaja menjemputmu, larimu lamban sekali,” ejekku dengan tenang.

“Berhentilah mengejekku, ntar gak nyampe-nyampe ke lantai dua ratusnya,” ia membela diri. Aku pun mengeluarkan kawat tebal dari tas selempangku lalu memutar kawat tersebut di luar jendela.

Soal akurasi jangan ditanya, aku terkadang melakukan hal ini. Dengan penuh percaya diri, aku melempar kawat tersebut ke bingkai jendela lantai 199 yang terbuka. Tersangkut! Aku berhasil. Jangkar kecil yang ada di pangkal kawat berhasil kusangkutkan di bingkai jendela tersebut.

“Pengangan!” tanpa banyak berdebat lagi, ia langsung meraih tanganku dan meremasnya sekuat tenaga, tapi menurutku itu seperti diremas bayi saja.

“Siap? Meluncur!” teriakku dengan riang, “Yuhuuuu....” sambung adikku. Tangan kananku memegang sebuah kabel kawat yang tebal dan sudah disangkutkan kelantai dua ratus.

Meluncurlah kami kelantai dua ratus dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat, tidak terlalu mulus kami mendarat di lantai 199. Buru-buru aku bangkit dan berlari naik ke lantai terakhir, begitu pula dengan adikku. Ia tak mau tertinggal begitu saja.

Sesampainya di lantai terakhir, terlihat banyak sekali ruangan dengan banyak sekali fariasi pintu yang aneh-aneh, ada yang geser, lalu pintu yang terbuka dengan ditarik atau didorong dan lain-lain. Tapi semua pintu aneh tersebut warnanya sama saja. Tapi dibagian ujung lorong ini terdapat pintu yang berbeda warnanya.

DUAAR! Suara ledakan dari bawah semakin menjadi-jadi, gedung ini pun serasa mau rubuh dengan lebih cepat.

“Cepat! Pintu paling ujung!” perintahku kepada adikku dengan disertai larian yang cepat. Adikku yang sampai duluan dipintu itu langsung berteriak, “Terkunci! Pintunya dikunci!”

Aku yang mendengarnya langsung kaget setengah mati dan memperlambat langkahku.

“Coba cari di sekitar situ! Mungkin ada di sana! Sekalian cek tiap-tiap ruangan!” teriakku dengan nada agak panik.

Cepat atau lambat gedung ini akan rubuh. Pikirku.

Maka dari itu aku harus berlomba dengan robohnya bangunan ini dan wasitnya adalah waktu itu sendiri, yang menang maka akan dapat harapannya masing-masing.

Harus lebih cepat atau aku akan mat....

DUAAR! Ledakan itu memecah pikiran negatif yang tengah liar di otakku.

Tidak, pasti masih ada harapan, pasti kuncinya di sekitar sini. Gumamku seraya mengobrak-abrik laci meja serta lemari untuk mencari kunci pintu keruangan ayah.

“Kak! Disini ngaak ada!” suara itu terus bergeming di telingaku, aku terus mencoba mengingat-ingat pesan yang ayah berikan pada tempo hari itu.

“Di ruangan yang dekat dengan jendela luar juga tidak ada!” teriakkan adikku membuat harapanku semakin pupus.

Aku pun teringat kembali kebiasaan ayahku menaruh benda penting. Hari itu aku tidak bisa masuk ke rumah karena aku lupa bertanya di mana ayah dan ibu menaruh kunci rumah. Saat itu pintu rumahku belum memakai alat scan mata dan juga kejadian ini terjadi sebelum lahirnya adikku yang menyebalkan, seharian aku mencarinya tapi tidak ketemu.

Lalu aku pun berusaha menelepon ayah ibuku tapi jawabannya selalu saja seperti ini.

“Maaf orang yang anda panggil sedang sibuk.”

Aku pun hanya bisa menunggu sambil mencari kunci itu.

Saat ayahku pulang. Hari dimana matahari mulai terbenam. Padahal aku menunggunya sejak matahari berada di atas kepala.

“Irigami, kau tidak masuk?” tanya ayahku dengan polos.

“Gimana bisa masuk kalau kuncinya aja gak tahu kemana,” jawabku kesal.

“Kamu bayangkan dimana tempat yang tidak akan dicari orang dan juga susah diambil yang ada di luar rumah ini,”

“Kalau di atap aku sudah cari, tidak ada…”

“Kuncinya memang di atap, lebih tepatnya di penangkal petir,”

“Di penangkal petir?!” kataku dengan kaget.

“Oh, kau baru tahu kebiasaan aneh ayahmu ini?” tanya ibuku lembut.

