Aila Arofah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Apa judulnya? Request dong

Apa judulnya? Request dong

“Mbak, onok Londo ndateng, mbak!” pemilik suara parau itu menggoncang-goncangkan tubuhku dengan keras.

Aku mengerjap-ngerjap mata. Pikiranku masih setengah sadar.

“Dor!”

Suara peluru ditembakkan membuatku sadar sepenuhnya. Peron stasiun sudah dipenuhi terntara-tentara belanda dari arah gerbong kereta. Para tunawisma membereskan tikar dan barang-barangnya lantas berari menjauhi tentara. Akan tetapi, mata ini masih bisa menangkap satu-duanya tergeletak di tanah, terbujur kaku dengan tubuh bermandi darah.

Aku menoleh, memperhatikan si pemilik suara parau, memastikannya baik-baik saja.

“Ranu ndak papa, mbak..” katanya sambil tersenyum walau kepanikan masih tergurat di wajahnya.

Aku mengangguk. Dengan segera bangun dari duduk, kemudian mengambil tikar dan menenteng goni lusuh berisi barang-barang kami. Tangan kiriku meraih tangan adikku, Ranu.

“Ayo, menyang langgar Kyai Farabi,”

Kedua kakiku serentak bergerak mengikuti masa. Aku berlari layaknya kesetanan. Walau tak bersepatu dan matahari sedang terik-teriknya, aku terus berlari. Aku harus hidup. Ranu harus hidup.

***

Langgar Kyai Farabi tak jauh dari stasiun. Namun berlari cukup membuat sekujur tubuhku lemas. Begitu sampai, serta merta tubuh ini terduduk W, sambil mengatur nafas yang terus memburu. Ranu melepaskan tanganku. Aku masih merasakan dingin ketegangan tangannya. Oh, sungguh kasian, nafasnya seperti orang tercekik.

Ditengah-tengah terjadinya kebut-kebutan nafas antara aku dan Ranu, pintu lanngar terbuka disusul kemunculan Kyai Farabi setelahnya. Keterkejutan langsung tergurat di wajahnya. Beliau menyuruh kami masuk ke dalam.

Sedikit profile tentang beliau, Kyai layaknya orang tua bagi kami. Begitu pula bagi anak-anak langgar lainnya. Disinilah tempat kami berteduh. Yap, Mas Wil dan lainnya, pencari tempat teduh--tunawisma namanya.

Kyai datang kembali dari dapur dengan membawa air dan 2 potong singkong rebus yang tampak telah benyai. “Dianti, Ranu, ayo minum dulu, tenangin diri dulu, nak,”

Ah, sungguh, aku tau singkong rebus itu saut potong dijadikan dua. Aku juga tau ini jatah makan kyai Farabi untuk hari ini. Rasa tak enak hati itu membuatku beranjak dengan Ranu ke depan teras langgar, duduk lantas memegang perut, ‘tuk tenangkan gejolak lapar.

Tak lama, seorang lelaki tampak datang dari dalam langgar lantas merangkulku dan Ranu. “Piye kabare, dek?” tanyanya riang – rindu sekali sepertinya.

“Laper, mas..” aduku memelas. “Tapi ndak mau makan, apalagi itu punya Bapak,” Sedang Ranu hanya terdiam bengong tak menanggapi.

“Mas Wil,” rengek Ranu.

Ranu menelungkupkan kepalanya dalam rangkulan Bandara Raden Mas Adiwilaga. Ya, tak lain dan tak bukan, Mas Wil adalah priyayi remaja yang kabur dari rumah akibat kemurtadan yang disebarkan jepang terhadap pribumi termasuk keluarganya.

Seoang STOVIA-ners, pemilik nilai tertinggi dan prestasi terbanyak. Siapa yang tak kenal? (Author) Namanya yang masyhur hilang sekejapan mata. Namun semangat baranya berselimut api, tak mungkin padam walau ombak tsunami menerjang. Ia sudah tak tahan—Indonesia harus bebas—berhenti dikekang. Begitu katanya. Matanya berkilap hebat, jernih memasok cahaya. Masa depan telah ia bayangkan.

Ia tergabung dalam organisasi pelajar Tholi'atul Istiqlal—lantas dengan melalui itu, Ia akan mengambil gerak langkah perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia.

Itulah Dia—aku selalu kagum dengannya.

"Kemerdekaan sudah didepan, ndek. Seolah selangkah lagi." katanya. Senyumnya mengembang, gigi-gigi putihnya berjejer rapi layaknya perlawanan orang indonesia yang semakin rapat adanya.

Aku tersenyum. Dadaku perlahan meninggalkan sesaknya.

“Duh, es krim seger kayaknya, ya,” celetuk Ranu sambil meneguk ludahnya.

Mataku segera beralih akan apa yang dilihat Ranu. Tak jauh dari langgar, di jalan besar itu, priyayi-priyayi pribumi dengan anak STOVIA lain memang sedang lewat dengan memegang es krim loli dan eskrim kone. Tak heran jika Ranu yang masih kecil menginginkannya.

"Gelem ra, dek? Ngko' tak tukokno,"

"Ndak usah ditukokno, mbak—mas. Duit teka endi,"

Aku tertawa getir. "Doakan ngko' rejeki dhateng," Sudah lama rasanya aku tidak tertawa. Terakhir—sepertinya, saat pemenggalan kepala bapak dan ibu oleh orang-orang bermata sipit-sipit itu. Shogun? apalah namanya. Yang katanya itu (tawaku) tawa gila. Syahdu melow-nya.

