anu_paper

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Say It
Thumbnail by: Saya sendiri.

Say It

BAB 1: Awal yang Sedih

Siang itu, hujan turun dengan deras. Seakan ikut bersedih atas kehilangan yang dirasakan Bintang. Gadis itu menunduk, menatap gundukan tanah di depannya. Bertabur kelopak bunga yang basah oleh rintik hujan. Sudah tiga jam sejak pemakaman, dan Bintang masih di sana. Dengan bodoh berjongkok di samping kuburan baru. Tak peduli sekujur tubuhnya basah, tak peduli rok hitamnya kotor terkena lumpur. Gadis itu enggan beranjak pergi.

Sekali guntur terdengar, hujan turun kian deras. Langit semakin menghitam, seakan malam sebentar lagi tiba. Bintang tak peduli, karena kini ia merasa hatinya telah mati. Semua karena pemilik raga yang kini terkubur dalam tanah. Pemilik senyuman paling cerah menurut Bintang. Manusia yang pergi tanpa kata, tanpa alasan yang jelas. Bulan, sahabat terdekatnya.

Bintang tidak mengerti. Selama ia mengenal Bulan, jarang ia mendengar gadis itu mengeluh. Bulan selalu ceria, tertawa dan bercanda dengannya. Bahkan ia sempat mentraktir Bintang makan bakso, sehari sebelum dia bunuh diri. Pikiran Bintang semakin kusut. Kesedihan bercampur kebingungan membuatnya sedikit pusing. Ditambah lagi, sudah lama ia berjongkok diterpa rintik hujan.

Terlalu dalam Bintang berpikir sampai ia tak menyadari, sebuah payung terbentang untuknya. Seorang pemuda bertubuh tinggi menunduk. Menatap Bintang yang terlihat kacau. “Sudah lebih dari sejam kau di sini,” ucap pemuda itu, datar. Netra keemasannya setia menatap Bintang. Tapi, tidak ada kepedulian di dalamnya.

Sejak awal pemuda itu datang, selain memberikan payung, tidak ada bentuk kepedulian lain yang terlihat. Bahkan raut wajahnya datar. Tidak menampilkan emosi apapun. Bintang melirik pemuda itu. Sedikit mengangkat kepala, menampilkan wajah pucat dan bibir agak kebiruan. Rambut panjang Bintang basah kuyup, sebagian menempel pada pipi gadis itu.

“Ruthaya?” ucap Bintang pelan, dengan bibir sedikit gemetar karena dingin. Suara gadis itu agak serak akibat menangis untuk waktu yang lama. Pemuda bernama Ruthaya masih setia menatap datar. “Kak Ruth,” koreksi Ruthaya “Aku masih seniormu, meski kau sudah lulus SMP.” Tawa sinis keluar dari bibir Bintang, manik gelapnya beralih. Ia kembali menatap kuburan, “Bahkan saat ini kau masih peduli pada senioritas. Tidakkah kau melihatku tengah bersedih, Kak Ruth?” Ruthaya masih enggan berekspresi. Seakan tak mendengar ada penekanan ketika namanya disebut.

Ruthaya adalah salah satu orang aneh yang dikenal Bintang. Pemuda albino itu jarang menampilkan ekspresi di wajah rupawannya. Sulit untuk membaca pikiran Ruthaya, dan sulit untuk memancing atensinya. Meskipun ia terlihat tidak peduli sekitar, ternyata Ruthaya sangat memerhatikan senioritas. Seperti tadi, tidak peduli pada Bintang yang bersedih, Ruthaya masih sempat menegur.

“Pulanglah. Kau membuat orang tuamu khawatir,” bujuk Ruthaya. Kemudian membungkuk untuk menarik lengan Bintang, berusaha membuat gadis itu berdiri. Bintang menarik lengannya, memberi penolakan. “Tidak,” ucap Bintang gemetaran “Aku tidak mau pulang. Aku akan menunggu Bulan, tidak mungkin ia pergi tanpa meninggalkan penjelasan.”

Ruthaya terdiam, kembali menarik lengan Bintang. Seakan tidak mendengar penolakannya. “Lepas! Sudah kubilang aku tidak akan pergi!” teriak Bintang, berusaha untuk lepas dari genggaman Ruthaya. Meski hal itu mustahil, sebab tenaga gadis itu sudah terkuras hampir habis.

