Terima kasih, Bu Nina!
Terima Kasih, Bu Nina!
Oleh: Khansa Dinda AP
Sekolah: SMA Al-Muslim Tambun X IPA 1
Dulu aku kira semua guru sama saja. Hanya peduli kepada yang cerdas, yang baik―yang selalu mendapat peringkat 5 teratas di kelas, yang selalu aktif di setiap organisasi dan kegiatan, yang tidak pernah melakukan pelanggaran. Mereka tidak ingin ambil pusing dengan anak-anak yang selalu berulah, atau orang-orang biasa memanggilnya “nakal”.
Dari pernyataanku di atas, bisa kalian tebak aku termasuk golongan anak yang seperti apa. Ya sebenarnya nilaiku tidak seburuk itu sih ... aku memang tidak termasuk anak-anak yang mendapat peringkat atas, tapi bukan berarti aku menempati peringkat bawah. Standar lah. Namun, sejak aku masih di bangku sekolah dasar, aku memang sering kali berulah―menurut orang lain sih seperti itu. Padahal, aku rasa aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Tidak ada yang menghentikan juga. Hanya saja, mereka selalu saja memberi tatapan itu. Tatapan yang kalo diartikan dalam bentuk kalimat mungkin akan berbunyi seperti ini, “Ngapain lagi sih ini orang? Gak capek apa ya ngulah terus?”.
Eh, mungkin dulu sempat ada beberapa yang menghentikan. Aku lupa. Tapi, biasanya juga mereka mencoba menghentikanku saat aku masih menjadi murid baru di setiap jenjang. Setelah mereka tahu bahwa aku tetap tidak akan berhenti (karena menurutku ini hal yang sah-sah saja untuk dilakukan) , mereka berhenti untuk menghentikanku. Aku sih senang-senang saja karena tidak ada yang menghentikanku berbuat sesuatu.
Orang tuaku? Oh, mereka santai. Mungkin terlalu santai (Sebetulnya tidak peduli) . Mereka terlalu sibuk bekerja. Mereka pikir selama aku tidak membunuh dan tidak mengebom kantor mereka (tenang aku tidak tertarik melakukan kedua hal itu) , atau segala sesuatu yang SANGAT merepotkan mereka, maka aku tidak melakukan tindak kriminal. Tetapi, orang tuaku akan sangat marah bila aku mendapatkan nilai yang rendah. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk tidak mendapatkan nilai yang rendah.
Hingga, pada suatu saat di tahun keduaku di SMA. Saat aku sedang duduk-duduk di samping kantin (tidak ikut pelajaran karena aku mengantuk, jadi lebih baik aku keluar dari kelas) , aku ketahuan oleh guru yang kebetulan sedang melihatku. Reaksiku? Biasa saja. Polanya selalu sama. Masuk ruang BK, diceramahi atau dihukum―atau mungkin diberi surat peringatan kalau sudah terlalu sering di semester tersebut, lalu aku keluar dari ruangan tersebut, dan melakukannya lagi.
Saat tiba di ruang BK, aku sedikit terkejut saat melihat gurunya berbeda dari yang kemarin-kemarin. Pantas saja tadi pagi terdengar anak kelas ramai membicarakan guru baru yang katanya menggantikan guru lama yang harus keluar. Entah apa alasannya, aku tidak terlalu peduli.
Dari cara guru tersebut menatapku, sudah bisa ditebak bahwa dia mengenali siapa aku. Mungkin guru BK yang lama sudah mewanti-wanti bahwa akan ada anak yang secara rutin melakukan pelanggaran. Atau mungkin guru baru tersebut sedang bosan lalu melihat-lihat catatan pelanggaran dan terkejut saat menemukan namaku berkali-kali ditulis. Entahlah, aku juga tidak tahu.
Aku langsung duduk di kursi tempat aku biasa duduk saat dibawa ke ruangan ini. “Oh? Sudah hafal ya?” tanya guru baru tersebut. Aku hanya mengangguk―tidak tahu harus merespon apa.
“Oke, Sekala Julian? Kamu lahir bulan di bulan Juli?” tanya guru baru. “Iya.” Jawabku seadanya. “Dipanggilnya?” tanya guru baru, lagi. “Kala.” Jawabku seadanya, lagi.
“Oke, Kala. Mungkin kamu sedikit terkejut karena guru BK-nya tidak seperti yang biasa kamu temui. Kamu bisa panggil ibu, Bu Nina. Ibu di sini karena harus menggantikan guru BK sebelumnya karena dia harus ikut suaminya pindah ke luar kota.” Jelas Bu Nina. Aduh, aku tidak kepikiran kalau Bu Nina akan melakukan pembukaan seperti ini dulu. Aku kira akan seperti biasanya diceramahin lalu aku akan pergi dari ruang BK dengan cepat. Mana sebentar lagi waktunya istirahat ...
