Muhammad Irsyad Al-Bikri

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Hidupku Berubah

Tepat pukul 06:00 pagi. Mungkin saat kalian membaca tulisan ini, di tempat kalian sedang pagi hari, siang, sore atau mungkin malam hari. Tapi, aku selalu cinta pagi hari. Dimana saat sunrise menyapaku, cahaya matahari pagi yang lembut menyapaku lewat celah-celah fentilasi kamar. Seakan-akan aku merasakan bahwa harapan-harapan hari kemarin akan terwujud hari ini. Seakan-akan mimpi indah di malam hari akan menjadi nyata di hari ini tak hanya terkekang dalam khayalan saja. Tapi, semenjak hari itu aku benci pada pagi hari. Karena sebuah kejadian yang menyayat hatiku terjadi. Saat dimana kebahagiaan dan kesedihan bersatu padu menjadi duet maut yang dapat menyayat hatiku hingga akhirnya terluka parah dan takkan terobati

***

Waktu tak terasa berjalan begitu cepat. Masa-masa SMAku akan segera usai. Masa dimana kita akan selalu mengingat setiap detail kejadian yang terjadi, manis maupun pahit. Dan statement, aku menganggap hal tersebut biasa saja. Walaupun statement yang kukeluarkan melalui sosial media mulai buming di kalangan masyarakat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal tersebut. Tapi, kelak aku akan menyadari bahwa aku tak seharusnya meremehkan hal tersebut. karena statement itulah aku membenci banyak hal dalam hidupku yang sebelumnya aku sangat mencintai hal tersebut.

Akhir masa-masa SMA, waktu dimana siswa kelas 12 mulai memikirkan nasib mereka ke depannya seperti apa. Walaupun, seharusnya hal tersebut mulai dipikirkan sejak kelas 11 bahkan kelas 10. Itu kata guruku dan aku mengikuti arahannya. Dan hasil akhirnya, aku tak menyesal. Karena aku diterima di UGM Fakultas Ilmu Sosial Politik lewat jalur undangan. Aku terbilang anak yang pintar di sekolahku, tapi selalu dipandang sebelah mata oleh guru-guru di sekolahku.

Semua kehidupanku berjalan lancar, hingga saat pagi itu tiba. Pagi hari menjelang acara kelulusanku.

“Ibu, ayo. Nanti kita telat menghadiri acara kelulusanku.”

“Iya nak, kamu pergi saja duluan. Ibu akan menyusul nanti. Yang terpentingkan kamu yang gak telat. Kalau Ibu mah gak masalah telat.” Jawab Ibuku dengan senyuman yang tergambar jelas di wajahnya.

“Okelah bu. Hati-hati ya. Awas aja Ibu gak dateng.”

“Iya nak.”

Aku bergegas memacu sepeda motorku dengan kecepatan tinggi, memasuki jalanan ibu kota yang ramai. Walaupun jarak rumahku dan sekolah tidaklah jauh. Tapi, kawasan rumahku merupakan kawasan rawan macet. Jadi, aku harus memacu sepeda motorku dengan kecepatan tinggi.

Pagi itu jam menunjukkan pukul 8 tepat. Tapi, jalanan telah dipenuhi lautan manusia. Tak terhitung lagi banyaknya. Dahulu, saat aku masih duduk di kelas 10. Waktu tempuh dari rumahku menuju sekolah hanya 5 menit dengan menggunakan kendaraan. Sekarang, aku membutuhkan waktu 15 menit. Disebabkan kepadatan penduduk yang kian hari kian ramai.

Tepat 5 menit sebelum acara dimulai aku telah tiba di sekolah. Saat motorku terparkir sempurna di parkiran, tiba-tiba seseorang menyapaku.

“Hai, Lex. Kamu kelihatan tampan hari ini.” sapa Clarissa merayuku.

“Hahahaha, bisa aja kamu Sa. Biasa aja kali. Lebay amat dah.”

