Nasywan Aqila Auliarai

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

0003

0003

Aku bergerak lincah menghindari berbagai serangan yang datang dari berbagai arah, dan kadang-kadang serangan tersebut sangat tak terduga. Aku bersyukur mempunyai tubuh kecil ini, karena dengan tubuhku yang kecil ini aku dapat bergerak dengan sangat lincah serta cepat.

Nah mungkin kalian sekarang sedang bertanya-tanya, ‘ada apa gerangan?’ Kalau bisa dibilang situasi sedang lumayan gawat. Karena...

Baru beberapa menit setelah kami memasuki gedung keramat ini, berbagai makhluk bermunculan dari berbagai penjuru. Dan tak tanggung-tanggung, mereka semua langsung menyerang kami berdua secara bersamaan.

Yup, kami sekarang sedang di serang oleh kumpulan monster mengerikan yang berada dalam gedung sialan ini. Levelnya pun tidak tanggung-tanggung, mulai dari monster rank 1 sampai rank 4

Oh, ya sebelum itu mari kujelaskan apa itu monster? Mungkin beberapa dari kalian tidak tahu aturan monster di dunia super fantasi ini.

Monster, itulah nama yang sering disebut publik terhadap makhluk-makhluk di bumi yang telah terkena mana dan berubah wujud.

Kenapa mereka menjadi buas setelah terkena mana?

Itu karena, awalmnya mereka memakan makanan yang bernutrisi tinggi seperti daging dan tanaman, setelah mengidap mana yang cukup besar target makanan mereka berubah menjadi target tertentu. Yaitu…

Mana itu sendiri, rasa serakah mandarah daging setelah mengidap mana yang cukup banyak oleh karena itu para monster sering berburu makhluk yang mempunyai mana yang banyak terutama manusia yang mempunyai kualitas mana yang tinggi supaya mereka bisa sampai di puncak rantai makanan.

Dan semakin banyak mana yang mereka lahap maka semakin bertambah pula kekuatan mereka dan pada akhirnya berevolusi melahirkan spesies-spesies monster yang baru.

Pemerintah sendiri sampai sekarang belum mengetahui semua spesies monster yang ada di bumi ini, meski pun sudah bertahun-tahun silam makhluk mengerikan itu menunjukan batang hidungnya.

Setelah berbagai serangan dari monster, pemerintah pun mulai membuat tingkatan pada monster. Pemerintah memberi 10 peringkat pada monster.

Rank 1 merupakan tingkatan terendah, manusia tanpa mana pun bisa mengalahkannya. Contoh monster dari tingkatan ini adalah undead seperti skeleton yang langsung hancur dengan satu pukulan biasa, bahkan ibu rumah tangga bisa membunuh monster itu hanya dengan sapu yang biasa mereka pakai untuk membersihkan rumah.

Rank 2 adalah monster yang tingkat bahanya selevel dengan hewan buas saat bumi belum memiliki mana, kurang lebih selevel dengan serigala ataupun harimau, walaupun mereka tidak terlalu bisa mengendalikan mana dengan baik, namun biasanya mereka mempunyai karakteristik khusus seperti racun atau serangan unik lainnya.

Rank 3 adalah monster yang sudah bisa mengendalikan mana dengan baik. Dalam rank ini masih jarang ada monster yang bisa memakai sihir elemen, namun lebih banyak yang mampu menggunakan mana mereka untuk memperkuat serta beregenerasi. Monster dari tingkatan inilah yang rata-rata dibunuh oleh asosiasi hero, petualang, dan kemiliteran negara (meski jarang sekali militer memburu monster ini). Sebagai contoh seperti Fire Wolf, Goblin, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Oke, cukup sampai di sini ya penjelasannya, penjelasan rank 3 ke atas nanti saja. Sekarang mari kembali ke situasi mematikan yang ada di hadapanku ini, semua harapan hidupku dipertaruhkan disini.

Sekarang aku dan kakakku terpisah, masalahnya aku sedang dikeroyok prajurit kerangka rank 1 dengan pedang-pedangnya. Monster rank 1 dan 2 normalnya merupakan monster yang cukup lemah untuk seumuran dengan diriku. Tapi seharusnya aku berada disekolah serta belajar layaknya orang-orang normal.

Namun aku memilih jalan lain. Karena tak ada jalan lagi. Ya… Mau bagaimana lagi? Kota saja sudah rata dengan tanah apalagi sekolah.

