Isnani Nurul Latifa

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku dan Senja

Shevarta Zeyn, biasanya dipanggil Sheva. Seorang anak laki-laki yang sudah menginjak usia remaja 16 tahun. Badannya terbilang tinggi, kulitnya cerah, matanya sipit, dan dia adalah anak yang baik. Hobinya adalah melukis. Dia hidup di keluarga yang berada.

Saat pulang sekolah pada sore hari, Sheva langsung mengganti bajunya dan dia akan melakukan kegiatan yang biasanya ia lakukan yaitu melukis di bukit sebelah rumahnya. Sheva melukis benda-benda ataupun pemandangan yang ada disekitarnya. Setelah beberapa saat, matahari mulai terbenam dan adzan maghrib akan segera tiba, Sheva pun bergegas ke rumahnya mengambil air wudhu dan melaksanakan salat maghrib di rumahnya.

Meskipun hidup Sheva berada, tetapi masalah yang dialaminya tidak sedikit. Saat Sheva sedang merasa sedih atau kesepian, obat yang paling ampuh adalah melukis di bukit dekat rumah saat senja akan tiba. Angin yang sejuk, kiicauan burung yang merdu, bahkan melihat kupu-kupu yang berterbangan. Suasana itu membuat hati Sheva merasa lebih tenang.

Selama Sheva melukis di bukit dekat rumahnya, Sheva merasa hatinya lebih tenang. Apalagi sambil mendengarkan musik dari ponsel genggamnya itu. Batinnya 'Andai aku bisa disini terus, aku lelah mendengar omelan Bunda yang terus menerus menyuruhku menjadi seperti kakak.'

Keesokan harinya, suasana pagi yang sangat cerah. Sheva akan pergi berangkat menuju sekolah. Dia berpamitan dengan bundanya "Bun, aku berangkat sekolah dulu ya..." dan bundanya pun menanggapi Sheva, "Percuma sekolah tiap hari, kalau kamunya kerjaannya melukis mulu ya nggak akan bisa kayak kakakmu itu. Lihat kakakmu yang udah sukses, gak kayak kamu yang cuman beban keluarga!" Sheva pun hanya bisa terdiam mendengar perkataan bundanya tersebut.

"PYARRR..." terdengar suara vas bunga pecah yang runtuh dari meja ruang tamu, ternyata ayah Sheva pulang kerja saat pagi hari, dan ternyata ayah Sheva juga sudah mendengar semua perkataan bunda Sheva kepada Sheva. Ayah Sheva pun berkata, "Udah cukup ya bun, anak kita itu punya sifat yang berbeda, kakak Sheva itu memang punya sifat yang berbeda dengan si Sheva, jadi tolong hargai ya bun... Sheva itu punya hobi ngelukis dan kita harus ngedukung dan hargai itu, pasti bunda bisa mengerti." Bunda pun menjawabnya dengan muka penuh rasa bersalah, "Iya mas." Ayah mengelus kepala Sheva dan berbisik, "Semangat nak, lanjutkan hobimu ya!"

Bunda Sheva pun akhirnya mengerti dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya, bahwa kita harus menghargai apa yang telah dilakukan seseorang, dan kita tidak boleh membeda bedakan orang lain. Sheva pun berangkat sekolah dengan hati senang, karena masalahnya dengan bundanya sudah teratasi dengan baik.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

kereennn,, salam literasii

05 Jan
Balas

makasihh, salam literasi!!

05 Jan



search

New Post