Najma Hafizha Fathoni

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BAB 9, Berbohong Demi Kebaikan

BAB 9, Berbohong Demi Kebaikan

BAB 9, BERBOHONG DEMI KEBAIKAN

Awal masuk semester dua. Tania pulang ke Singapura, dua minggu sebelum semester dua. Begitu juga dengan Sabrina, ia pulang ke Indonesia

“Sab.. kok diam aja sih?” kata Tania kepada Sabrina yang daritadi melamun. Sabrina hanya melirik sebentar, tidak menjawab. “Sabrina?” kata Tania lagi.

Flashback dua hari yang lalu

“ma.. mama jangan lakuin itu ma.. Sabrina gak mau.. mama berubah. Gak kaya dulu. Mama tolong ma.. bagaimana dengan papa?” kata Sabrina mengguncang guncang bahu mamanya. Suaranya bergetar.

“kamu ini apa apaan sih?! Jangan panggil aku dengan sebutan mama lagi! Karena kita sudah bukan keluarga” kata mama Sabrina menggandeng sosok pria. Bukan papanya, melainkan suami barunya.

“Chloe! Apa apaan kamu ini?! Siapa orang ini?!” bentak papa Sabrina.

“kau tidak perlu tahu. Aku sudah bosan hidup denganmu terus. Ambil saja perusahaan! Ambil! Aku tidak mau mengurusnya lagi” kata mama Sabrina meninggalkan rumah besar mereka.

“papa..” kata Sabrina menangis terisak. Papa Sabrina memeluk Sabrina erat.

“maafkan papa.. maafkan papa.. sungguh maafkan papa, Sabrina” kata papa Sabrina ikutan terisak. Orang tua Sabrina telah bercerai.

“papa.. ini semua karena Sabrina ya? Pelajaran buat Sabrina karena…” kata Sabrina menyeka air matanya.

“Kenapa memangnya” kata papa Sabrina merengkuh bahu Sabrina.

“tapi… papa jangan marah ya” kata Sabrina dengan suara bergetar. “sebenarnya… Sabrina itu sahabatan sama Tania, anak pak Ronaldo” kata Sabrina terisak. Papa Sabrina menatap putrinya dengan tatapan tidak percaya. “ini salah Sabrina kan pa? ini pelajaran untuk Sabrina kan pa?” kata Sabrina tersengal.

“iya. Ini pelajaran untuk kamu! Kenapa kau tidak pernah mentaati aturan ini, hah?! Setau papa kamu itu anak yang baik. Sabrina yang bilang itu kan? Peraturan harus ditaati.” Kata papa Sabrina mengusap wajah.

“ini semua gara gara Sabrina ya pa? ini pelajaran buat Sabrina ya pa? tapi harusnya pelajaran ini hanya untuk Sabrina, kenapa papa juga ngalamin?” kata Sabrina menunduk. Papa Sabrina terdiam. “Sabrina tau kok pa.. tentang peraturan itu. Tapi kenapa peraturannya terlalu kejam pa? kenapa?” tanya Sabrina tersengal. Papa Sabrina terdiam.

“Sabrina orang jahat, iya kan pa?” tanya Sabrina pelan. Papa Sabrina menoleh.

“tidak, sayang. Kamu bukan orang jahat. Ini hanya pelajaran untukmu. Pelajaran karena kamu tidak mentaati peraturan. Bukan karena kamu orang jahat” kata papa Sabrina.

“tapi peraturan ini terlalu kejam pa! Sabrina gak terima” kata Sabrina meneteskan air mata. “apa Sabrina perlu pindah universitas saja?” kata Sabrina pelan sekali.

“tidak, Sabrina. Papa masih mengijinkan kamu kuliah di Prancis. Tapi berjanjilah, jangan dekati Tania, oke?” kata papa Sabrina. Sabrina terdiam.

“Sabrina tidak bisa berjanji pa. tapi akan Sabrina usahakan. Sabrina orang jahat, pa. orang jahat. Karena Sabrina, mama dan papa berpisah” Sabrina mennduk.

“tidak Sabrina. Ini hanya hukuman, bukan berarti kau orang jahat.” Kata papa Sabrina.