Kalau hanya bisa menghindar aku tak akan pernah menang, aku harus melawan balik! Pikirku sambil terus-terusan menghindari berbagai sabetan sekalian mendekati musuh.

Setelah dekat, aku langsung memukul kepala salah satu skeleton yang hendak menebasku dengan pedang bututnya. Hancur. Padahal aku sama sekali tidak mengeluakan seluruh tenagaku.

Tanpa basa-basi, aku langsung mengambil pedang butut dari skeleton yang barusan aku habisi dan langsung melayangkan tebasanku ke skeleton yang berada di dekatku. Benar-benar langsung hancur. Begitu pula dengan pedang yang baru saja aku dapatkan.

Aku pun mengambil sebilah pedang lagi yang sudah berkarat dan mengaplikasikan sesuatu yang pernah kakakku katakan saat beberapa menit memasuki hutan.

“Kak, cara mengeluarkan mana itu bagaimana sih? Apa aku murni tidak berbakat sampai tak bisa menggunakannya?” tanyaku pada kakaku.

“Oh, itu mah gampang, sebenarnya mana adalah partikel-partikel energi yang tersebar di sekitar kita. Kau tinggal memfokuskan untuk mengumpulkan energi itu dan mengalirkan mana-mu ke dalam sebuah media lalu mencampurnya,” jawabnya sambil menyorkan sebuah belati.

“Owh…” ujarku sembari mengangguk paham lalu menerima belati yang kakak sodorkan.

Aku pun mencoba fokus mengalirkan mana kepada belati tersebut sembari mengumpulkan partikel mana yg tersebar. Semenit berlalu, tidak terjadi apa-apa. Kecewa? Jelas. Apa aku benar-benar tidak berbakat? Tanya batinku.

“Dasar, kenapa kau mendadak berhenti di tengah? Ayo ulangi lagi!” ujar kakakku.

“Eh? Memangnya tadi hampir berhasil?” tanyaku lugu.

“Bodoh, kalau kau sudah memulai sesuatu berarti kau harus mengahirinya jugalah!” jawabnya dengan sok bijak.

“Baiklah, sekali lagi!” ujarku semangat. Aku kembali memfokuskan kembali untuk mengalirkan mana.

“Keyakinan itu penting,” suara kakakku masih terdengar, aku pun mengangguk paham.

Detik demi detik berlalu. Suara desiran angin terdengar, entah dari mana asalnya. Tanpaku sadari bilah belati yang ku kunggenggam diselimuti oleh mana berwarna merah. Dua menit berlalu. Aku sama sekali belum bisa merasakannya.

“Baiklah, lepaskan!” perintah kakakku. Dengan sangat tiba-tiba belati yang kugenggam langsung terhujam ke sebuah pohon yang ada di dekatku, asap tipis keluar dari pohon tersebut.

“Whoa… Berhasil kak!” seruku riang sembari mencoba mencabut belati tersebut.

Sedalam ini kah aku menusuknya? Tanyaku dalam hati. Tak kusangka, ternyata belatinya tertancap cukup dalam. Aku tak bisa mencabutnya.

“Baiklah, sini biar kakak bantu, sepertinya kau masih perlu latihan,”

= # =

Aku mencoba fokus, dalam hitungan detik aku melepaskan tenagaku sembari berputar. Alhasil beberapa skeleton yang ada di sekitarku langsung hancur berkeping-keping. Namun pedang yang kupakai pun ikut hancur. Bergegas aku mengambil pedang yang tergeletak dan kembali menyerang mereka secara asal.

Untungnya gak ada semut. Ujar hatiku lega.

= # =

Rank 4, musuh yang cukup. Ucapku dalam hati

Dari jauh terdengar teriakkan dari adikku yang menggema padahal, ia hanya sedang melawan monster skeleton. Aku menebas semua yang ada di hadapanku.

Apapun itu, aku langsung menebas para monster dengan ganas dan mudah. No Mercy (tak ada ampun). Aku menebas para monster bagai menebas sebuah batang lidi yang tak berdaya. Meski tak ada habisnya, semua nyawa monster tersebut tunai lewat pedangku.

Aku agak penasaran apa yang adikkku lakukan pada monster-monster payah dan lemah seperti mereka. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk bertarung sambil berusaha mendekati area tempat bertarung adikku dan melihat adikku. Jadi aku melihatnya untuk sementara waktu agar sedikit terbongkar sejauh mana adikku dapat menggunakan pedang ataupun sihir.