“Iyalah, itukan tempat paling yang aman untuk menyembunyikan kunci selain itu ayah punya kunci cadangan kok jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi,”

“Oh, itu di atas menara! Di penangkal petir!” kataku dengan semangat seraya menatap ke arah plafon.

“Gila ya?! Siapa juga yang mau naik ke penangkal petir? Intinya belakangannya juga mati,” sergah adikku.

“Pokoknya kita harus kesana bagaimana pun caranya,”

“Gila! Kalau cuma itu pilihannya, mendingan didobrak aja dari pada mati kesamber petir!” teriak adikku dengan nada putus asa.

= # =

Aku melihat ke jendela serta melihat ke bawah, ternyata di bawah ada seribu benda menjijikan, mirip semacam kaki serangga. Sekarang kaki-kaki itu tengah merambat ke atas dan hendak menghancurkan kami lalu kami akan berakhir seperti dicerita-cerita lama, yaitu menjadi snack tambahan sang monster.

Wajahku sudah mulai pucat pasi serta keringat dingin yang bercucuran membasahi seluruh tubuhku, rasa putus asa telah menyeliputi diriku yang masih lemah.

Waduh, kunci dipenangkal petir, dari bawah diserang.... Waduh, gimana niih… Gumamku dengan putus asa sekali setara dengan perasaan tak ada harapan lagi.

“Kau tunggu disini, oke? Kakak akan ke atas!” ucap kakakku dan langsung melentingkan tubuhnya ke atas.

“Woy, tungguu dulu!” aku terlambat sedetik untuk mencegahnya pergi.

Jangan sampai terbunuh yaa kak. Jika kakakku mati maka semakin pupus harapanku agar bisa bertahan hidup di sini. Aku terduduk di pojokan, dekat pintu ruangan ayahku. Aku menghadapkan wajah ke bawah, memandangi lantai yang kotor, sambil terus memahami apa yang sebenarnya terjadi, apa yang terjadi pada kehidupanku.

Kenapa? Kenapa? Kenapa harus sesusah ini? Kenapa harus sepahit ini? Adakah orang yang dapat memahami kehidupan yang sedangku jalani? Sakit sekali, pahit, itukah tema kehidupanku? Kenapa harus terjadi padaku? Gumamku sampai-sampai meneteskan air mata yang membasahi bajuku, tak hanya dari mata, air dari hidung pun semakin menjadi-jadi.

= # =

Aku melompat keluar jendela dan langsung melemparkan kawat - yang tadi kupakai - ke atap gedung tersebut. Saat sudah tersangkut aku langsung menarik tubuhku agar dapat sampai ke atap gedung.

Tepat saat aku sudah mendarat di atas gedung tersebut, aku melihat ribuan kaki dan sepasang tangan yang seperti pedang yang dipegang terbalik. Semua itu sudah siap menyambarku kapan saja.

Monster, bentuk dari monster itu adalah sebuah kelabang raksasa sebesar 2 lantai, dengan sepasang tangan belalang sembah di kaki depannya.

Ia terhenti saat melihatku, tak jauh berbeda aku tersentak kaget dan tak bisa bergerak karena kaget melihat wujudnya yang menjijikkan. Kami sama-sama memberi jarak seraya mengambil ancang-ancang untuk menyerang, kucabut pedangku dari puggungku dan langsung membuat kuda-kuda siap menyerang.

Satu,dua,tiga! Serentak kami menyerang, menatap satu sama lain dengan mata penuh kebencian yang sama (walaupun matanya 100 kali lipat besar dari mataku ini). Aku benci mengulur waktu dan ia benci melihat ada orang yang menginjakkan kakinya di wilayah kekuasaan yang ia kuasai.

“Aku tak mau lama-lama berhadapan dengan wajah jelekmu itu! Enyahlah sekarang juga!” teriakku sambil menebasya dari arah atas.

Tebasanku mengenai salah satu tangannya. Tak terpotong apalagi terluka, jangankan tergores, sama-sama keras dan sama-sama tajam. Aku langsung dihempaskan oleh kaki tersebut. Spontan aku membuat barrier angin, saat aku sudah mendarat dengan aman aku langsung mengubah target serangan ke arah kepalanya.

Saat aku memberturkan pedangku dengan kepalanya, tak ada segores pun apa-apa, malah yang terlihat adalah semacam segel. Segel berbentuk naga angka sembilan, warna merah ke hitam-hitaman memberi kode bahwa makhluk itu tidak bersahabat.

Ooooohh… Sihir pelindung yah, hmmm menarik juga mari kita lihat apakah sihir pelindungmu atau tebasanku yang lebih kuat?

“「Water Blade」!” kataku santai seraya menebas monster tersebut dengan sihir es dari belakang.