“Kala, kenapa kamu bolos pelajaran?” tanya Bu Nina. Pertanyaan biasa. “Saya mengantuk, bu.” Jawabku. Biasanya, setelah aku menjawab seperti ini, respon semua guru akan sama: marah. Menurut mereka alasan tersebut tidak logis. Tetapi, anehnya Bu Nina hanya tersenyum. “Kenapa mengantuk? Tadi malam kamu tidur jam berapa?” tanya Bu Nina lagi. Eh, aku tidak tahu harus menjawab apa. Pertama, aku lupa jam berapa aku tidur. Kedua, aku terkejut kenapa Bu Nina tidak memarahiku seperti guru-guru lainnya. “Lupa ya? Atau kamu merasa aneh karena baru kenal ibu? Oke deh, tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi ya, Kala. Silahkan keluar, 5 menit lagi waktunya istirahat.” Kata bu Nina sambil tersenyum.
“Eh ... iya, bu ...” aku betul-betul bingung harus menjawab apa. Aku segera keluar dari ruang BK. Pertanyaan yang selalu muncul dalam diriku sesaat setelah keluar dari ruang BK adalah: apakah aku akan mengulanginya lagi? Jawabannya simpel. Tergantung. Kalau menurutku aku harus melakukannya, maka aku akan melakukannya. Kalau tidak? Ya ... liat saja nanti.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Aku masih sering melakukan pelanggaran. Bu Nina masih tersenyum setiap aku digiring ke ruang BK saat aku melakukan pelanggaran. Bu Nina juga masih menanyakan alasanku melakukan pelanggaran. Bedanya, aku sudah mulai menjawab pertanyaan Bu Nina.
Bu Nina sangat baik kepadaku. Tidak seperti guru-guru lain. Aku sudah menganggap Bu Nina seperti ibuku sendiri. Terkadang aku bolos beberapa pelajaran hanya untuk bercerita kepada Bu Nina tentang hal-hal yang membuatku kesal atau sekadar meminta saran dalam memilih jurusan untuk kuliah nanti.
Bu Nina tidak suka aku membolos. Beliau bilang aku bisa menunggu sampai jam istirahat atau jam pulang. Bu Nina selalu meluangkan waktunya untuk anak-anak yang membutuhkan jasa BK. Tetapi aku tetap melakukannya. Menurutku selama aku masih mengerjakan tugas yang diberi guru, aku sah-sah saja melakukannya. Bu Nina juga tidak bisa menghentikanku, beliau tau itu.
Suatu hari, saat beberapa bulan mendekati ujian kenaikan kelas. Aku harus pergi keluar kota―jadi aku tidak masuk sekolah. Aku ikut karena orang tuaku memintaku untuk menghadiri pertemuan bisnis bersama mereka. Sebenarnya aku malas, tapi apa boleh buat.
Keesokan harinya, aku sudah masuk sekolah. Aku sedang dalam mood yang tidak bagus karena pertemuan bisnis kemarin. Aku berniat untuk menceritakannya kepada Bu Nina. Tapi, aku tidak ingin melihat Bu Nina marah. Jadi, aku akan menunggu hingga jam istirahat. Sambil menunggu jam istirahat, aku akan membolos lagi di samping kantin. Aku mengantuk dan―seperti yang aku bilang tadi―moodku sedang tidak bagus, dan lagi pelajaran sebelum istirahat adalah fisika. Aku sangat tidak suka pelajaran itu dan gurunya juga sangat galak. Maka daripada aku mengacau di sana, lebih baik aku bolos.
Tetapi, sesuatu yang tidak pernah aku kira tiba-tiba terjadi. Saat aku sedang asik memandangi langit sembari menunggu 5 menit menuju istirahat, tiba-tiba seseorang menghampiriku.
“DI SINI RUPANYA ANAK INI!” aku terkejut. Guru fisikaku? Kenapa ada di sini? Tidak biasanya dia yang memergokiku saat sedang membolos. Lagi pula, seingatku dia tidak akan pernah meninggalkan kelasnya.
“IKUT SAYA KE RUANG BK! SEKARANG!” perintahnya. Aku hanya bisa diam. Mengangguk lalu mengikuti langkahnya.
Sepanjang perjalanan, hawa guru fisikaku sangat tidak enak. Terlalu menyeramkan. Apakah aku telah melakukan suatu kesalahan yang sangat besar? Aku memang sering bolos pelajaran fisika, tetapi aku selalu mengumpulkan tugasnya. Itu kan yang selama ini para guru (kecuali Bu Nina) butuhkan? Nilai?
