Ammarista Dzakiyya Ats-tsaniah

I'm Fire, I'm Water Kau memberiku kuasa I'm earth and I'm nature Kau membuatu rasa! Hello, my name is Kiyya. I'm was 12 years old. My ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Case Closed! (Bab 1)

Case Closed! (Bab 1)

--Melewati indah dunia...--

* * * * *

KRIIINGGG!!!!!

Alarm berbunyi nyaring. Sejenak aku menatap jam beker yang menunjukkan pukul 03.30. Dengan segera, aku beranjak mandi. Entah kenapa, semenjak kelas 6 SD, aku memiliki kebiasaan seperti ini—mandi sebelum sholat Subuh. Saat ditanya Mama-Papaku, aku hanya menjawab asal: agar segar dan tidak mengantuk saat sholat.

Kamarku sederhana, ranjangku berwarna cokelat dan terletak di pojok ruangan. Tepat di sebelah ranjang, terdapat sebuah jendela besar yang membentang dari salah satu ujung bagian kamar hingga ujung lainnya. Itu membuat pencahayaan dan sirkulasi udara di sini berjalan dengan baik. Di depan ranjang, terdapat sebuah meja belajar yang melekat di dinding, lengkap dengan laci dan bangkunya. Oh ya, jangan lupakan lemari pakaian di sebelahnya. Di sebelah ranjang, ada juga lemari buku yang berisi macam-macam buku, mulai novel, komik, buku pelajaran, hingga buku forensik. Warna kamarku dominan berwarna cokelat dan krem. Pakaianku juga kebanyakan khas cewek bumi.

Selesai mandi, jam menunjukkan pukul 03.45, masih ada waktu hingga adzan subuh berkumandang. Aku memutuskan untuk membaca novel.

* * * * *

“Fideeeel, lekas turun, bukankah nanti kamu ada rapat OSIS?” Mama meneriakiku dari bawah.

“Iya, Ma!”

Dengan tergesa-gesa, aku menenteng tas ransel berwarna oranye dan meletakkannya di ruang tengah setelah memijaki anak tangga terakhir—tentu saja, sudah terbalut seragam sekolah. Mengapa aku tergesa-gesa? Karena setiap sholat Subuh, aku pasti melaksanakannya dengan lama, ditambah dengan dzikir dan doa yang kurapalkan. Berdoa supaya segala yang terjadi hari ini berjalan dengan baik.

“Bagaimana dengan kasus kemarin?” Mama bertanya padaku yang tengah mengambil lauk-pauk. Papa sudah lama berangkat tadi, setelah Subuh. Pekerjaannya banyak, Ia selalu pulang tengah malam, kemudian berangkat pagi-pagi sekali.

“Alhamdulillah, kami berhasil menangkap pelakunya. May terluka sedikit, dipukul pelaku.”

“Alhamdulillah. Sungguh? Semoga dia tidak kenapa-kenapa.”

Aku hanya diam. Tentu saja May tidak kenapa-kenapa. Dia gadis kuat, bahkan di taekwondo, sabuknya sudah berwarna hitam—itu yang kutahu dari Alan.

Setelah 10 menit menghabiskan satu piring nasi goreng, dengan cepat aku berpamitan dengan Mama, mengenakan kaus kaki dan sepatu, lantas menggendong tas ke garasi dan dengan segera menaiki sepeda kayuh.

Walau teknologi Teren sudah maju, Pak Nicholas mewajibkan anak sekolah seperti kami mengendarai sepeda, melewati jalur khusus yang tidak akan bertemu dengan kendaraan bermotor. Itu sangat menguntungkan, lebih sehat tanpa harus berhadapan dengan kendaraan bermotor—yang terkadang membuat lalu lintas macet.

10 menit kemudian, aku sudah sampai di sekolahku, SMP Sapphire Teren. Aku satu sekolah dengan Fian, bahkan satu kelas.

“Pagi, Fidel.”

