Alanis Salsa Dewi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Waktunya Lela The Wanderer

Waktunya Lela The Wanderer

Hutan. Iya kali ini aku berpetualang ke hutan guys, hutan bukan tempat asing untuk anak ‘Jawa’ seperti aku, tepatnya di desa Badran, di sanalah berdomisilinya aku sejak ditetapkan Tuhan sebagai manusia, desaku merupakan desa yang masih belum banyak kemajuan pada saat tahun-tahun terakhir di bawah pimpinan presiden kedua Indonesia pada kala itu. Sebagian besar penduduk desa di tempatku bekerja sebagai petani, aku adalah salah satu anak dari ibu yang seorang petani dan ayah seorang kepala desa, nama jelas ku adalah Siti Nurlaela, dan nickname ku selama hidup adalah Lela.

Umur aku waktu itu sekitar 4-5 tahun, hanya sedikit dan juga samar-samar aku ingat kejadian hari itu. Kejadian yang sesungguhnya aku dapat dari cerita nyokap aku. Umur segitu yang ada di ingatan aku cuma kabut asap. Pagi itu mama ngajak aku dan kakak aku, sebut saja dia bawang putih. Tak lupa kepala aku dipakaikan tengkuluk untuk menghindari terpaan panas dan menyilaukannya sang surya. Ya nyokap peduli sekali dengan aku, mungkin agar anaknya nggak jadi arang. Baik banget mama aku. Kita ke hutan dengan berjalan kaki sekitar kurang lebih 1 jam, aku sih nggak jalan, aku nemplok di belakang nyokap aku. ‘Imbah tu’ eh maksudku kemudian. Di perjalanan nyokap aku udah kayak tour guide yang senantiasa dengan ramahnya menjawab tiap pertanyaan aku yang keheranan, ingin dan perlu tahu tentang banyak hal.

Ma, godhong apa iku?

Godhong suket.”

Beberapa saat kemudian.

Ma, woh apa iku?

Woh alas ungu, ora bisa dipangan!” Nyokap tau aja aku udah melet-melet dan berencana buat ngunyah semuanya, abis menggoda banget tuh buah.

Setelah banyaknya pertanyaan yang diajukan, nyokap mulai muak sepertinya, aku putuskan buat menyampaikan hal terakhir sama dia.

“Mama!”

“Apalagi?” Nadanya sedikit terdengar kesal kali ini.

“Pengin BAB!” Dengan muka polos kebiruan nahan sesuatu yang mau ke luar.

Nyokap aku sigap, segera menyusuri jalan, mengais-ngais rumput-rumput tinggi di hadapannya, seperti mengharap menemukan sesuatu tempat yang disebut sungai. Ketemu, keren nyokap aku, sigap cepat tanggap dan tahu arah. Akhirnya lega juga, muka aku kembali ke warna semula, sawo matang, haha. Banyak kelokan yang dilalui saat itu, mungkin aku saat itu harusnya bilang.

“Mau ke mana kita?” Ke hutan! Lalu untuk mengetahui jalan mana yang harus kita lalui agar kita tidak tersesat? jadi “katakan peta, katakan peta.” Aku bersyukur di masa kecil aku nggak ada dora, kalau nggak aku udah nyanyi-nyanyi dan bersua di sepanjang jalan terus berharap menemukan dan menangkap bintang di siang bolong, kan nggak banget tuh.

Akhirnya sampai juga, wajah cantik nyokap tampak berkeringat, bawang putih selonjoran menikmati indahnya hasil setelah melewati perjalanan panjang. Nyokap aku nampak sibuk dengan perkakasnya, saatnya aku bilang I love you mama dan terima kasih Tuhan ternyata dunia ini teramat indah menikmati hembusan sejuknya angin di bawah pepohonan rindang dekat pondokan kecil tempat bernaung, sambil merentangkan tangan kayak rose di kapal titanic. Sayangnya nggak ada jack di belakang aku. Aku jomblo saat itu guys. Ya? iya lah fi aduuuh. Aku memejamkan mata, lalu terasa ada yang beda, ada sesuatu yang nyentuh-nyentuh pundak aku.

Nih Nak, sinau weeding.”

Mama menyentuhkan tangannya ke bahu aku sambil ngasih semacam benda pusaka gitu! Bersama dengan itu maka bubarlah kenikmatan aku yang hampir menyatu dengan alam, padahal elemen dalam diri aku hampir sempurna dikuasai, yaitu semua elemen yang ada di bumi, seperti air, tanah, dan udara. Tapi semua berubah saat negara api menyerang? Waduh nggak kebayang deh kalau tubuh sawo matang aku dipenuhi panah biru ke mana-mana gitu, siapa yang mau nikahin aku. Oke kita kembali kepada rumput, anak manis mau ngrumput dulu ya guys.

Di sana aku menghabiskan banyak waktu dan bisa menyatu dengan alam. Aku berdiri di lahan yang kurang lebih ber luas 4 ha, banyak tanaman yang tumbuh subur. Lahannya sengaja diberdayakan, dengan ditanami berbagai macam buah sayuran dan kacang-kacangan. Kami menggantungkan niat pada Tuhan dan berharap alam terus berbaik hati kepada kami dengan selalu menyuguhkan kesuburannya. Ada sayuran seperti kacang panjang, timun, bayam, buncis, jagung, terong, tomat, cabe, pepaya, rambutan, cempedak, kacang tanah dan lainnya. Tanaman-tanaman itu ditanam secara bergiliran atau dengan sistem bagi lahan.