Aku juga tidak senekat itu untuk melewati ulangan fis― sebentar, apa jangan-jangan tadi adalah jadwal ulangan?! Kemarin ‘kan aku tidak masuk, jangan-jangan kemarin diumumkan jadwal ulangan fisika dan tidak ada satu orang pun yang memberi tahuku?!
“Permisi, Bu Nina. Saya minta tolong dibuatkan surat pemanggilan untuk kedua orang tua Sekala Julian dan surat skors. Biar anak ini tidak usah masuk sekolah sekalian, kalau kerjanya hanya membolos pelajaran.” kata guru fisikaku kepada Bu Nina.
“Dan kamu Sekala. Meski nilai kamu termasuk cukup di pelajaran saya, saya akan kosongkan nilai kamu untuk semester ini. Saya tidak butuh murid tidak tahu diri.” Kata guru fisikaku. Aku panik. Surat peringatan atau pemanggilan sudah sangat biasa karena pasti yang akan datang adalah sekretaris kedua orang tuaku.
Tetapi kalau nilai ... ini tidak bisa dibiarkan. Orang tuaku sangat memperhatikan nilaiku. Jadi kalau ada nilai yang kosong―dan aku kemungkinan bisa tidak naik kelas― mereka akan marah besar kepadaku.
“Sebentar, pak. Lebih baik dibicarakan dulu permasalahannya. Apa yang sebenarnya telah terjadi?” tanya Bu Nina sambil menenangkan guru fisikaku.
“Seperti yang Bu Nina tahu sendiri. Sekala sangat sering bolos pelajaran saya. Sekarang, dia sudah berani untuk bolos saat jadwal ulangan. Saya tidak ingin menerima murid kurang ajar di kelas saya.” Jelas guru fisikaku.
“Benar begitu, Sekala?” tanya Bu Nina meminta pendapatku. Karena sedari tadi aku hanya bisa diam. Terlalu panik akan bayang-bayang dimarahi habis-habisan oleh orang tuaku.
“Saya memang sering membolos, bu. Tetapi untuk yang kali ini saya tidak tahu kalau ada ulangan. Kemarin saya izin tidak masuk sekolah dan tidak ada teman sekelas yang memberi tahu saya soal ulangan.” Belaku.
“Halah, palingan alasan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Pokoknya Bu Nina, saya tidak mau tahu. Kalau seandainya dia tidak bisa diskors atau lagi-lagi sekretaris orang tuanya yang akan datang, saya ingin meminta pengecualian untuk Sekala agar tidak bisa mengikuti pelajaran saya hingga lulus. Permisi.” Final guru fisikaku lalu segera pergi meninggalkan ruangan.
“Bu Nina ... saya harus gimana ...” kataku kepada Bu Nina. Aku bingung. Aku panik. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Kala. Sekala. Lihat ibu. Tenang, jangan panik. Sekarang sudah jam istirahat, lebih baik kamu makan dan minum terlebih dahulu.” Jawab Bu Nina.
“Saya tidak lapar, Bu. Niat saya tadi memang ingin ke sini saat istirahat. Tetapi saya lebih dahulu ketahuan membolos di samping kantin.” Jelasku. Aku mulai bisa mengendalikan diri. Aku sudah tidak sepanik tadi. Aku segera duduk di tempat aku biasanya duduk.
“Sekala, begini. Kamu sadar ‘kan apa yang kamu perbuat?” tanya Bu Nina. Aku mengangguk.
“Menurut kamu, perbuatan kamu benar atau salah?”
“Salah, bu.”
“Kala, ibu tahu. Kamu sedang merasa kesal, bukan? Makanya kamu berniat mencari ibu saat istirahat. Tetapi, tolong dengarkan ibu dulu ya, nak?”
“Baik, bu.”
“Kala, ibu sayang sama kamu. Kamu anak murid yang paling sering mengunjungi ibu, sudah ibu anggap anak sendiri. Ibu juga tahu kalau sebenarnya kamu anak yang baik, anak yang berbakat. Tetapi, Kala. Yang kamu perbuat kali ini, ibu rasa sudah kelewat batas. Ibu mengerti kamu kemarin sedang pergi, tapi adakah kamu berusaha untuk bertanya kepada teman-temanmu?” aku diam saja. Bu Nina jelas tahu jawabannya.
“Dan soal membolos, ibu sudah ingatkan kepada kamu bahwa itu bukan hal yang baik. Mau sesering apapun ibu menghentikanmu, kalau kamu tidak ada niatan untuk berhenti, maka kamu tidak akan berhenti. Makanya ibu hanya bisa memberimu hukuman. Masih untung kamu tidak melakukan pelanggaran lainnya yang lebih berat. Kalau iya, mungkin apa yang diminta gurumu tadi bisa saja dilaksanakan, La.
