Fathya K. Prasojo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Brie dan Apronnya (Bab 1)

Bab i

"CRRIIINGG" suara yang sudah tidak asing lagi membuatku beranjak berdiri dan mematikannya. Aku pun membuka pintu oven, seketika bau harum apel dipadu dengan kayu manis batang mengisi ruang dapur. "Mhmmm.." kalau dibayangkan seperti apa bau kue apel ini, seperti sedang duduk dekat api unggun di malam musim dingin; hari sedang mengeluarkan keajaibannya berupa butiran-butiran putih layaknya kapas yang menyelimuti pemandangan luar kota, memakai sweater benang wol yang lembut sambil menikmati secangkir eggnog. Sebelum membagikannya kepada keluarga, Aku mengambil handphone dan mengambil beberapa foto.

Hey! Nama Aku Brie Julienne Skye. Panggil saja dengan Brie. Lahir di kota Pa-Ris, pusat kuliner dunia. Bagi kalian yang sangat menggemari dunia kuliner, mungkin bisa menebak asal usul nama Aku. Brie, merupakan salah satu dari banyak varietas keju yang ada di Per-An-Cis; berasal dari kota Seine-et-Marne, tempat dimana nenek dan kakek dari Ayahku tinggal. Membutuhkan sekitar 1 jam dari kota kelahiranku, yakni Pa-ris. Julienne, merupakan teknik memotong menjadi strip pendek dan tipis - tetapi juga bentuk feminin Perancis dari nama Julian, yang berarti "muda". Skye, yang merupakan nama keluarga. Aku merupakan putri sulung dari koki terkenal; Chef Skye, sekaligus ayahku.

“Kak, bikin apa? Bau nya sampai ke kamar Izzy,” ucap Izzy adik Brie. “Oh, itu kakak bikin kue Apple Crumble. Kalau mau ambil saja,” jawab Aku.

Gadis berbadan jangkung dengan pipi tembem adalah adik perempuan satu-satunya Aku, namanya Isabella Jeanne Skye, panggil saja Izzy. Aku dan dia hanya terpaut dua tahun dua bulan jadi kami sangat akrab. Saking akrabnya, kami seringkali ditemukan bertengkar. Tentu saja, setelah itu kami baik-baik saja.

Aku melihat jam digital bahwa hari pukul 15:00 di hari Sabtu, jadi Aku mempunyai banyak waktu untuk mempersiapkan diri untuk nanti malam. Aku berjalan menuju lantai dua, berbelok kanan dan jalan terus sampai ujung lorong, itulah dimana kamarku berada.

“Selamat siang, Nona Brie. Ada yang saya bisa bantu?” tanya sebuah robot asisten Brie bernama Chip. “Mhm… bisakah kamu merekomendasikan baju yang cocok untuk acara nanti malam?” Aku tanya balik. “Untuk nanti malam saya merekomendasikan gaun renda vintage selutut berwarna marun, tas tangan dan flat shoes berwarna kulit,” ujar Chip. “Baiklah, terima kasih Chip.” Mendengar kalimat itu, Chip meninggalkan kamarku.

Benda timah berdesing itu adalah Chip, semua orang penting di kota Pa-Ris memiliki paling sedikit 1 buah di rumah masing-masing. Chip membantu keluarga kami dalam berbagai macam urusan, mulai dari penasehat busana untuk acara-acara formal sampai planner kegiatan pribadi.

Keseharianku memang seperti ini, di hari kerja Aku bersekolah dan mengikuti aktivitas yang diadakan yayasan sekolah setelah jam pelajaran utama; di akhir pekan Aku akan berpartisipasi dalam berbagai macam acara kedua orang tuaku. Kegiatan Ayahku seperti pembukaan restoran baru, atau pembagian saham bisnis rekan; kegiatan Ibuku seperti acara amal, launching produk, dan segala sesuatu yang berbau bisnis bersama Ayah.

Malam ini Ayahku akan membuka restoran cabang baru pertama di kota Pa-Ris, malam ini sangat spesial karena Akulah yang “memilih” restorannya. Mulai dari tema restoran (desain interior, logo, menu), sampai lokasi restorannya. Ayahku yang memiliki ide ini, beliau percaya bahwa suatu saat nanti Aku akan menjadi Chef yang bertanggung jawab dalam menjalankan suatu bisnis; jadi beliau mengajakku dalam perencanaan restoran baru. Tenang, Aku sudah dianggap bisa bertanggung jawab karena umurku yang menginjak 17 tahun.

Aku memberi nama restoran ini Little Asia, sesuai dengan namanya, restoran ini fokus kepada masakan Asia. Terinspirasi dari keluarga besar Ibuku yang memiliki keturunan darah Indonesia yang kental. Desain interiornya sangat simpel dan minimalis; tapi saat kamu mencicipi masakannya kamu pasti akan merasa berada di rumah. Dari kecil Aku sudah terbiasa dengan masakan khas Asia, khususnya masakan Indonesia; tentu saja karena Ibuku yang hampir setiap hari memasaknya.