Di sisi lain, genggaman Ruthaya makin kuat. Ekspresi pemuda itu masih datar, namun ada sedikit percikan emosi di kedua matanya, “Dia sudah pergi, Bintang. Dan kau tahu mereka yang telah ‘pergi’ tak akan bisa lagi kembali. Sekeras apapun kau mencoba, selama apapun kau menunggu.” Nada bicara sedingin es menyelinap di antara rintik hujan, menarik Bintang kembali pada realita.

Seakan tersadar dari mimpi, gadis itu berhenti memberontak. Ia terdiam, mencerna kembali kalimat tadi. Mereka yang sudah ‘pergi’ tak akan bisa kembali. Sekeras apapun dia mencoba, selama apapun dia menunggu.

Fakta ini menusuk hati Bintang, menggores luka di atas luka yang belum sempat sembuh. Membuatnya kembali berdarah. Bintang tak mau percaya. Tapi ia tahu, seperti itulah kehidupan dan kematian bekerja. Takdir telah ditentukan, manusia hanya bisa menjalankan.

Ia merasa tak berdaya, lemah. Bingung seperti anak anjing ditinggal pemiliknya. Bintang menggigit bibir, kembali ia merasakan matanya tersengat. Dingin merasuki kulit, membuat gadis itu gemetar. “Bulan... ,” ucap Bintang dengan suara sepelan anak kucing “Kenapa kau pergi seperti ini?”

***

Seminggu setelah kepergian Bulan. Dan Bintang masih terjebak dalam pertanyaan yang sama. Kenapa Bulan tidak mengatakan apapun? Dari beribu cara yang ada di dunia untuk menyelesaikan masalah, kenapa harus bunuh diri yang ia pilih? Ia ingat kalau Bulan bukanlah pengecut. Jika punya masalah, pasti langsung ia selesaikan.

‘Masalah tidak akan selesai kalau kita terus melarikan diri, Bintang,’ ucap Bulan pada Bintang waktu itu. Masih dengan jelas tersimpan dalam benaknya.

‘Kau mengatakan itu, dan kau juga yang melarikan diri,’ batin Bintang ‘Separah itukah masalah yang kau hadapi? Sampai kau tidak bisa memberitahuku dan memilih untuk lari?’

Bintang tak mengerti.

Bulan mengatakan kalau mereka adalah sahabat. Hubungan dimana mereka melewati susah senang bersama, saling percaya dan saling membantu. Lantas, kenapa Bulan pergi begitu saja? Meninggalkan Bintang tenggelam dalam lautan kebingungan?

Ia menghela nafas, berusaha mengusir beban tak kasat mata dalam dada. Kemudian ia meringkuk di atas ranjang dan menutup mata. Berusaha menekan sakit yang kembali menyerang hati. Berusaha untuk kabur dari pertanyaan dan kesedihan untuk sementara. Tidur bisa membantu. Meski Bintang tahu, begitu ia terbangun, masalah akan kembali menyerang pikiran.

Penulis ingin mengatakan sesuatu:

Ehm, hai?

Seperti yang bisa kalian lihat pada user nameku, kalian bisa menyebutku Paper (jagan 'anu' tolong, itu terlalu...ambigu). Ini pertama kalinya aku kembali berani menulis dan memposting satu dari kahayalan yang kumiliki. Mungkin sudah dua bulan, tidak, mungkin dua tahun...? Entahlah. Bahasaku masih agak kaku dan penggambaran perasaan karakter masih kurang, banyak hal yang harus diperbaiki, aku akan berusaha. Kuanggap ini sebagai pemanasan hoho. Siapapun yang membaca ini (kalau ada) terima kasih sudah mampir, dan sampai jumpa di bab berikutnya.

(Aku tidak tahu harus memilih apa untuk kategori tulisan ini, karena tidak ada kategori novel atau cerbung. Jadi, kolom saja... kurasa).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

bagus cerita.. sudah aku follow ya.. mohon follow balik

24 Nov
Balas

Thank you for coming! I'll follow you ✨

24 Nov

Keren Tami keren

24 Nov
Balas

Brooo you're here :"""") Thank you for coming huaaa <3333

24 Nov



search

New Post