Kala, ibu mengerti kamu punya alasan tersendiri untuk membolos. Kamu takut kalau kamu akan membuat orang kesal dengan sikapmu, makanya kamu memilih untuk tidak mengikuti pelajarannya. Saat kamu mengantuk, kamu menghindari tidur saat gurumu menerangkan. Itu sebabnya kamu membolos.
Tetapi, Kala pernah tidak mencoba memperbaiki dari diri sendiri terlebih dahulu? Kamu coba tidur lebih awal, agar keesokan harinya tidak mengantuk dan bisa mengikuti pelajaran seperti biasa. Atau kamu bisa cukup menghadiri kelasnya, mendengarkan apa yang dijelaskan. Tidak perlu membuka mulut, apabila yang kamu takutkan adalah perkataanmu yang dapat menyakiti perasaan orang lain.
Kala, tidak semua guru hanya mementingkan nilai. Tidak semua guru akan meremehkanmu atau membiarkanmu hanya karena kamu memiliki nilai jelek. Beberapa guru hanya ingin dihormati, didengarkan saat sedang menyampaikan materi. Karena itu tugas mereka. Makanya saat tahu kamu bahkan tidak mencoba untuk mendengarkan materi yang disampaikan dengan membolos, mereka memilih untuk tidak mengacuhkanmu.
Kala, ketahuilah. Jika kamu ingin dihormati, maka kamu juga harus menghormati yang lain. Semua tidak selalu berjalan seperti yang kamu inginkan dan kamu pikirkan. Sayangi diri kamu dengan melakukan hal yang benar dan juga mempertimbangkan apa dampak dari setiap perbuatan yang kamu buat. Ibu mengerti latar belakangmu dan lingkungan keluargamu merupakan salah satu faktor besar yang membuatmu takut. Namun, hidup ini sebenarnya tidak seburuk itu kalau kamu melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, Kala. Kamu saja yang selalu terlalu takut untuk melihat. Gunakan bakat dan keberanianmu untuk hal-hal yang baik, Kala.”
Aku tertegun. Aku betul-betul tidak tahu harus berkata apa. Kalimat-kalimat Bu Nina seolah menamparku. Itu betul. Aku saja yang terlalu takut.
“Sekarang balik ke kelasmu. Ikuti pelajaran dengan baik. Urusan dengan gurumu tadi biar ibu yang urus. Ibu akan usahakan kamu akan menerima hukuman sekecil-kecilnya dan nilaimu tidak dikosongkan.” Kata Bu Nina untuk terakhir kalinya.
“Terima kasih, bu.” Kataku. Aku segera keluar dari ruangan BK.
Beberapa hari setelahnya, Bu Nina dan sekretaris kedua orang tuaku bisa menyelesaikan masalahnya. Aku tetap mendapat hukuman. Namun, aku masih diperbolehkan untuk mengikuti pelajaran fisika dan nilaiku untuk semester kedua kelas 11 ini tidak dikosongkan.
Sejak hari itu, aku banyak berubah. Tidak pernah lagi membolos kelas karena sedang tidak mood, mengantuk, atau sekadar ingin bercerita ke Bu Nina. Aku biasanya memanfaatkan jam sehabis pulang sekolah untuk mengunjungi Bu Nina.
Aku juga mulai meningkatkan nilai-nilaiku―bukan karena aku takut akan orang tuaku, tetapi karena aku tahu aku membutuhkannya. Aku juga mulai aktif di ekskul basket yang dulu aku lebih sering bolosnya daripada hadirnya. Walaupun, tidak terlalu lama karena sebentar lagi aku kelas 12.
Kelas 12 tiba. Aku lebih rajin belajar dari sebelumnya. Aku ingin masuk ke jurusan dan PTN yang dulu pernah aku diskusikan bersama Bu Nina.
Setelah mengikuti ujian dan menunggu pengumuman SBMPTN, aku diterima di jurusan dan PTN yang aku inginkan. Aku sangat senang! Bu Nina berpengaruh sangat besar terhadap pencapaianku ini.
Beberapa bulan aku berada di jenjang perkuliahan, Bu Nina memutuskan keluar dari SMA-ku. Bu Nina bilang dia keluar karena ingin fokus mengurus anak-anaknya. Agar besarnya tidak nakal sepertiku katanya. Hahaha. Aku tahu Bu Nina hanya bercanda.
Meskipun Bu Nina sudah keluar, Bu Nina tetap dan akan selalu menjadi guruku. Bu Nina telah memberiku banyak pelajaran. Mungkin bukan fisika, matematika, atau kimia. Tetapi, menurutku Bu Nina adalah guru yang paling berjasa dalam hidupku. Terima Kasih, Bu Nina!
Profil Penulis
Nama saya Khansa Dinda Arya Putri. Saya lahir di Bekasi, 11 Maret 2005. Saya berasal dari SMA Al-Muslim Tambun.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar