Aila Arofah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Jaga Amanah, Kuatkan Niat

"Ummi terlalu banyak berharap pada Faiza." ujar kak Zaid. Dia mengomporiku, karena memang itulah kenyataannya. Aku lantas menunduk, takut dimarahi. Semenjak ummi memberikan Al-Qur'an tahun lalu, kak Zaid ditugaskan untuk mengawasiku.

"Hm? Berharap apa, sayang?" ummi bertanya, yang kian membuatku takut. Beliau mengelus kepalaku, penuh cinta. Ummi pasti akan marah. Bagaimana jika ummi mengambil laptopku? Duh, aku takut sekali.

"Faiza! Dia lalai menunaikan amanah dari Ummi. Hafalan Al-Qur'annya semakin sedikit. Sholatnya juga bolong-bolong. Gara-gara dibelikan laptop baru! Begini jadinya, Ummi." sahut kak Zaid, menjelaskannya lebih rinci.

Detak jantungku berdegup tak beraturan. Mataku sayu, tangan kakiku dingin, ditambah nyali yang semakin menciut. Lengkap sudah. Aku tak akan bisa berkata-kata untuk menyangkal perkataan kak Zaid.

Ummi menghela nafas panjang. Aku tau beliau kecewa berat. Ummi menatapku, seakan penuh harapan. Aku terbujur kaku, kaku seperti es. Beliau berhenti mengelus rambutku. Lalu pergi ke kamar, menahan marah yang bergejolak.

Aku berlari masuk ke kamar, dengan pipi yang basah akan air mata. Aku mengusap sampul Al-Qur'an yang mulai berdebu. Astaghfirullah, berapa hari aku meninggalkan kitab ini? Aku menyeka air mata. Menatap lamat-lamat sampul Al-Qur'an yang ummi pasangkan setahun lalu. Aku masih ingat, ummi berucap sesuatu padaku waktu itu. 'Hamasah, bidadari kecilku. Gapailah gelar Hafidzah. Dan lakukan itu karena Allah. Hm, Faiza?' begitu katanya.

Aku terdiam, melirik laptop yang duduk manis di meja belajar samping almari. Maafkan Faiza, Ummi.

***

"Ini kali keduanya, Ummi. Kata ustadz Furqan, hafalan Al-Qur'an Faiza tidak bertambah sama sekali. Satu ayat pun tidak. Beliau menyuruh Zaid untuk menegurnya. Kemudian Zaid lakukan. Dan lagi—Ummi, Zaid sempat melihat Faiza bermain laptop saat itu. Bukannya hafalan." kak Zaid menunjukku, seraya menyipitkan matanya kesal.

Aku menggigit bibir. Salahku, lagi. Akibat keseringan chatting dengan teman, aku kembali melalaikan hal itu. Lalu, reaksi Ummi?

Ummi kembali menanggapi hal ini seperti kemarin. Manatapku dengan ekspresi kecewa, lalu masuk ke kamar.

Aku menunduk, merenungi kesalahanku. Godaan syaitan benar-benar susah dilawan. Kak Zaid? walau dia terlihat kesal, pasti dia juga merasa kecewa seperti ummi. Kak Zaid meninggalkanku, sendirian di ruang keluarga. Senyap, hanya suara murottal yang mengalun indah menemani sepiku.

***

Cling! Suara notifikasi hangouts memekik telinga. Aku segera membuka email, melihat pesan yang masuk. Dari Vera, teman sekelasku. Isi pesannya, menanyakan apakah aku mengetahui Gacha. Tentunya aku menjawab—tidak. Karena jawaban itu, dia menyuruhku mencarinya di youtube.

Aku menurutinya, membuka youtube, menuliskan Gacha di kotak pencariannya. Tak lama, muncul video-video dengan karakter yang unik dan lucu-lucu. Aku mengetuk salah satunya. Wah, bagus. Disaat-saat seperti ini, adalah kesempatan syaitan menggoda. Benar saja, ketika lengah, aku tergoda untuk melihat video-video Gacha yang selanjutnya. Dan karena itulah, semua kewajibanku terlalaikan.

***

"Perilaku buruk Faiza semakin parah Ummi." ujar kak Zaid, menghela nafas berat. Kali ini kekesalan tak nampak diwajahnya, namun kekecewaanlah yang terlukis disana.

Aku berdiri diam tak jauh dari Ummi. Tak bereaksi berlebihan. Dan ini kali ketiganya, eksekusi berlangsung.

Ummi menyandarkan punggungnya ke bahu kursi. Beliau memegang kepalanya, berpikir. Apakah ummi akan membicarakan hal ini dengan abi? Ummi sebenarnya sangat jarang melapor tentang kesalahanku dan kak Zaid. Biasanya, beliau yang akan menyelesaikan sendiri. Tapi ini berbeda. Kemungkinan besar, ummi akan memberi tahu abi.

Ummi menarik kembali punggungnya. "Sayang, kemari. Duduk dengan Ummi." pinta Ummi, sambil melambai-lambaikan tangannya.