Kembali kepada suruhan nyokap “belajar merumput.” Aku dan kakak aku bawang putih ngrumput sambil nyanyi-nyanyi.

“Susu indomilk indomilk indomilk, sehat dan kuat bersama susu indomilk” Aku ngrumput sambil berdendang, cuma lagu dari iklan susu itu yang aku bisa.

Aku nggak kenal lagu balonku atau pelangi-pelangi bray, aku belum sekolah waktu itu, haha.

Nyokap berjarak agak jauh dari aku dan kakak aku. Kakak aku hari ini jadi macan nggak bertaring. Dia kayak orang mati dua hari kalau nggak ada kakak pertama atau si bawang merah, bully akan berkurang kalau dia sendirian. Kekuatan mereka akan penuh saat duet di malam bulan purnama, haha. Sesekali bawang pulih ngeledek aku.

Kamu ora bisa suket.” Bawang putih ngeledek kalau aku tuh nggak bisa nge rumput, sambil melet-melet.

Dengan perasaan kesal aku sambit dia pakai dedaunan kering di sekitar aku, dengan wajah kesal, sekali lagi dia kayak gitu, bukan daun lagi yang melayang. Parang yang akan melayang, hahaha, itu cuma pikiran aja, pikiran yang nggak akan pernah terjadi. Akhirnya aku selesai ngerumput di batas yang ditentukan nyokap aku.

Mama, wis rampung, delengen lan resik-resik!

Mata aku berbinar-binar saking bahagia dan bangganya dengan diri aku sendiri.

Anake mama sing pinter, ayo dideleng mama!” Nyokap muji aku, nyokap adalah ibu penyayang yang hampir nggak pernah ngebentak aku.

Dia selalu punya cara ajib buat ngebujuk, menyuruh, dan memuji anaknya seperti saat ini. Nyokap aku tahu ilmu psikologi dari mana? Tahu aja deh dia kalau anak nggak boleh dididik dengan bentakan, salut sama nyokap tercinta aku.

“Astaghfirullahaladzim.” Nyokap nyebut dengan wajah syok, sepertinya ada yang salah dengan pekerjaan ikhlas aku.

Iku anak jagung Nak, dudu suket.”

Muka aku udah kayak makhluk di duit pecahan kertas Rp. 500 di zaman itu, datar merenung dan polos, haha. Anakan jagung yang baru tumbuh, habis aku babat, aku nggak bisa bedain yang mana jagung yang mana rumput. Yang aku lihat berwarna hijau, aku tebas, aku nggak pilih kasih coy aku mah gitu orangnya. Nyokap nggak marah, dia malah ngejelasin yang benar sama aku. Ya iyalah, muka aku udah ancang-ancang memble siap menerjunkan air mata. Mana tega nyokap aku ngomel, I love you full mamaaaah.

Akhirnya aku hanya diperbolehkan diam di pondokan, aku bukan tipe kayak DPR juara, maksud aku juara diam juara iya juara hahaha. Selagi raga tak lelah, tangan bisa meraih, kaki mampu berjalan, diam bukan pilihan. Aku milih jalan-jalan ke sungai kecil nan tenang, sambil main-main.

Aja teles Nak!” Nyokap teriak ke aku.

Nggih Ma.”

Aku nggak basah-basahan, aku cuma main air, mengambil dedaunan yang agak besar dan batang kayu yang berukuran kecil berbentuk seperti sikat. Aku celup-celup tuh daun sambil ngomong sama diri sendiri.

“Sebentar ya, aku nyuci baju dulu, habis ini dijemur, biar kering.”

Habis aku kucek-kucek, aku celup-celup, aku peras, aku mau jemur, eh udah ancur aja tu daun. Aku buang, aku mulai bosan, aku nungging, sok-sok-an mau wudhu ceritanya, eh…

byuuur.

Aku nyebur, kelelep di air cetek. Basahlah sudah.

Nyokap langsung lari dan ngangkat aku, aku akting nangis biar nggak dimarahin. Nyokap diam aja, lumut-lumut nyangkut-nyangkutan di rambut aku. Lalu nyokap mau jemurin baju aku, tapi aku nggak mau, akhirnya aku yang dijemur nyokap, haha. Jam 11, kita pulang. Baju aku masih agak basah, matahari takut sama aku kayaknya padahal aku berjemur cukup lama, sekitar 10 menit, haha. Pulang, marilah pulang, abah di rumah sudah menanti. Kali ini aku memilih berjalan kaki, nyokap nampak lelah jadi aku putuskan buat memanfaatkan kaki mungil aku.

Di rumah. Nyokap antusias menceritakan kejadian hari ini sama bokap atau papa aku, papa aku ngakak nggak jelas. Aku mojok dekat lemari baju. Besoknya aku nggak mau ikut ke hutan, aku milih mancing sama bokap sama kedua kakak aku, dan ternyata hari itu lebih mengerikan daripada aku harus ngerumput di hutan. Cukup sampai di sini cerita pendek yang sedikit panjang ini. Semoga kalian para pembaca terhibur, ambil positifnya, masukkan negatifnya ke dalam ransel. Yaaa ayo katakan ransel katakan ransel, haha. Sekian cerita Lela The Wanderer dan terima kasih.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post