Kalau papa bilang ini hukuman karena aku tidak mentaati aturan, itu berarti benar. Aku benar benar bukan anak baik lagi. Tapi hanya ini cara agar papa bahagia. Tapi bagaimana caranya agar aku bisa menjauhi Tania? Bagaimana? Ya Tuhan, aku benar benar tidak mau melihat papa sedih. Aku tidak mau dampaknya akan berhubungan dengan papa. Mama sudah tidak ada, aku hanya punya papa dan Tania. Tapi Tania benar-benar harus aku lupakan. Ya Tuhan, salahku apa? Berteman membuatku mendapat hukuman seperti ini? Dengan berpisahnya papa dan mama? Maafkan aku pa, sungguh, Tania akan berusaha menjauhi Tania, tapi Sabrina tidak bisa berjanji, maafkan Sabrina pa, sungguh. Sabrina tidak mau melihat papa sedih. Harusnya aku saja yang mengalami ujian ini, papa tidak usah. Biar Sabrina yang sendu, tapi jangan papa. Maafkan Sabrina pa, sungguh. Gumam Sabrina.

“Sab.. kamu gak apa apa kan?” Tania memegang bahu Sabrina. Yang bahunya dipegang menoleh. Mengangguk pelan. Mengeluarkan senyum palsu.

Suatu malam, Tania menemukan Sabrina yang tertidur di atas sofa setelah menutup toko. Wajah Sabrina pucat, badannya panas.

“kau kenapa Sabrina?” kata Tania, matanya berkaca-kaca memerhatikan tubuh Sabrina yang terkulai lemah diatas ranjang apartemen. Sabrina terdiam. Menatap dinding dengan tatapan kosong. Wajahnya sendu nan redup.

“kau harus makan ya” kata Tania pelan, pergi ke dapur mengambilkan sup hangat. “ayo.. hanya lima suap cukup” kata Tania membujuk. Sabrina menggelengkan kepala pelan. Tania menghela nafas pelan, memegang kening Sabrina.

“ah! Tubuhmu panas sekali. Kita harus ke rumah sakit, Sab” kata Tania cemas. Sabrina menggeleng. Namun Tania tetap memaksa, memanggil taxi, membopong Sabrina.

“bagaimana keadaan sahabat saya dok?” tanya Tania cemas (dalam bahasa inggris). Sabrina yang mendengar itu dari kasur kamar rumah sakit, meneteskan air mata.

a.. aku yang sering menyusahkanmu, masih kau sebut sahabat? Tania kumohon. Aku sudah banyak menyusahkanmu, dank au sudah sering membantuku. Sebenarnya aku ingin cerita! Tapi aku tidak mau menyusahkanmu. Aku tidak mau kau ikutan sedih. Aku tidak suka melihat wajah murungmu. Biarkan aku saja yang merasakannya. Gumam Sabrina.

The patient is just too tired. this is just a normal fever, but the fever will be worse if she has a lot of thoughts. Especially when seen from the inspection chart, your friend has asthma. The patient can stay overnight in the hospital for first aid. Excuse me” kata dokter itu menjelaskan, lalu pergi meninggalkan Tania.

Okay, doctor. Thank you” kata Tania meremas jarinya. Berjalan cepat menuju Sabrina yang berwajah pucat.

“kumohon Sabrina. Apa yang terjadi padamu?! Ceritakan padaku. Aku tidak mau kau terus terusan begini” kata Tania cemas. Sabrina terdiam.

Maafkan aku, Tania. Aku berbohong seperti ini demi kebaikan persahabatan kita. Aku mohon maafkan aku. Gumam Sabrina

“kau menyembunyikan sesuatu iya kan? Kau tidak mau aku khawatir kan? Kumohon beritahu aku Sab. Aku sahabatmu. Aku mohon” kata Tania mengguncang-guncang tubuh Sabrina. Sabrina meneteskan air mata tanpa diketahui oleh Tania.

hello, Eric?” kata Tania menelefon Eric.

Yes, Tania?” jawab Eric.

Sesampainya Eric di rumah sakit..

Seriously? Can't you tell Marionette or Syifa?” kata Eric mengerenyitkan jidat. Tania melotot. Mengancamnya untuk nurut saja. Sebenarnya sih tadi sudah manggil Marionette sama Syifa. Namun ada yang bilang sedang mengerjakan tugas kampus, ada yang sedang membantu ibunya. Hanya Eric satu satunya teman yang bisa membantunya untuk lima belas menit saja.

“lakukan saja atau aku tidak akan meminjamkan bukuku lagi!” kata Tania (dalam bahasa Inggris). Eric mengangguk cepat takut-takut. Tania bergegas menuju apartemen mereka, mengambil buku tugas, laptop, Smart Pad dan baju Sabrina.

Tania! Tania!” kata Eric dalam telefon.

“What?!” kata Tania yang masih di dalam apartemen

Sabrina passed out!” kata Eric panik

Wait, What?! OK, I'll be there soon!” kata Tania mengemas cepat-cepat, lalu menaiki motor. Akan lebih cepat karena jam segini sudah jarang jarang taxi lewat atau beroperasi.