“Serius, aku gak bohong. Kamu kelihatan lebih tampan daripada biasanya.”

“Terima kasih Sa. Walaupun pujianmu agak berlebihan. Acaranya belum dimulaikan?”

“Baru akan dimulai Lex. Ayo masuk!”

“Ayo.”

Aku berlari bersisian dengan Clarissa. Aku lupa memuji penampilannya, ia tampak cantik hari itu. Tapi aku tak ingin memujinya, biarlah aku pendam saja pujian itu. Acara kelulusanku sangat meriah, dihadiri oleh artis ibu kota plus orang-orang berkedudukan di pemerintahan. Acara itu berjalan dengan semestinya, hingga saat penghujung acara tiba. Aku tak melihat sosok Ibuku menghadiri acara kelulusanku. Aku mulai resah tak karuan di tempat dudukku. Acara telah usai, tapi Ibuku tetap tak datang.

***

Dimana ibuku? Kenapa ia tak kunjung datang? Apa yang terjadi dengan Ibu? Jangan-jangan terjadi hal yang buruk pada ibuku?

Aku resah, tak ada tangis haru bahagia. Yang ada hanya rasa resah lagi ketakutan. Resah tanpa hadirnya seorang Ibu. Takut kehilangan sosok Ibu dalam kehidupanku. Belum hilang rasa resah dan takut itu, tiba-tiba kerumunan polisi memenuhi parkiran sekolahku. Entah apa yang mereka cari.

“Polisi mencarimu Alex, mereka mencarimu karena statement.”

“Kau serius?” sanggahku.

Ia mengangguk serius. Bergegas aku pergi mencari seseorang yang bisa membantuku, Clarissa. Tak perlu mencari ternyata ia tak jauh dariku. Hanya terpisah 10 langkah.

“Clarissa, bisa gak aku pulang barengan dengan kamu?”

“Kenapa nih? Tumben, jarang banget kamu mau pulang bareng denganku.”

“Ada masalah serius. Aku butuh bantuanmu Sa. Please, tolong aku.”

“Oke deh, ayo masuk ke mobilku di gerbang samping sekolah.”

Tak perlu diperintah dua kali, aku langsung lari terbirit-birit menuju gerbang samping sekolah. Aku yang masuk pertama ke dalam mobil, disusul Clarissa.

“Bisakah kita langsung pergi Sa?”

“Ke rumahmu kan?”

“Iya. 5 menit bisa?”

“Bisa. Pak, 5 menit ya pergi ke Perumahan Bintaro.”

“Siap, Non.”

Mobil itu langsung melaju, masuk ke jalanan ibu kota yang ramai seperti biasanya. Mereka mencariku? Karena statement? Apa yang salah dengan hal tersebut? Tak perlu berpikir dua kali. Langsung aku mencomot handphoneku dari sakuku dan memeriksa laman sosial mediaku. Syukurnya saat itu aku telah dibelikan handphone oleh ibukku.

Baru kusadari, ternyata lebih dari 2 juta orang telah menanggapi kirimanku. Dan salah satu diantaranya ialah Pak JD. Orang yang paling berpengaruh pada pemerintahan sekarang ini.

Kurang ajar! Kurasa buzzer itu ikut ambil bagian dalam masalah ini. Kurasa dengan cara ini aku bisa mengeluarkan kembali identitas penjahat di masa lalu itu. Orang yang telah membunuh Ayahku dan mungkin saja ia yang telah menculik Ibuku.

Mobil Clarissa terparkir sempurna di depan rumahku, bergegas aku turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Bergegas aku menyiapkan semua barang-barang yang aku butuhkan dan pindah ke Yogyakarta tempat dimana kelak aku akan kuliah. Tiket keberangkatan telah kusiapkan jauh-jauh hari dengan jadwal penerbangan tepat tengah hari ini.