= # =

Beberapa menit kemudian suara-suara geraman buas dari monster rank 4 terdengar samar di telingaku. Aku pun menoleh sebentar untuk memastikan bahwa monster itu tak mengincar nyawaku. Namun yang aku lihat adalah pertarungan kakakku. Ia sangat sadis, bahkan tak membiarkan sedikit pun tubuhnya tergores, aku saja sudah terkena beberapa sabetan dan luka gores menganga di tubuhku.

Dan kalian tahu, ia hanya menggunakan satu tangannya untuk memainkan pedang untuk menyabetkan kesana kemari. Satu sabetan untuk dua sampai tiga monster laba-laba rank 3 atau 4.

Aku ingin mendekat, tapi aku tidak bisa karena aku tidak mau kena satu sabetan tidak sengajanya dan menjadi gumpalan daging cincang. Aku kembali fokus melawan musuhku yang berupa kerangka aneh yang geraknya sama sekali tak bisa disebut dengan menyerang.

Aku hanya mengenggunakan apa yang kakak ajarkan. Lawanku hanya kerangka keropos yang sudah bertahun-tahun hidup, jadi ini lebih dari cukup untuk melawan mereka semua.

Tanpaku sadari aku berhasil mengalahkan mereka semua taka da yang minat untuk kutebas lagi. Aku pun menengok ke arah kakakku ia pun sama, ia berdiri di tengah-tengah monster yang sudah menjadi gumpalan daging cincang yang siap dijual di pasar loakan.

Jika orang biasa mungkin akan mengira bahwa kakakku terlihat seperti dewa kematian yang baru saja melepaskan kekuatannya atau seorang master koki baru saja memotong daging besar jadi daging yang lebih cincang lagi.

Pertarungan pun berlangsung agak lama. Namun bagi kakak, itu hanya seperti semenit saja. Ia pun menyrungkan kembali pedangnya ke punggungnya.

“Nah, sepertinya kita terlalu lama disini,” ucap kakakku, sambil melihat keluar gedung dengan nada santai dan tenang yang agak membuatku bosan.

Aku pun ikut melihat ke luar gedung, ternyata tanpa kusadari sekarang langit sudah gelap dihiasi dengan ribuan titik-titik cahaya. Artinya sudah sekitar 4 jam kami terkurung disini melawan para monster aneh barusan.

“Sepertinya sekarang kita beristirahat di kota ini, lagi pula sepertinya kamu sangat kelelahan,” kakakku benar tubuhku sudah sangat lelah, otot dan sendiku sudah lelah dan enggan tuk digerakan lagi.

“Gedung ini kurang aman sebaiknya kita pergi ke bangunan lain saja,” ucap kakakku sambil pergi keluar gedung dengan santainya.

Kami pun keluar gedung karena kemungkinan di dalam gedung, monster lebih banyak dari pada di luar. Apalagi di dalam gedung ini tempatnya sudah tidak lazim untuk dijadikan tempat bermalam. Lagi pula tidak mungkin kami bisa beristirahat di dalam gedung yang busuk dengan bau bacin yang amat sangat menyengat yang bersal dari daging serangga, kami pun akhirnya memutuskan pergi ke bangunan terdekat dari gedung pencakar langit tersebut.

Sebelum masuk ke dalam salah satu gedung yang kami pilih, kami mengecek dulu apakah di gedung tersebut ada monster atau tidak yang beruntungnya tidak ada satu pun.

“Etherias, sebaiknya kamu tidur saja duluan lagi pula kakak masih belum terlalu lelah dan ngantuk, biarkan saja kakak yang berjaga malam ini,” ujar kakakku sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.

Sepertinya ide tidur di kota yang dipenuhi monster merupakan ide terburuk yang pernah kudengar selama hidupku, tapi jika aku melihat pertarungan kakak yang tadi kulihat sepertinya aku bisa merasa aman karena kakak seperti tidak ada tandingnnya sama sekali.

Aku merasa kagum dan bertanya-tanya seberapa besar perbandingan mana kakak dengan mana-ku. Jika dibandingkan dalam bentuk pertarungan hari ini, aku yang hanya bertarung melawan skeleton yang payah. Sedangkan kakakku telah melawan 3 prajurit elit musuh, dan melawan sekumpulan serangga rank 3 - 4 yang bagiku seperti mini bos.

“Apa kau membutuhkan nyanyian atau dongeng sebelum tidur?” tanya kakakku dengan nada mengejek serta memasang wajah polosnya yang menyebalkan.

