Alanis Salsa Dewi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Lata

Lata

Mamah! Raden Sira dibom!” Ikrar berteriak dari pintu depan.

Astaga, cepat-cepat ku tinggalkan kupasan kerang hijau. Dari jauh ku lihat orang kampung sudah ramai berkumpul di puskesmas pulau. Aku bergegas turun dari rumah mengikuti Ikrar yang berlari ke keramaian.

Maot?” Nurul rupanya di belakangku.

Henteu terang, kuring henteu acan ningali. Hayu Nur.”

Kugandeng tangan Nurul lebih cepat menyusur paving block ke puskesmas yang tinggal beberapa langkah lagi. Siang itu terik dan jalanan semen ini panas bukan main. Tapi dalam keadaan begini orang-orang pulau tak peduli bertelanjang kaki. Bukan kejadian sekali dua kali nelayan celaka kena bom ikan, sudah berpuluh-puluh kali dan kami hanya menunggu kabar mati.

Terdengar suara teriakan Raden Sira kesakitan dari dalam ruangan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi. Entah bagian tubuh yang mana yang pecah, entah apa sedang dijahit menjadi satu lagi di dalam sana atau dilepas satu persatu sampai bersih. Dari kaca jendela ku lihat Lia si perawat keluar-masuk ruangan beberapa kali dengan noda berwarna merah kental di seragam putih-putihnya.

Kena tangan, waktu dilempar meledak.” James memberitahuku.

Rupanya dia berada di kerumunan ini pula.

Untung botol minuman dipakai, mun badag bakal béak.” tambahnya lagi.

Di mana?” Nurul bertanya penasaran pada James.

Di sana Karang, gigireun Pulo Sumba.” sahut James sambil mengulurkan tangan buntungnya ke arah lautan. Nurul menoleh ke arah timur, raut wajahnya mencoba memetakan lokasi yang James katakan.

Mana kau tahu Nur, pergi ke luar Pulo Sumba saja kau tidak pernah.” jawabanku mengagetkan Nurul yang tengah berpetualang dengan peta di awang-awangnya.

James terkekeh melihat Nurul.

Kusabab kuring teu nyaho jadi kuring nanya.” jawab Nurul membela diri sambil mencubit lengan James keras-keras. James dan aku tersenyum melihat Nurul.

Aku, Nurul, dan James menjadi seperti keluarga yang dekat. Meski pulau ini sempit yang dari ujung ke ujung hanya sepelemparan batu, tapi Nurul dan James hampir setiap hari berkunjung ke rumah kayu milikku yang kecil ini. James kadang datang membawakan seikat ikan, cumi-cumi, atau keranjang bambu kecil berisi udang. Nurul lebih sering datang membantuku mengupas kerang hijau dan bermain dengan Ikrar di teras panggung. Nurul kehilangan bapak dan dua kakak laki-lakinya lima tahun lalu, bom ikan meledak tiba-tiba meledak di lambung kapal saat dibawa.

Kapal kayu itu jebol, lalu tenggelam bersama semua penumpang di atasnya. Sedangkan si James menjadi duda ditinggal istrinya lari pulang ke daratan karena tak kuasa menanggung malu bersuami cacat. Bom meledak di tangan James sesaat hendak dilempar. Kini ia tidak lincah lagi memegang kemudi kapal, tidak bisa menarik jaring cepat, tidak bisa memancing cumi sendiri. Sehari-hari James membantu mamah Nurul mengurusi ikan-ikan kering untuk dikirim. Tidak hanya kami, masih banyak nelayan sudah menjadi korban. Tapi di pulau ini, seolah tidak ada yang belajar dari kehilangan kami. Pupuk-pupuk itu masih saja berdatangan dengan kapal dari daratan.

Mamah!” Ikrar tiba-tiba sudah di sampingku, sepertinya ia tadi berusaha melihat ke dalam dari jendela sisi barat bangunan Puskesmas.

Naon Nak?” Ku usap rambutnya yang kemerahan terpapar matahari, lalu ku gendong pulang. Dagunya yang kecil bergerak-gerak di pundak kiriku.

Naon Nak? Sebutkeun naon anu anjeun pikahoyong?” Ku tepuk-tepuk punggung Ikrar.

Om James ceuk, bapak dibom ogé?

Dia diam sejenak lalu bertanya lagi.

Tapi naha Raden Sira henteu angkat?