Aku menoleh. Itu Elly, teman sebangkuku. Dia nampak cantik hari ini, dengan rambut pendek berwarna hitam berkilau, dihiasi jepit rambut berbentuk bintang.

“Pagi juga, Elly.”

Tanpa banyak basa-basi, kami memarkirkan sepeda. Sekolah lengang, jam besar sekolah menunjukkan pukul 05.50. Murid yang datang pagi-pagi begini biasanya anggota OSIS—yang sering mengadakan rapat di pagi hari, agar tidak memotong jam pelajaran. Walau begitu, Elly bukan anggota OSIS. Dia memang selalu berangkat pagi, karena rumahnya yang cukup jauh.

Sampai di gerbang masuk, sebuah mesin kecil melakukan scanning pada mata kami. Iris mata akan dicocokkan dengan data iris mata murid yang ada, kemudian mempersilahkan kami masuk.

Kelasku, VII-6 terletak di lantai 2. Sekolah ini biasa saja, tidak ada program khusus yang menarik. Namun prestasi murid-muridnya luar biasa, seperti aku dan Fian—yang selalu mengharumkan nama sekolah melalui olimpiade sains, bahkan sejak SD.

“Assalamu’alaikum…” aku mengucap salam, membuka pintu kelas.

Sepi. Hanya ada Fian yang tengah tidur di bangkunya.

“Astaga. Dia tidur lagi, padahal ini masih pagi!” Elly berceloteh, meletakkan tasnya di kursi.

Aku hanya diam, malas menanggapi. Lagi pula ini pemandangan biasa. Fian bahkan pernah tidur dalam rapat kasus, sampai dimarahi habis-habisan oleh Inspektur Belle dan Inspektur Thomas.

“Fian, bangun, sebentar lagi rapat OSIS,” aku berusaha membangunkannya, setelah meletakkan tas—bangkunya berada tepat di belakang bangkuku dan Elly.

Tidak ada reaksi apapun, bergerak pun tidak. Anak ini kalau tidur sudah seperti orang koma, sulit sekali dibangunkan.

“Tinggal saja, Fidel. Tuh nanti dia juga yang dimarahi Kak Rost.”

Aku terdiam sejenak, benar juga kata Elly. Kak Rost—ketua OSIS—itu memang mudah marah, apalagi kalau sudah bersangkutan dengan anak buahnya. Untungnya, Kak Glace—wakil ketua OSIS—selalu menenangkan Kak Rost ketika emosinya sudah memuncak. Jangan tertipu namanya, Kak Glace itu laki-laki, loh. Ingat! Bukan ‘Grace’, tapi ‘Glace’.

“Heh, bangun nggak? Kulaporin Kak Rost nanti,” aku membangunkannya lagi, kali ini dengan mengancam dan menggoyang-goyangkan lengannya—yang melingkar menutupi wajah.

“Hmm…” Fian hanya merubah posisi tidurnya. Huh, baiklah.

Ptak!

“Aduh! Nggak usah dijitak juga kali!” akhirnya dia bangun juga—dengan raut muka yang masih mengantuk.

“Udah, ah, ayo, nanti dihukum Kak Rost!” kali ini aku menyeretnya paksa, 5 menit lagi rapat dimulai.

Fian—yang tangannya kucengkeram erat—nampak menurut, terpaksa. Seterbiasa aku dengan sikapnya yang pemalas ini, ada kalanya juga aku naik darah, terlebih jika ada kepperluan seperti ini.

“Kalian lama-lama cocok, deh,” celetuk Elly, tertawa melihat kedekatan kami berdua.

Aku memelototi Elly. Tidak, kami hanya sebatas teman. Tidak lebih maupun kurang dari itu.

Tidak, aku bohong.

Bukan, bukan berarti aku menyimpan rasa suka padanya, itu dulu—astaga, dulu aku tergila-gila padanya. Sekarang, aku memandangnya sebagai seorang saudara. Aku anak tunggal, dan sudah lama ingin memiliki adik. Dan sekarang, impian itu terwujud—walau hanya sebatas perasaan, keterikatan, bukan secara hubungan darah.