Tebasanku mengenai lambang anehnya, tebasanku cukup untuk memberikan efek kesakitan terhadap musuhku. Ia mengerang kesakitan dan mencoba membalas perbuatanku. Namun sayang aku sudah berpindah ke gedung yang lain demi mempertahankan tegaknya gedung yang kutuju. Urusanku belum selesai, kataku kesal melihatnya asal menyerang.

Tanpa kusadari langit sudah gelap, jatuh ribuan serangan tak terduga, saling balapan untuk sampai ke tanah, awalnya cuman ribuan tapi lambat laun malah jadi terilunan dalam sekejap. Monster tersebut tahu bahwa sedang hujan, ia bergegas bersembunyi dengan kecepatan kilat. Tapi mataku lebih cepat dari pada kilat dan lebih tajam dari pedang.

Aku melihatnya saat ia pindah tempat (lagi pula tubhnya begitu besar, mudah saja terlihat), ia pindah ke dalam gedung tempat dimana adikku berada, tak kusangka aku bertarung sampai lupa tempat. Tak terasa sudah jauh ternyata aku berpindah tempat.

Ya~ Ketahuan. Gumamku girang, ia tak bisa lepas dari tatapanku.

Aku langsung menarik antena yang sekaligus menjadi ekor dari monster tersebut. “GROAAAA!” raungan yang ganas itu memecahkan beberapa kaca yang masih utuh di gedung tersebut.

Bertahanlah sedikit lagi. Harapku dalam hati.

Karena marah ia langsung menampakan wajahnya ke arahku, semakin detail aku lihat wajahnya semakin jelek dan menjijikkan. Aku memancingnya dengan sabetan airku, otomatis ia semakin marah dan langsung memburuku. Aku melompat dari satu atap gedung ke atap gedung yang lainnya, setelah 4 menit melompat-lompat layaknya orang yang jago parkur, aku pun tersudutkan olehnya.

Gedung yang ada di depanku sudah berubah menjadi reruntuhan bangunan yang ratanya hampir sama dengan tanah. Akan tetapi ia semakin dekat jaraknya dengan diriku.

“「Cannon Blast Up」!” ucapku sambil melesat ke langit nan kelabu, meski kelabu dan hitam, itu semua adalah sumber mana alamku berasal.

Heh? Ngikutin? Dasar bodoh! Gumamku dengan senyuman yang menandakan kelicikkan yang amat sangat mendalam. Ia pun terbang mengikutiku dengan menggunakan sayapnya yang besar dan juga sangat lebar, aku sama sekali tidak heran ataupun takut. Karna kemenangan berada dalam genggamanku dan sudah tersegel kuat di dalam tangaku.

“「Chain of Rain」” ucapku di ketinggian tertentu sambil mengarahkan kedua telapak tanganku ke arahnya, seketika itu juga keluarlah lingkaran sihir biru tua di depan telapak tanganku.

Tanpa basa-basi lagi, beberapa rantai yang terbuat dari air hujan memangsanya habis-habisan. Ia tak sempat mengelak ataupun melarikan diri, maka terikatlah ia dengan rantai itu dengan sangat cepat tanpa bisa memberontak sama sekali. Tanpa pikir panjang, aku pun memasang tameng dari angin yang berpilin di sekitarku menggunakan sihir pelindung tingkat menengah.

Ungu kekuning-kuningan, menyambar dengan ganas ke setiap penangkal petir yang berada disetiap ujung gedung, banyak penangkal petir yang terbungkus dengan petir. Namun nasib penangkal petir itu tak jauh beda dengan si kelabang bodoh ini.

Kepalanya menghadap ke arahku dengan tatapan buas, namun apa daya. Dengan segera nyawanya akan tunai dihabisi oleh petir berjuta-juta volt yang datang dari awan yang berada tak jauh di atas kepalaku.

Dan akhirnya…

BOOOM! Sebuah petir besar datang dengan ganas, dan ia pun tersengat listrik tingkat tinggi, yang cukup untuk menghidupkan listrik sejauh ribuan kilometer pada zaman ini. Karena di zaman yang modern ini menghidupkan listrik dari sengatan listrik alami saat hujan. Hitam legam tubuhnya, seperti dibakar selama kurang lebih tiga jam dengan panas di atas tiga puluh ribu derajat celcius.

BRUUKH... Tubuhnya ambruk tersungkur ke tanah dan tak bisa bergerak lagi.

Kemudian aku pun tidak melakukan hal-hal yang lawak lagi, aku pun langsung kembali ke gedung tempatku berurusan dan langsung mengambil kunci yang ada di ujung penangkal petir itu dengan hati-hati menggunakan ujung pedang.

“Dapat kau kunci,” kataku riang dengan cuaca yang sedang tidak riang.

~~~~~

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post