Tak terasa mendung di mataku lekas berubah menjadi gerimis. Ku usap rambut Ikrar turun ke punggungnya pelan-pelan. Ikrar menegakkan punggungnya dalam gendonganku, jarinya memainkan cincin emas yang menjadi mata kalung di dadaku. Sulit menjaga Ikrar untuk tidak mendengar cerita kematian papahnya di pulau ini, meski berkali-kali ku ceritakan tentang bapaknya yang pergi berlayar ke lautan teduh di timur jauh saat ia bertanya tentang papahnya. Nalar kecilnya berusaha memahami dengan mengkait-kaitkan apa yang dia dengar dari orang dan dari aku mamahnya. Logika tersambung, baginya jika orang kena bom ikan maka orang itu akan pergi ke lautan teduh di mana mamahnya juga pergi.

Rindu ka papah, Rar?

Teu nyaho.” jawabnya.

Naha?” Ku tanya lagi Ikrar

Kungsi ningali Mah.” jawab Ikrar menusuk jantungku.

Ia bersandar memeluk leherku, ku peluk ia lebih erat. Nafasnya mulai teratur, rupanya Ikrar mengantuk.

Di mana lautan teduh Mah?

Ia masih penasaran rupanya walau sudah lemah.

Di dinya, nuju béntang-béntang nu caang caang isuk-isuk.” Ku bisikkan dongeng itu di telinganya yang mungil.

Ku cium pipinya, ia sudah lemas tertidur. Segera ku baringkan anak lelakiku di atas tikar sesampaiku di rumah kayu. Sesaat aku limbung setelah menaruh Ikrar, ku gapai tiang atap mencari pegangan.

Tiga tahun sudah berlalu dan aku sanggup, aku masih sanggup, aku masih sanggup. Kala begini aku kerap berbicara sendiri meyakinkan diriku, kecelakaan Raden Sira mengembalikkan gambaran tentang papah si Ikrar. Tapi ingatan itu tak mungkin hilang. Oba suamiku pergi dan tak pernah kembali lagi saat usia tujuh bulan aku mengandung Ikrar. Aku masih ingat sore itu. Haji Wana pemilik kapal dimana suamiku ikut, datang ke rumahku. Wajahnya pucat, ia duduk menunduk lama di teras rumah tak berani menatapku. Mamah Nurul kemudian menyusul naik ke terasku, saat itu aku tahu berita macam apa yang ia bawa.

Kumaha éta kajantenanna?” tanyaku dengan suara bergetar.

Oba turun saperti biasa, mawa botol.” Haji Wana mulai sebentar lalu berhenti, ia menutup matanya mengambil napas dalam.

Leu ngan turun satu menit, acan. Karek turun, sakedapan katembong asup ka cai.. ngabeledug.. Hampura La. Hampura.”

Tangannya bersembah padaku. Ku lihat air mata turun di mata Haji Wana, ia juga tak kuasa menahan air mata.

Aku tahu ini bukan salahnya, Oba sejak remaja sudah ikut kapal Haji Wana. Ia pula yang meminjamkan uang tambahan pada suamiku dulu untuk naik meminangku. Aku pun tahu mengapa Oba yang turun, sikapnya yang pemberani dan suka menantang bahaya pula yang membuatku jatuh cinta. Obadiah Neo nama lengkapnya, pemuda berkulit putih yang bahkan tak punya kapal sendiri. Aku suka caranya mendekatiku, membawakan ikan-ikan Kerapu merah kesukaan Mamah ku sambil mencuri-curi pandang. Ia akan tersenyum malu-malu bila ku lempar pandang yang ia cari dari atas teras panggung. Di atas teras panggung pula aku mendengar kepergiannya.

“Leu kabeh meunang La.” Haji Wana menaruh sebuah kotak kayu tembakau di depanku.

Kuat anjeun membuka?” Mamah Nurul yang sedari tadi memelukku menanyai kekuatanku.

Ku tatap wajahnya yang juga penuh air mata.

Abdi kedah, Oba salaki abdi..

Ia mengangguk, lalu membantuku mengambil kotak itu.

Perlahan ku buka tutup kayunya, ada sebuah kain putih pembungkus di dalamnya. Aku tahu apa ini, di dalamnya ku lihat jari kelingking dan jari manis yang begitu ku hafal. Jari yang dulu kuat menggenggam tanganku kala kami bermain di pantai, jari yang kini berwarna pucat kebiruan. Cincin emas masih melingkar di sana, cincin yang Oba beli dari hasil menjual kerang hijau seratus basket. Entah bagaimana Oba dulu bisa mendapat sebanyak itu, tapi katanya cinta bisa membeli kapal kalau kita mau. Ku sentuh jari-jari dingin itu, apa cinta juga bisa membawamu kembali pulang.