“Memangnya umurku ini berapa?! Aku bukan anak kecil lagi tau!” teriakku dengan nada jengkel.

“Bisa saja kamu seperti anak zaman, tidak bisa tidur jika belum didongengi atau dinyanyikan lagu yang khusus untuk dirinya sendiri,” ujarnya lagi diselingi tawa.

“Aku bukan anak seperti itu!” teriakku dengan histeris sampai menggema di dalam gedung.

“Aku tak butuh lagu atau dongeng sama sekali!” tambahku dengan nada yang lebih tinggi lagi, sampai-sampai nafasku habis.

Setelah aku menjawab dengan keras kakakku tak mengejekku lagi, itu berarti kata itu adalah kata penutupan penolakkan didongengi atau dinyanyikan sesuatu. Aku memanfaatkan kesempatan tersebut, tanpa basa-basi lagi aku langsung tidur di lantai yang telah dialasi karpet. Aku sangat kelelahan merasa sendi, otot, dan pikiranku sudah mencapai batasnya. Menghadapi kenyataan itu memang sulit ya… Gumamku dalam hati.

Esoknya….

Cahaya mentari menerobos ke dalam gedung yang kami pakai untuk tidur, angin yang sejuk pun ikut-ikutan menerobos masuk ke dalam gedung seraya mengelus pelan ke seluruh tubuhku serta membuat suasana gedungnya jadi agak hangat dari pada tadi malam.

Aku terbangun dengan otot-otot yang terasa berat dan kaku bagaikan batu. Apalagi bagian mata, menurutku itulah yang amat sangat berat dan kaku. Namun aku merasa senang melihat kakakku yang sekarang sedang meminum secangkir kopi dengan tenang, dan pasti kemana pun kapan pun kakak pergi, pasti ia tidak pernah melupakan cangkir dan berbagai seduhan yang sangat lezat.

“Se-selamat pagi kak,” sapaku dengan riang dan agak linglung. Karena belum tersambung dengan WI-FI yang ada di kota ini. Aku pun menguap, spontan kututup dengan tanganku.

“Oh, selamat pagi juga Etherias, bangunnya lama sekali sih?” balasnya dengan polos diselingi menyeruput seduhannya lagi. Aku membalas ejekannya itu dengan memalingkan muka darinya, melihat ke arah jendela, menatap keluar melihat pemandangan yang sedikit mengenaskan.

Pagi yang indah, kami hanya bisa memakan nasi instan dengan sepotong roti yang kami bawa, tidak ada penjual junk food di tengah-tengah kota mati seperti ini. Lagi pula mana mau kami memakan daging monster cincang bekas kemarin.

Andaikan kota ini tidak ditinggalkan, pasti akan sangatlah indah. Gumamku sambil memakan nasi rasa kari spesial instanku.

Saat sarapan aku sempat bertanya kepada kakakku apakah ia bertemu dengan monster malam itu, kakak berkata malam itu ia kelelahan dan ia pun akhirnya ketiduran juga. Tapi sebelum tidur ia telah memasang berbagai sihir perangkap di luar bangunan, spontan aku melihat ke luar bangunan, lebih tepatnya ke pintu masuk gedung ini, dan kulihat adalah beberapa bangkai monster.

Wah, sihir kakak memang hebat walaupun hanya sihir perangkap. Itulah pikirku saat melihat sekitar lima sampai enam bangkai bangkai monster yang tergeletak di luar tak bernyawa.

“Etherias, ayo kita masuk ke dalam gedung itu lagi, kita juga sudah selesai sarapannya kan?” tanya kakakku memastikan.

“Iya,” ucapku pelan seraya mengangguk pelan.

“Sekarang kita selesaikan semuanya dengan cepat, lagi pula sudah dalam keadaan 85% aman, apalagi kalau ada kakak kamu tidak perlu khawatir, aku adalah kakak yang super”

“Ha~? Kakak yang super? Gak salah dengar” spontan aku menanggapi kata-katanya dengan nada mengejek.

“Kalau kau sampai salah dengar berarti telingamu bermasalah!” protes kakakku seketika, ia pun berjalan menuruni tangga gedung tempat kami bermalam.

Aku hanya menanggapi seruan kakakku dengan mengangguk pelan, aku pun langsung mengejar kakakku yang sudah menuruni beberapa anak tangga. Kami pun masuk ke gedung itu lagi. Kami masuk dengan sambil menutup hindung. Karena meskipun tadi malam hujan, ternyata bau bacin itu masih menyengat dan tidak hilang dengan mudah.