Untuk logonya, Aku memilih alat yang paling sering digunakan di berbagai macam masakan tradisional Indonesia, yaitu mortar dan pestle yang terbuat dari batu; digunakan untuk menghaluskan bahan dasar. Mortar adalah penumbuk, dan pestle adalah “wadah” yang digunakan untuk menempatkan bahan yang akan dihaluskan. Mortar dan pestle adalah alat yang tak terpisahkan satu sama lain, tanpa mortar, pestle tidak akan ada nilainya, begitu juga sebaliknya. Hal ini melambangkan bahwa Aku dan budaya Indonesia tidak akan terpisahkan. Budaya Indonesia khususnya dalam hal makanan tradisional sangat berpengaruh dalam cooking styleku. Tanpa adanya pengaruh budaya Indonesia, Aku tidak seperti tidak akan mengenal sebagian diriku.

“Kak, sudah siap?” panggil Ibuku dari lantai bawah yang membuatku berhenti melamun. Aku pun menjawab “Iya, bu. Bentar lagi kakak selesai,”

Aku melihat sosok gadis yang sedikit gugup berdiri di cermin. “Tidak usah gugup, hari ini sangat penting bagimu. Tunjukkan mereka antusiasmu.” ucapku dalam hati.

Aku menekan layar handphoneku, dengan wallpaper kami sekeluarga sedang tersenyum lebar saat berkunjung rumah nenek kakekku di Indonesia. Tidak lama kemudian, mataku tertuju pada jam yang menunjuk bahwa hari sudah pukul 17:00. Aku pun bergegas menuju lantai bawah.

“Apakah kamu sudah siap, Kak?” tanya Ayah. Aku mengangguk dengan penuh percaya diri. Ayah pun tertawa kecil.

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

“Chef, apa yang membuat Anda memilih anak sulung sendiri yang berpartisipasi dalam berdirinya Little Asia?”

“Sebelumnya, tidak ada sejarah seorang Chef terhormat yang memilih anak remaja yang tidak berpengalaman dalam dunia bisnis sebagai co-founder sebuah restoran. Apa yang anda lihat dari anak Anda sehingga bisa memberinya suatu kewajiban yang sangat besar?”

Pertanyaan para wartawan menghampiri kami saat menginjak kaki di restoran tersebut. Aku yang berdiri di samping Ayah merasa kepercayaan diri jatuh dengan drastis. Muka dan telingaku panas mendengar pertanyaan wartawan yang seolah merendahkan diriku. Kedua telapak tanganku berkeringat. Kakiku merasa seperti jeli. Jantungku berdegup sangat kencang. Lingkungan sekitar terasa rabun. Suara para wartawan hanya terdengar sekilas, seperti radio tua yang sudah lama rusak. “Kapan malam ini berakhir?” gumam diriku.

Ibu yang sangat mengenal anak-anaknya melihat kecemasan di raut wajahku. Ibu berusaha tersenyum dan menggenggam tangan kananku, menandakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Aku dari kecil mengidap anxiety disorder, atau kecemasan. Gejala-gejalanya seperti nafas tidak teratur, dada sesak, jantung berdegup kencang, dan penglihatan sekitar sedikit rabun. Biasanya Aku akan merasa kecemasan saat merasa “dunia” menghakimi. Ditambah lagi dengan diriku yang sensitif dan mudah tersinggung, seperti a recipe for disaster. Namun, Aku dapat menenangkan diri dengan sedikit bantuan emosional dari keluarga, seperti pelukan atau berpegangan tangan.

Kami berhenti berjalan saat Ayah menaiki sebuah podium kecil.

“Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada semua orang yang hadir malam ini. Banyak pula yang saya harapkan untuk tidak hadir malam ini dengan kepercayaan diri bisa meluangkan sedikit waktunya untuk datang.” sindir Ayah melihat para wartawan yang tadi menanyakan pertanyaan tidak sopan. Terdengar suara tepuk tangan meriah dari audiens.

Setelah suara tepuk tangan sudah mereda, Ayah pun melanjutkan pidato pembukaannya. “Saya membuka restoran ini dengan bantuan Brie, selaku putri pertama saya dengan harapan restoran ini akan menjadi suatu pengalaman yang berharga dalam perjalanan karirnya menjadi Chef yang hebat. Saya percaya bahwa Little Asia akan membawa para pelanggannya dalam perjalanan kuliner yang tidak akan pernah dilupakan. Saya sangat bangga terhadap Brie dan restoran ini. Jadi mohon atas kerjasamanya.” Namun, Ayah belum selesai pidatonya. Kalimat selanjutnya membuatku sedikit terkejut.

“Sebagai lambang membuka restoran ini secara resmi, saya mempersilahkan co-founder Little Asia untuk melakukan penghormatan memotong pita ini. Kepada Miss Brie Skye, dipersilahkan.” Aku pun dengan ragu mengambil gunting emas pemberian salah satu karyawan restoran.

“Terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu hari ini. Saya berjanji akan bekerja keras untuk mengembangkan Little Asia serta menjadi Chef yang sukses, untuk membanggakan keluarga saya,” ucapku dengan muka yang anggun, berusaha untuk menyembunyikan rasa gugup. Aku melihat sekilas Ayah, Ibu dan Izzy. Setelah mereka menatapku dengan mantap, Aku pun merasa siap. “Saya bangga mempersembahkan pembukaan resmi Little Asia,” Aku memotong pita merah, sebagai simbol resmi Little Asia terbuka dan siap untuk melayani pelanggan.

Sepanjang malam setelah pembukaan hanya berisi rekan-rekan kerja Ayah dan Ibu yang datang untuk menyelamatkan atas pembukaan Little Asia, tidak lupa untuk mengucapkan kata-kata semangat dalam menjalankan restoran ini. Setelah itu, tidak banyak yang kuingat dari malam itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post