Oba.” terbata ku panggil nama suamiku.

La, La!” Aku mendengar suara mamah Nurul sesaat memanggil-manggil. Semuanya mendadak ringan, lalu sunyi, dan gelap.

Ku ingat esok paginya aku terbangun di puskesmas, perutku sakit sekali. Pada malam ketiga sejak suamiku meninggal, Ikrar lahir dalam usia kandungan belum genap sembilan bulan.

La, La!” James memanggilku di luar, aku tersentak dari lamunanku.

Cepat-cepat ku hapus air mataku lalu berjalan ke teras panggung.

Anjeun henteu kunananon?” tanya James dari halaman bawah.

Teu kunanaon Jam, buru ka dieu.” Ku jawab James dan ku ajak naik ke rumahku, biasanya dia meminta kopi.

Ia paham kalau aku pasti terbawa pikiran jika ada kejadian kecelakaan bom ikan di pulau.

Teu kedah La, abdi badé ka bumi Haji Wana.” sahutnya lekas.

Apa mau kau bikin Jam?” Aku mulai khawatir James mau turun lagi bom ikan.

Ia tak menjawab, hanya tersenyum melambaikan tangan buntungnya lalu pergi ke belakang rumah kayuku. Kemudian dari sudut tepian pantai kulihat Nurul datang, ia berjalan menunduk cemberut.

Kenapa kau Nurul?” Ku tanya padanya saat ia hendak berbelok ke tangga rumahku.

Ia berhenti lalu menengok ke atas, sepertinya tak sadar aku memperhatikannya dari atas teras panggung.

Punten bantosan Teh La.” Nada bicara Nurul seperti kesal.

Apakah?

Seueur kerang kuring.” jawab Nurul sambil menambah kerut cemberut di wajahnya yang bulat.

Kedua tangannya membentang terbuka seolah-olah membentuk keranjang yang besar sekali.

Saatos kerang abdi dicandak, hayu atuh rengse di imah anjeun. Antosan didinya..

Aku ke belakang mengambil sisa kerang dengan keranjangnya. Ku lihat Ikrar masih tertidur, jadi aku perlahan-lahan berjalan ke luar agar ia tidak terbangun.

Rumah Nurul termasuk besar diantara rumah-rumah di pulau ini, walau masih kalah besar dari rumah Haji Wana. Semasa hidup, Haji Yaka bapak Nurul memiliki kapal angkut besar dan beberapa kapal jaring sedang. Keluarga Nurul termasuk golongan berada, banyak orang yakin usaha penangkapan Haji Yaka akan lebih sukses dari Haji Wana seandainya ia masih hidup. Ku lihat Hajah Ayu berdiri menata jemuran ikan keringnya di halaman. Ia perempuan Jawa yang dipinang bapak Nurul di Surabaya lalu diboyong ke pulau Sumba ini. Aku biasa memanggilnya mamah Nurul. Ia menengok dan tersenyum, rupanya ia melihatku datang.

Asup ka Teh La, Nurul aya di tukang. Hapunten Teh, upami ngaganggu, numutkeun Nurul cenah, mandiri sapertos Teteh.” Logat-logat Jawa masih terasa dari kata-kata Mamah Nurul biar bertahun tinggal di lautan Sunda ini.

Mamah Nurul kumaha damang? Tah, kuring ningali kapal Mah.” Ku coba memberi perhatian sedikit pada perempuan yang rambutnya mulai putih semua ini.

Sumuhun Teh La, nu penting mah jalan. Pusing kuring, suluh solar naék-turun, laukna beuki leutik.” Ia menjawab dengan berita buruk tapi raut mukanya seperti biasa saja.

Mamah Nurul lekas menyambung kata-kata.

Nu penting mah ulah ngarugikeun batur.”

Sambil tersenyum dan melayangkan pandang menyindir ke arah rumah Haji Wana. Aku tertawa saja, pembicaraan seperti ini ku tahu ia hanya butuh didengarkan.

Hayu Mah.” Aku berpamit hendak ke belakang, ia mengangguk membalas lalu melanjutkan menata jemurannya di atas bambu-bambu melintang panjang.