Seperti para pembaca duga saat kami masuk, kami disambut hangat oleh sang tuan rumah. Yaitu dengan disemproti cairan asam sebagai sambutan memasuki rumahnya. Sangat ramah dan sambutan yang meriah bukan?

Namun, cairan itu langsung dipantulkan dengan mudah oleh sihir angin kakakku. Setelah itu kakak tanpa basa-basi memotong mereka menjadi daging cincang tak berbentuk. Sambil menarik tanganku, kami bersama menerobos kumpulan monster. Seperti biasa, kakakku selalu santai serta memasang wajah polosnya. Kalau diibaratkan dalam sebuah game atau film survival, ini serasa di dalam dungeon yang bertingkat.

Hari ini kakak sedang sedikit serius, tanpa membuang waktu sudah sampai di lantai 10 tanpa tergores sama sekali. Kalau dihitung-hitung sudah sekitar 40 menit kami berdua di dalam gedung yang lebih mirip dungeon.

Aku harus berusaha sangat keras untuk tetap berada di belakang kakakku, aku juga harus menghindari serangan dari para monster, aku hanya menyerang mereka jika mempunyai kesempatan, kadang-kadang kakakku melindungiku jika ada serangan yang tidak dapat kuhindari.

Aku terus berjalan dengan kewaspadaan tingkat tinggi, terkadang aku memutar pandangan seraya menghunuskan belati yang kakak pinjamkan, “Kali ini tidak boleh sampai hilang!” itu pesannya. Padahal yang waktu itu salahnya sendiri. Aku mengadah ke atas hingga batas cakrawala, belum sama sekali terlihat ujung dari gedung ini.

200 lantai?! Apa ayahku tidak gila menyimpan sesuatu yang penting disaat-saat genting, tapi sangat jauh dan susah untuk didapatkan? Gerutuku dalam hati dengan gelisah serta kesal.

= # =

“Seratus lima puluh lantai, masih lima puluh lagi,” gerutuku diselingi hembusan nafas yang panjang. Nafasku yang sudah tidak beraturan lagi.

Sudah kuduga, listrik di kota ini padam, mana ada lift yang tiba-tiba menyala sendiri. Dan, apa gak ada jalan lain selain lewat tangga darurat?

“Kak… Masih jauh nggaaak?” tanyaku seraya menapaki anak tangga dengan nafas yang tersengal-sengal.

“Tenang, masih jauh kok,” jawab kakakku dengan santai dan tenang sembari memasang tampang polosnya yang menyebalkan.

Anak tangga terus kunaiki setapak demi setapak, lantai kedua ratus belum terlihat meski sudah lantai ke 155. Kaki yang ku pakai sudah gemetaran gara-gara kelelahan menaiki anak tangga yang jumahnya sudah mencapai jutaan. Sudah berbagai macam monster dikalahkan dengan mudah oleh kakakku, one see, one kill. Kata itu terus terngiang di benakku karena setiap kali wajah monster atau bahkan bayangannya saja terlihat oleh kakakku pasti sekali tebas sudah tidak bernyawa.

Kabar baikya monster-monster sudah sangat jarang lagi terlihat batang hidungnya. Aku sudah mulai bosan dan moster sekarang seperti hanya muncul 1 ekor 2 menit maka untuk menghancurkan waktu yang bosan ini aku memulai percakapan dengan kakak.

“Kak, kenapa para monster sudah jarang muncul lagi?” tanyaku memulai percakapan, lagi pula aku penasaran kenapa monternya sudah jarang muncul.

“Entah, tapi kalau kamu tanya kakak mungkin karena banyaknya monster yang telah dibunuh oleh kakak yang menjadikan populasi mereka menjadi terancam punah…”

“Punah? Bukannya di luar gedung ini masih banyak monster sejenis mereka?” potongku.

“Maksudnya terancam punah di gedung ini bukan di dunia, membuat mereka menjadi mode defensive bukan lagi offensive seperti tadi pagi dan kemarin. Mungkin di paling atas lantai ini ada sesuatu yang berusaha mereka hindari,” jawabnya cepat.

Selama beberapa detik terjadi keheningan.

“Kak, untuk menjadi penyihir yang hebat apa yang harus aku lakukan?” tanyaku berusaha memulai percakapan lagi.