Setibanya di ruang OSIS, anggota lainnya sudah berkumpul, banyak. Kak Rost sudah berjaga di depan ruang OSIS, mengabsen.

“Kalian yang datang terakhir. Untung masih ada sisa satu menit, sebelum aku hukum kalian. Baiklah, ayo masuk,” nada bicaranya berat dan tegas, membuat semua anggota—kecuali Fian—tidak berkutik.

Rapat dimulai. Kami menyimak dengan tenang, aku terus mengawasi Fian yang duduk di sebelahku agar tidak tertidur. Hah, entah bagaimana dia bisa lolos tes OSIS ini.

KRIIINGG!!

“Baik, karena sudah bel masuk, kita tutup rapat hari ini. Jangan lupakan tugas kalian,” Kak Rost menutup rapat dengan mengingatkan sejumlah tugas yang harus kami laksanakan.

Aku mengeluh pelan. Aku kehabisan ide lagu dan gerakan untuk senam Jum’at. Kak Rost menyuruh kami agar lagu dan gerakan yang digunakan berbeda. Terlebih lagi hari ini hari Kamis, aku hanya punya waktu kurang dari satu hari untuk menuntaskannya.

Fian juga begitu. Wajahnya terlihat kesal. Dia harus berjaga di depan sekolah besok untuk memeriksa kelengkapan atribut dan kebersihan murid, itu artinya dia tidak bisa tidur sesampainya di sekolah.

* * * * *

“Waah! Fidel, followers Instagram-mu semakin banyak!”

Kunyahanku terhenti. Aku segera menoleh ke Elly. Dia sibuk menggulir layar tablet. Ini jam makan siang, jadi kami bebas melakukan apapun selepas makan—termasuk memainkan tablet yang wajib kami bawa.

“Yaah… Aku tidak terlalu peduli dengan media sosial sebenarnya,” aku menjawab asal, kemudian kembali melanjutkan makan siang.

“Tapi followers-mu lebih banyak dari May, Fian, dan Alan.”

Merasa dirinya disebut, Fian menatap kami berdua. Aku hanya tersenyum tipis, melambaikan tangan. Tidak ada apa-apa.

“Itu tidak penting bagiku. Yang penting semua kasus terselesaikan, aku lega,” aku menghela napas. “Sudahlah, aku ingin melanjutkan makan. Kamu sudah makan?”

“Tentu saja. Kamu saja yang makannya lama!”

Jujur, dibandingkan tiga sahabatku yang lain, aku yang paling populer—aku tidak bermaksud sombong, ya. Aku tidak peduli apapun itu tentang ketenaran, yang kupedulikan hanya hidupku. Sekolah, kasus, keluarga, teman, hanya itu.

* * * * *

KRIINGG!!!!

“Baiklah, karena sudah waktu pulang, Miss tutup pembelajaran hari ini. Jangan lupakan PR dari halaman 50 sampai 52, anak-anak.”

Sudah waktu pulang, aku—dan Fian—harus segera ke kantor polisi. Bila telat sedikit saja, Inspektur pasti langsung naik darah. Kantor polisi tidak jauh, hanya berjarak 5 menit dari sekolah menaiki sepeda.

“Huh, padahal aku ingin tidur siang, semoga saja tidak ada hal penting di sana,” Fian mengeluh. Anak ini, bukankah dia sudah tidur saat pelajaran Matematika tadi?

Sesampainya di kantor polisi, aku menghela napas. Di perjalanan tadi, Fian tidak sengaja membuat anak lain terjatuh dari sepedanya. Akibatnya, anak itu marah habis-habisan—untunglah dia tidak terluka. Aku melirik jam tangan, sisa tiga menit sebelum jam kami mulai bekerja.

“Ah! Kalian sudah datang! Di mana May dan Alan?” Inspektur Belle menyambut kami.

“Eh? Mereka belum datang?” dahiku mengernyit. Tumben sekali, biasanya dua anak taekwondo itu datang lebih awal dari kami.