“Sabrina? Sabrina kumohon, bangun!” kata Tania panik mengguncang-guncangkan tubuh Sabrina. Dua puluh menit, Sabrina tersadar. Asma nya kambuh, tubuhnya semakin panas. Lengannya sudah dipasangkan selang infus.

“maafkan aku” kata Sabrina pelan setengah jam kemudian. Tania yang sedang mengerjakan tugasnya dan tugas Sabrina, menoleh.

“untuk apa?” tanya Tania. Sabrina lagi lagi terdiam. Tania menunggu jawaban.

“setiap hari aku menyusahkanmu. Apa aku layak menjadi sahabatmu?” kata Sabrina duduk di kasurnya, meneteskan air mata.

“shht.. kau tidak boleh bicara seperti itu. Aku sahabatmu, sekali lagi aku adalah sahabatmu. Oke? Tidak perlu dipikirkan” kata Tania tersenyum ramah. Sabrina tertidur lelap di kasurnya, dengan banyak pikiran di kepala. Pukul 2 malam, Tania berhasil mengerjakan dua tugas menumpuk miliknya dan milik Sabrina.

Satu minggu kemudian, Sabrina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah memulih. Namun tetap saja tidak boleh terlalu lelah. Satu minggu di rawat di rumah sakit, satu minggu pula toko TaniBrina tidak diurus oleh tangan mereka berdua. Tania menitipkannya sementara kepada karyawan dan asistennya.

“Sab.. kamu sebenernya kenapa sih? Kok jadi pendiam banget?” kata Tania memegang tangan Sabrina yang termenung.

“gak ada apa-apa kok.. aku cuma lagi mikirin sesuatu” kata Sabrina menoleh. Tania menghela nafas

“mikirin apa? Cerita dong” kata Tania lagi.

“sudah kubilang tidak ada apa apa!” kata Sabrina ketus dengan intonasi yang lebih tinggi satu oktaf diatas. Tania terdiam, begitu juga dengan Sabrina. “maaf” kata Sabrina pelan. Tania mengangguk pelan.

Sore harinya, Sabrina membiarkan tubuhnya basah kuyup karena hujan deras. Agar tidak ada yang mengetahui kalau dia sedang menangis.

“apa aku ini orang jahat? Ya Tuhan beritahu aku!” kata Sabrina berteriak di tengah tengah lapangan kampus yang besar. Terduduk. Semua mahasiswa sudah pulang. Tersisa Sabrina yang menangis di lapangan besar itu.

“Sabrinaa?? Kamu dimana sih??” kata Tania mencari cari Sabrina. “Sabrina?” Tania berlari menerobos hujan, tidak peduli tubuhnya basah.

“Sabrina, kau bisa sakit kalau seperti ini! Apa yang kau lakukan!?” kata Tania berusaha mengalahkan suara hujan. Melepaskan jaketnya, memasangkan kepada Sabrina. Mereka pulang ke apartemen pukul 5 sore waktu Prancis.

“Apa yang kau lakukan tadi?! Kalau kau sakit bagaimana?! Kau tidak tahu seberapa cemasnya aku!” kata Tania bolak balik di depan Sabrina yang menunduk di ranjang. Sabrina sudah meneteskan air mata. Tania yang tersadar akan hal itu terdiam, duduk di sebelah Sabrina.

“berjanjilah jangan lakukan itu lagi” kata Tania pelan

“dan berjanjilah.. jangan dekati aku lagi ini demi kebaikan kita” kata Sabrina terisak, menatap Tania lamat-lamat.

“tidak, tidak… maksudmu apa?! Sabrinaa” kata Tania mengetuk ngetuk pintu kamar yang telah dikunci oleh Sabrina dari dalam. Sabrina terduduk di lantai keramik. Tania meneteskan air mata. Apa maksudmu, Sab? Gumam Tania.

Maafkan aku Tan. Kumohon maafkan aku. Aku berbohong demi kebaikanmu. Kumohon maafkan aku. Hidupku sudah hancur. Seharusnya aku tidak pernah bertemu denganmu. Bertemu denganmu membuatku menjadi anak yang tidak baik. Bukan karena sifatmu yang tidak ramah. Maksudku, aku telah membantah aturan dari papa, dan itu bukan sifat yang baik. Dan inilah hukumanku. Hukuman kita. Aku tidak suka kalau seperti ini. Lebih baik aku menjauh darimu. Ini demi papa, maaf, Tan.. sungguh, aku menyesal melakukan ini. Gumam Sabrina, meneteskan air mata untuk kesekian kalinya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

panjang banget kak

25 Sep
Balas



search

New Post