“Hmmm... Pertanyaan bagus, sebenarnya jika kamu menjadi penyihir kau perlu beberapa hal,” jawabnya sambil mengayunkan pedangnya ke laba-laba raksasa yang baru saja menunjukkan dirinya.

“Pertama, yang paling penting…”

Mana,” ia kembali menyabetkan pedangnya, menebas semacam serangga yang lain.

“Dalam sihir mana sangat penting, karena tanpa mana sama saja kamu tidak bisa meggunakan sihir lagi pula untuk mengeluarkan sihir tingkat tinggi kau perlu mana yang lebih banyak dari pada yang kamu bayangkan,” ia pun menuturkan penjelasananya.

“Kak…”

“Aku tahu kau mau bertanya tentang apa itu mana, bukankah itu ada di buku akademi SD? Lagi pula apa kau mau membuatku berbicara tiga jam non-stop?

“Nggak!” tolakku dengan keras.

“Owh boleh, kalau kau memaksa. Mari kita mulai dari 7 teori dasar mana…

“Kak! Stop! Aku ngerti, jadi tolong jelaskan intinya saja,”

“Hmmm… Baiklah, kakakmu yang baik hati ini akan menjelaskannya. Mana itu adalah aliran atau partikel energi alam yang mengalir di segala hal mau itu makhluk hidup ataupun objek,” ucapnya dengan nada sok bijak.

“Terus?”

“Katanya mau yang singkat!”

“Kalau itu juga anak SD pasti dah tau!”

Karena kesal aku pun mengembangkan pipiku sambil berusaha memukul perut kakakku, namun sayang sekali ia menghindarinya. Kami pun saling beradu mulit dengan hebat, menunjukan bagaimana hebatnya hubungan adik-kakak diantara kami ini.

“Kedua, kau perlu memilih elemen favoritmu, atau leboh tepatnya kau berbakat di bidang apa,” lanjutnya setelah canda tawa mereda.

“Kenapa?”

“Karena kamu tidak mungkin mendalami semua elemen ilmu sihir, itu bisa menghabiskan sisa waktu hidupmu, penyihir biasanya memiliki 1 elemen khusus dan 1 elemen sekunder,” selagi kakakku bicara tanpa kusadari mataku berbinar-binar penasaran.

“Selanjutnya?”

“Ketiga, kau perlu memilih penyihir tipe apa? Kau sendiri sudah diajarkan di sekolah tipe-tipe penyihirkan?”

Mendegar itu, aku berusaha mencari informasi itu di kepalaku ini. Healer, necromancer, creator, destroyer, defenser, magician, weapon experts. Itulah informasi yang kuingat tapi aku rasa aku lupa beberapa tipe penyihir.

“Keempat, kau butuh senjata dan peralatan yang berkualitas serta kau juga harus bisa menguasai senjata tersebut,”

“Trus…”

“Nah, terakhir itu pengalaman.”

“Pengalaman?”

“Seorang yang memiliki mana yang banyak tapi tidak mempunyai pengalaman sama saja seperti mempunyai pedang excalibur yang masih tertancap di batu,”

Hmmm jadi mana, elemen favorit, tipe-tipe penyihir, peralatan serta penguasaanya, dan pengalaman ya!! Aku harus ingat ini. Gumamku di dalam hati.

“Oi, Ether!” panggil kakak memecahkan keheningan pikiranku.

DUAAR! Sebelum aku bisa berpikir arti panggilan itu, ledakan terjadi di sekitar kami, memotong pembicaraan kami berdua.

Aneh, siapa yang membuat ledakan, padahalkan sudah tidak ada monster yang kuat lag. Kataku dalam hati dengan gusar.

“Ayo! Kita harus terius bergerak!” teriak kakakku yang memecah kegelisahanku. Aku tersentak dan langsung berlari mengejar kakakku yang sudah lebih dulu menapaki tangga dengan cepat.

Aku berhenti sejenak, untuk mengatur nafas yang sedari tidak beraturan. Aku berhenti tepat di sebelah jendela, dan saat aku melihat keluar jendela ternyata lantai dasar sedang dibobol habis oleh sesuatu, dan sepertinya sesuatu itu juga mengejar kami.

Dengan segera aku menambah kecepatan lariku, tapi tangga yang memutar membuatku lebih cepat kehabisan tenaga.

~~~~~

tunggu chapter selanjutnya

jangan lupa untuk di berikan komentar, kritik dan saran sangat membantu pembuatan novel ini lho...

oya, jangan lupa di follow juga, saling memberikan suport

tetap sumangat semuanya!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post