Aku dikejar oleh waktu, apabila aku tak bisa memanfaatkannya maka tamatlah riwayat hidupku. 15 menit, lengkap sudah barang-barang yang aku butuhkan. Bergegas aku memesan ok-jek dengan tujuan bandara. Biarlah motorku tertinggal di sekolah, toh bisa kutitipkan pesan kepada Clarissa untuk menjaganya.

5 menit menunggu, driver ok-jek telah sempurna terparkir di halaman rumahku. Aku yakin tak lama lagi polisi itu akan mencariku di rumah ini. Maka dari itu, aku harus bergegas pindah ke Yogyakarta hari ini juga.

“Pak, bisa gak sampai bandaranya dalam waktu 15 menit?”

“Waduh, gak tau Mas. Tapi akan saya usahain. Soalnya, jam-jam segini jalanan Jakarta ramai biasanya Mas.”

“Okelah Pak.” Jawabku sambil menghela nafas panjang.

Mobil melaju memasuki jalanan ibu kota. Sang sopir sangat lihai dalam mengendarai mobil. Menyalip dua hingga tiga mobil sekaligus di jalanan kota. Tak lama kemudian mobil telah memasuki jalan tanpa hambatan. Aku berharap keputusan yang kulakukan saat ini tepat. Menjauh dari keramaian dan memulai kehidupan baru dengan menyembunyikan identitas asliku. Untuk mengulur waktu, setidaknya mempersiapkan diriku dalam menghadapi kerasnya kehidupan ini.

Segera aku mencomot handphone dari kantong dan menelpon seseorang yang paham akan keadaanku saat ini,

“Sa!”

“Iya, ada apa Lex?”

“Aku mau minta tolong. Jagain motorku ya di parkiran sekolah. Bisakah?”

“Bisa sih, emang kamu lagi dimana sekarang?”

“Gak bisa aku jelasin sekarang. Tunggu kondisinya kondusif bakalan kuceritain semuanya. Tolongin aku ya Sa.”

“Okedah Boss.”

Thanks Sa.”

Syukurlah, setidaknya salah satu beban pikiranku telah hilang dan bisa bernafas lega sembari menikmati perjalanan yang menegangkan menuju bandara. Kepalaku mumet, banyak masalah yang harus kuhadapi di usia yang masih sekecil ini. Semoga tuhan mempermudah urusanku.

***

“Sudah sampai Mas.”

“Terima kasih Pak. Ntar bintang lima aku kasih.”

“Terima kasih Mas.”

Aku melirik ke jam tanganku, hampir saja aku terlambat untuk transit. Tersisa 5 menit lagi bagiku untuk transit. 5 menit yang menentukan arah hidupku ke depannya. Aku menunggu di boarding pass, 30 menit lamanya. Setelah itu aku memasuki pesawat Tiger Air yang siap lepas landas sebentar lagi. Untung penerbanganku tidak delay, karena maskapai ini memiliki kebiasaan delay yang lama. Bahkan, almarhum ayahku pernah menunggu hingga 7 jam lamanya. Pesawat telah lepas landas meninggalkan kehidupan ibu kota yang menyesakkan menuju kota pelajar.

Selama perjalanan aku menyempatkan tidur sejenak, kira-kira 45 menit. Karena penerbangan dari Jakarta-Jogja menghabiskan waktu kira-kira 1 jam 10 menit. Bandara Adi Sutjipto mulai terlihat dari dalam pesawat yang sedang kunaiki. Sempurna sudah, sekarang aku berada di Yogyakarta. Memulai kehidupan baru, menyembunyikan identitas lama, agar tak ada memori haru yang perlu kuingat selama di sini. Selamat datang kehidupan baru penghapus memori tangis haru dan pilu kehidupanku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bang mau nanya. Jadi Ibunya ke mana Bang?

23 Dec
Balas

Lihat aja lanjutannya ntar

23 Dec



search

New Post