Najma Hafizha Fathoni

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BAB 13, Hilang Ingatan

BAB 13, Hilang Ingatan

BAB 13, HILANG INGATAN

Clarissa menangis terisak mengingat kejadian 2 menit lalu. Mengusap wajahnya, mengusap rambutnya. Tania benar-benar tidak memaafkan dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak memutuskan untuk pulang. Terisak melihat kepala Sabrina yang ada di paha nya. Kepala Sabrina bocor, berdarah. Juga ada darah di liontin yang sampai sekarang masih digenggam. Tania tergugu melihat liontin milik Sabrina. Mereka sampai di rumah sakit, langsung dilarikan ke UGD.

“Maafkan aku.. sungguh maafkan aku, Tan… maaf, aku orang jahat. Seharusnya aku tidak dilahirkan. Sungguh maafkan aku. Kalau perlu aku mati sekarang juga! Aku tidak pantas dimaafkan” kata Clarissa tertunduk dalam di ruang tunggu. Tania tergugu. Menggeleng pelan, memeluk Clarissa. Mata Clarissa sedikit membulat karena dipeluk tiba-tiba.

“kau tidak boleh bicara seperti itu. Di setiap penderitaan pasti ada kebahagiaan. Aku sudah memaafkanmu. Benar-benar sudah memaafkanmu. Dan ini bukan salahmu. Ini salahku” kata Tania melepas liontin miliknya dengan setengah hati dan berinisial “T”. menangis terisak, air matanya tepat terjatuh di liontin itu. Clarissa melepas jaketnya, memasangkan kepada Tania.

“aku akan menceritakan sesuatu kepadamu” kata Clarissa pelan. Tania yang masih menatap liontinnya terdiam. “Sabrina depresi. Sabrina depresi, Tan. Aku tau karena aku pernah mengalaminya. Namun karena aku sudah biasa tersakiti, aku sudah mulai biasa saja. Memulai hidup baru. Namun Sabrina berbeda denganku. dia adalah orang yang lebih lemah lembut dibanding aku. Dia sudah hidup bahagia selama dua puluh tahun. dia baru merasakan sakitnya penderitaan. Bercerainya orang tua Sabrina itu bukan hukuman. Itu hanya hal biasa, tidak bisa dibilang hukuman. Dan taukah kau?..” kata Clarissa berhenti sebentar. Tania tetap diam.

“Sabrina tidak memberitahukan hal perceraian itu karena dia merasa kalau dia sudah menyusahkankmu. Kau adalah orang terbaik, tersuper, terspesial di hidupnya. Dia menghargaimu, tapi dia menganggap bantuanmu sebagai penderitaan. Maksudku, kau sudah membantunya dari kecil. Sedangkan Sabrina, dia merasa kalau dia tidak pernah membantumu selama 14 tahun. dia merasa merepotkan. Dan rasa itulah yang membuatnya tidak nyaman, lama kelamaan ditambah beban perceraian orang tuanya, dia merasakan depresi ringan. Bisa jadi” kata Clarissa menyeka air mata. Tania menoleh. Clarissa meraih Smart Padnya yang ada di tas. Tania meneteskan air mata, menutup mulut. Clarissa menunjukan sesuatu.

“kau sudah lihat kan? Kau sudah lihat?” kata Clarissa terisak, suaranya bergetar. Tania tersengal. “perusahaan orang tua Sabrina bangkrut total. Dan papanya meninggal karena terlalu lelah akibat depresi” kata Clarissa tersengal. Tania tergugu, berdiri dari kursinya. “Sabrina depresi akibat ini Tan. Dia tidak bisa memberitahukan ini kepadamu. Kau tau karena apa? Kemarin ia mendapat surat dari tetangganya. Kalau kemarin baru sampai, itu tandanya papa Sabrina sudah meninggal dua minggu lalu. Dan tidak ada yang memberitahunya. Itu bukan surat tulisan tangan orang itu. Tapi tulisan tangan papa Sabrina sebelum meninggalkan Sabrina. Berisi wasiat tidak boleh mendekat sedikitpun kepada Tania. Asal kau tau kemarin dia semalaman tidak pulang karena tidak mau kau melihatnya menangis. Akku sudah berusaha menenangkannya, tapi tidak bisa. Dia memutuskan minum alkohol banyak sekali. Tak sadar seketika. Aku sudah melarangnya minum sebanyak itu, dia memberontak. Tetap meminum tiga gelas besar. Bahkan aku saja tidak sanggup. Dia berteriak teriak. Dia depresi” kata Clarissa terisak. Tania terduduk, air mata deras di pipi. Terisak, tergugu, lelah, tidak tau ingin berbuat apa.

SABRINA!!!!” Tania berteriak sekencang mungkin. Clarissa menatapnya tidak percaya. Tania berlari menuju ruangan Sabrina. Clarissa mengejar dan menahannya, dokter belum mengijinkan ada yang masuk ke ruangan terlebih dahulu. Dokter sedang memeriksa dan memasangkan alat alat segala macam ke tubuh Sabrina.

“Tidak! Sahabatku membutuhkanku! Lepaskan aku!!” kata Tania menjerit-jerit, memberontak. Clarissa menahannya. Tiba Eric, Marionette, Syifa, dengan kesedihan mendalam. Sudah mendapat berita. Marionette memeluk Tania.

Sabrina will be fine” kata Marionette terisak. Tania menggeleng, ia tetap ingin bertemu dengan Sabrina.

Dokter menjelaskan semuanya kepada Clarissa. Clarissa menutup mulut, tidak percaya. Dokter itu permisi, ingin memeriksa pasien lain. Clarissa memegang bahu Tania dengan kedua tanggannya. Menangis terisak, menatap Tania lamat-lamat.

what happened to the patient, doc?” tanya Clarissa meremas jari. Jauh dari sana ada Marionette, Syifa, dan Eric yang berusaha menenangkan Tania. Dokter menghela nafas.

The patient is now in a critical state, now his condition is in a coma. The situation is bad, the patient has severe depression. And a hard impact that occurs on Her head, causing Memory Loss. But we will try our best.” Kata dokter menjelaskan. Clarissa menutup mulut. Mengangguk pelan.

Tania menggeleng, meneteskan air mata. Eric, Syifa, dan Marionette berdiri. Tania tergugu, memasuki ruangan Sabrina, memeluk Sabrina yang sekarang dalam keadaan koma, dengan terpasang belalai selang alat dimana mana. Tania terisak. Clarissa, Eric, Syifa, dan Marionette hanya bisa terdiam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

huhu.., sedih banget, macam sinetron segala T...T

19 Jun
Balas



search

New Post