“Tidak, mereka belum datang. Ya sudah, kita tunggu saja keduanya.”

Kami duduk di bangku panjang depan kantor. Aku menatap jalanan yang saling bersilangan, seperti jalan tol. Ada banyak jalur, jalur anak sekolah, jalur para pekerja, jalur truk pengangkut, dan sebagainya. Oh ya, jangan lupa kereta cepat yang jalurnya paling tinggi.

“Haish, sudah pukul 02.30, mereka belum datang. Sudahlah. Ayo Fidel, Fian, kita cek laporan hari ini.”

Aku mengangguk. Fian menguap lebar. Tanpa basa-basi, aku menyeretnya masuk.

“Sepertinya tidak ada yang terlalu serius, bahkan kebanyakan sudah ditangani Robot Polisi,” Fian membaca satu persatu laporan yang ada.

Aku masih fokus. Benar, hanya kasus kecil, seperti kecelakaan ringan dan pencopetan.

Oh, tidak. Mataku membulat membaca suatu laporan.

“Ada apa?”

Sejumlah pria menyerang anak sekolah yang pulang. Mereka membawa senapan dan menembak dari atas gedung pencakar langit. Setidaknya, itu laporan dari salah satu anak yang berhasil kabur.

Huft, penembak jitu.

* * * * *

“Itu mereka. Jumlahnya tiga orang. Dengarkan baik-baik, kita tidak ahli bela diri, jadi sebaiknya jangan langsung menyerang. Rencana A: Pasang jebakan di sekitar mereka. Jika gagal, maka rencana B: Lawan. Sebaiknya kita menggunakan alat bantu, dan berhati-hati,” aku memberi rencana.

“Bagaimana kalau langsung kita tembak saja kakinya, baru setelah mereka terjatuh, mereka akan masuk perangkap?”

“Itu sulit. Jaraknya dari sini jauh. Ditambah, sekarang cuaca sedang berangin. Peluang tepat sasaran kecil—” ucapanku terpotong.

“Aku bisa menghitungnya.”

Baiklah, aku menurut.

Kami sedang mengintai dari atap bangunan lain yang berjarak dua bangunan dari para penembak jitu. Sulit sekali, karena tidak ada May dan Alan.

Sembari menunggu Fian menyelesaikan hitungannya—dia menghitung di tablet yang dia bawa—aku melemparkan sejumlah perangkap tak kasat mata. Jika tubuh mereka mengenai perangkap itu, dengan cepat listrik akan mengalir, dan membuat mereka pingsan. Akan tetapi, beberapa perangkap justru terletak jauh dari mereka, karena angin yang lumayan kencang. Untungnya tidak ada yang mendarat di atap gedung lain, maupun ke bawah sana.

“Fidel! Aku sudah menyelesaikan hitungannya. Siapkan senapannya!” Fian berseru pelan.

Senapan siap, Fian sudah mengarahkan senapan sesuai dengan perhitungannya. Inspektur selalu menyuruh kami membawa senapan—walau senapan itu tidak terlalu sering digunakan.

“Semoga angin masih berhembus setelah ini. Hitunganku hanya bekerja saat angin berhembus.”

Jantungku berdebar. Benar, jika angin tidak berhembus, pelurunya akan salah sasaran, dan para penembak itu akan menyadarinya.

DOR! Peluru meluncur cepat.

Sialnya, angin tidak berhembus. Peluru melewati salah satu dari mereka, nyaris kena. Dengan cepat, mereka mencari-cari asal peluru. Kami bergegas sembunyi, tapi terlambat. Sejumlah peluru dilepaskan. Mereka sudah menyadari keberadaan kami.

Aku menghela napas kasar. Rencana ini tidak berjalan dengan baik.

“Nampaknya, kalian sedang kesulitan, ya?”

Ini udah panjang apa belum? Kalau ada yang kurang, aku mohon sarannya ya, makasih😉

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Udah kok. Keep fight ya!

19 Mar
Balas

Keren banget... Aku tunggu kelanjutannya ya

22 Mar
Balas



search

New Post