Sampai di kolong belakang rumah kulihat Nurul sudah duduk dengan belasan keranjang kerang hijau mengelilinginya. Aku kaget, ternyata benar banyak sekali.

Naon gunana si Nurul ieu, lamun rék ngajual sésa. Lelang ngan ukur tiasa nyandak tilu karanjang.”

Aku paham betul daya beli pengepul kerang hijau dari lelang ikan Maros. Karena sejak kematian Oba aku bertahan hidup dengan menjual kerang hijau kupas, mencari selisih harga dari kerang hijau yang belum dikupas. Tidak banyak ku dapat, karena memang tidak banyak yang sanggup dibeli orang. Kerang hijau lebih mahal dari kerang darah, katanya cuma restoran dan warung makan jalan lintas yang mau ambil. Bila dihitung aku menjual satu keranjang dalam satu hari, karena Dean si pengepul mengambil tiga keranjang setiap rabu dan sabtu. Maka itu aku kaget melihat keranjang-keranjang penuh kerang di depanku, apa yang direncanakan Nurul.

Pesanan Teh, cenah, dicokot ku calon bupati nu meunang Pilkada kamari.” terang Nurul sambil terus membuka kulit-kulit kerang.

Rék ngalungkeun pésta?” tanyaku menyelidik.

Kerang hijau sebegini banyak jika dimasak tentu lebih dari lima panci coto, hanya orang yang punya hajat besar yang memasak kerang hijau sebanyak ini.

Abdi henteu terang Teh La, buru-buru.” Nurul rupanya sudah tidak sabar.

Ku lihat di ujung ada beberapa keranjang yang warna kerangnya lebih pucat.

Eta Nur, gancang mesek didinya. Lila-lila teuing busuk, candak.” Ku ajak Nurul memindahkan keranjang-keranjang tadi.

Mungkin kerang-kerang ini diangkat sejak kemarin, banyak yang cangkangnya sudah terbuka seperti orang kelaparan. Jika dibiarkan terlalu lama, dagingnya akan memucat dan berbau busuk.

Lewat satu jam lebih baru lima keranjang selesai, ini cepat karena mudah mengambil daging kerang yang sudah lemas. Ku lihat Nurul masih semangat, meski ia suka mengeluh tapi sebenarnya tangannya tekun bekerja. Kadang-kadang ku sebut dia seperti Yanmar karena bulat seperti mesin diesel kapal, dan kuat bekerja biarpun tidak kebut. Nurul kemudian membalasku dengan menyebutku Dongfeng mesin diesel buatan china, untuk sekedar membalas ejekan. Perlu ku akui, aku mulai mudah letih. Mengupas satu keranjang kerang saja kadang-kadang aku perlu berhenti sejenak meluruskan punggung.

Ku dengar ramai suara orang di luar. Nurul melihat padaku, rupanya ia juga mendengar. Kami beranjak cepat ke depan meninggalkan kupasan kerang ini. Ku dengar nama Ikrar disebut-sebut di luar, ada apa ini.

Mah.

Ku dengar suara kecil Ikrar berteriak memanggilku.

Enya, naon Nak?” Ku jawab panggilan Ikrar sembari berjalan di samping rumah.

Mah, tingali ieu! Abdi hoyong angkat ka tempat papah!” teriak Ikrar di halaman menunjukkan sebuah botol hijau di tangannya. Samar kulihat seutas tali ke luar menjulur dari bibir botol itu. Jantungku berhenti berdetak.

Ikrar!!” Sekuat tenaga aku berlari menuju Ikrar, tiba-tiba seseorang menabrakku. Tubuh kami berdua jatuh ke atas pasir.

La, tong ka ditu!” parau suara Mamah Nurul di sampingku, tangannya erat meremas rok panjangku.

Kemudian kulihat James berlari dari arah belakang punggung Ikrar. Ia menjulurkan tangannya merebut botol di tangan Ikrar. Tangan yang salah, botolnya terlempar ke atas menuju tempatku dan Mamah Nurul jatuh.

James! Ikrar!” Aku berteriak sekuat-kuatnya.

Tubuhku berontak berdiri, rokku sobek. Aku segera lari pada botol yang mulai menukik. Ku lihat James mengangkat Ikrar menjauh, rupanya ia mengerti.

La!” Mamah Nurul berteriak memanggilku. Aku sudah tak peduli, asal jangan Ikrar. Ku ulurkan tanganku menangkap, dapat! Lekas ku peluk botol itu dan ku jatuhkan perutku ke atas pasir.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post