***

Hawa pagi menyeruak melalui lubang-lubang dinding beranyam bambu. Dingin. Sedang mentari masih malu-malu menampakan benderang sinarnya.

Krakk ...

Tepat begitu pintu dibuka, angin muson barat serta merta menyapa wajahku. Masih tertempel di sana buih-buih air bekas berwudhu subuh tadi. Kemudian, seolah di hipnotis, kakiku bergerak maju beberapa langkah.

Suara pyak-pyik membuat arah pandanganku beralih 90 derajat berlawanan arah jarum jam.

Kawanan camar tampak saling berlomba menghiasi langit bersama awan berarak. Sayap-sayap mereka membentang, membadik angin, ke atas ke bawah, lantas menukik, membuat ujung sayapnya menyapu permukaan air sungai. Membawa bulir-bulir air beriringan elok bersama bersama kepakannya.

Tengoklah, sayap-sayap itu terus membentang seolah membelah langit khatulistiwa. Sesekali mengepak riang seraya membawa serpihan angin pagi.

Aku terpesona.

"Aku ingin hidup seperti burung-burung itu—"

"merdeka," gunyamku dalam keheningan pagi itu.

***

Beku dalam lorong kesabaran yang tak kunjung membahagiakan. Malam kian melarutkan sunyi ke dalma hati yang masih terjaga, tak ayal, keduanya semakin tenggelam dalam gembala kekhusukan hajatnya.

Tak berselang lama, Kak Kemat beranjak dari silahnya kemudian menghampiriku. “Dek, jaga Ranu sama Bapak, ya, bismillah, doakan Kakak juga,” ujarnya sambil tersenyum dengan tangan kanan yang menyandar di bahuku.

“Mbok jangan ngomong kayak wong gelem mati ta,” sahutku agak meringis membalas senyuman yang tampak ambigu itu.

Kak kemat tak menjawab. Malahan, senyumnya luntur bersamaan dengan tangan kanannya yang dialihkan ke atas kepalaku – digusak-gusuknya rambut itu. Setelah melakukan itu, Ia berbalik mengalihkan arah pandangannya ke kak . “Ayok, . Belanda wes gerak. Masak kita sek nyantai?”

Kak lantas berdiri mengikuti langkah kak kemat. “Siap pak komandan. Bapak, adek-adekku sekalian aku tak berangkat,”

***

Zaman terus bergerak pincang. Hari demi hari terasa seperti panjangnya lama pembentukan sang bintang katai putih—matahari menjadi bentuk sempurnanya. Tak kian berakhir, seserpihan angin terus menilik harapan semu pemiliknya diambang keputus asaan.

Hari ini, langit sekali lagi tumpah dalam warna merah oranye senja. Begitu indah. seolah sengaja sang cahaya surya—matahari tenggelam bersamaan dengan harapan berlaku pribumi.

Buncah. Sekali lagi, titik darah penghabisan sudah direlakan. Lihatlah darah kian membanjiri tempat itu, telah mengapung 1-2 nya diatas permukaan.

Para penjajah itu, membantai 300 anggota Tholi'atul Istiqlal di Mandor, Kalimantan Barat. Kekejamannya tak berakhir disitu, anggota lainnya yang tersebar ditempat lain disiksa. Berita-berita ditutup mulut, dan disuruh menulis judul besar-besar "Pemerintah Jepang membubarkan oerganisasi Tholi'atul Istiqlal"

***

Khok, khok ...

Suara batuk itu semakin hari semakin serak rasanya Ranumengernyitkan dahi kedua bahunya diangkat meringis karenanya. Iya beranjak Mbah kyai tak tukokno banyu nggih katanya lantas ngicir ke belakang dapur

Kyai tersenyum kepalanya menggeleng-geleng seakan berkata wes tolana Mbah wis waktune ia menjauhkan tangannya yang terbuka dari mulut cairan merah kental merah segar nangkring di sana oh kyai apa gerangan yang terjadi pada dirimu

Ranu kembali di tangannya tergenggam segelas air yang tadi 3/4 dari sesungguhnya kemungkinan jatuh sewaktu ia berjalan raut mukanya sudah gusar entah apa yang terjadi kepanikan telah menghiasi seluruh wajahnya Mbah kyai lirihnya bau kosong Mbah Jepang wes sampai sini mas Wil mas Wil mati Mbah katanya terpatah-patah gerakannya sudah tak jelas yang menghampiri kyai Farabi memapi tangan beliau di bahunya lantas matanya tertuju pada mushaf di meja yang kemudian dipeluknya Ranu panik takut bingung semuanya tolong Ranu harus bagaimana Ranu menutup kyai Farabi yang sudah tak kuasa berbicara api berkibar hebat mungkin membuas loncatannya di mana-mana kini membuat lautan

***

Aku telah mendapatkan es krimnya, Ranu. Masih dingin, meski sekarang mungkin es krimnya telah bercampurrasa dengan darah.

***

Ilalang berayun kanan ke kiri. Indah, seolah menyapa dunia yang penuh seru-deru manusia. Angin seakan tak lelah berhilir-mudik menelisik sela-celah setiap atom yang bergandengan. Pagi akan dimulai, tapi seakan takut, matahari tak kunjung terbit—menampakan cahayanya. Bahkan untuk sekadar mengintip. Ia takut menyinari darah—dengan dua insan yang di di selimutinya.

*End*

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post