Aku menurut, duduk disebelah ummi. Tanpa aku duga, ummi malah mengelus kepalaku. Aku menoleh, tak mengerti sepenuhnya.

Ummi memandang kak Zaid. "Hm—begini, saat Zaid mengalami hal yang sama dengan Faiza saat seumurannya, Ummi mengatakan apa pada Zaid?" tanya ummi.

Kak Zaid berpikir, berusaha mengingat. "Ja-jaga amanah Ummi ya, dan kuatkan niat meng-hafalnya. Insyaallah, kalau sudah niat, pasti jalan hafalannya serta do-anya. Itu kata Um-mmi." jawab kak Zaid patah-patah.

Ummi mengangguk, lantas mengalihkan pandangannya padaku. "Ya, Faiza dengar kan? Nah, lakukan yang dikatakan kak Zaid tadi." kata ummi.

Aku tersenyum, lantas mengangguk. Sekarang, aku mengerti.

***

Matahari menggeliat menampakkan diri untuk yang kesekian kalinya. Siap menyapa para penduduk dengan sinarnya yang menghangatkan. Angin muson barat pun ikut serta menyapa. Dengan gaya khasnya yang datang sebagai angin sepoi-sepoi.

Aku menyiapkan laptop. Sebentar lagi, zoom dimulai. Sejak pandemi, pembelajaran tatap muka dialihkan pada pembelajaran online. Sudah genap sepuluh bulan ini berjalan, tapi corona tetap betah bersinggah di negeri tercinta.

Aku mengambil jadwal pelajaran, berniat mengambil buku-buku dahulu. Aku terkejut, menepuk jidat. Tahfidz? Aku baru ingat bahwa kemarin Ustadz sudah menambah kembali pelajaran itu. Sesegera aku mengambil Al-Qur'an. Aku membuka surah Al-Baqarah, juz 2. Seingatku, terakhir aku menghafalkan ayat 157.

Cling! Aku terkejut untuk yang kedua kalinya. Siapa yang mengirim pesan pagi-pagi sekali? Tak mungkin itu Vera. Aku melihat nama pengirim, setelahnya baru melihat isi pesannya. Eh, kak Zaid?

'Hangouts-nya aktif. Main laptop? Ingat, gunakan laptop untuk yang berguna saja. Jangan sampai laptop itu malah membawa mudharat. Dan, jangan lupa hafalan! Kuatkan niat.' begitu isi pesannya.

Aku tersenyum, lalu mengangguk. Walau aku tau kak Zaid tak mungkin bisa melihat anggukkanku. Tapi setidaknya, aku sudah menjawabnya.

Aku kembali berkutat dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Menjaga amanah ummi, akan kulakukan. Menguatkan niat, tentu. Kalau begitu, aku harus hafal!

Ayat perayat-Nya kuhafalkan. Awalnya, banyak kesalahan. Terutama dalam pelafalan huruf ‘ain dan gain. Setelah lama, barulah pelafalanku lancar. Keajaiban Allah! Yang memberiku kekuatan menghafal Al-Qur’an kembali.

***

“Inna fii kholqissamaawaati wal-"

“Sudah cukup, Faiza.” potong ustadz Furqan. Beliau menyunggingkan senyum bangga. “Bagus. Lanjutkan hafalanmu, setor pada Zaid.” imbuhnya.

“Ba-baik, Ustadz.” jawabku.

Uztadz Furqan bertepuk. “Oke, kita selesaikan pertemuan zoom hari ini. Jangan lupa hafalan, selanjutnya setor. Hamasah jami’an, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Beliau menutup, yang kemudian diikuti dengan keluarnya satu-persatu murid dari ruang zoom.

Aku menghempaskan badan ke sandaran kursi. Lelah sekali. Aku melirik jam, jarum pendeknya menunjukkan angka 11. Sudah siang ternyata. Aku menoleh ke arah pintu. Sepertinya tadi ada yang masuk.

“Zoom-nya sudah selesai? Bagaimana tadi?”

Aku menoleh. “Eh? Sejak kapan kak Zaid masuk ke kamarku?” aku bertanya cepat.

“Tadi.” jawab kak Zaid. Dia mengalihkan mouse ke tab email. “Kamu mau setor hafalan? Ustadz nyuruh kak Zaid menjadi pendamping hafalan kamu untuk hari ini. Katanya, kamu hafalan kebanyakan.” kak Zaid bertanya, walau tau akan jawabanku tanpa bertanya.

Aku mengangguk, seraya mengambil Al-Qur’an dan memberinya kepada kak Zaid. Kemudian, aku menyetor. Tak banyak, hanya sepuluh ayat. Melanjutkan hafalan yang tadi. “Pantas saja, Faiza.” kata kak Zaid begitu aku selesai menyetor seluruhnya. Aku mengernyit tak mengerti. “Lihat! Nilai yang diberikan ustadz Furqon hanya Jayyid (red; baik). Pelafalan kaf dan qaf masih banyak kesalahan.” tambahnya sambil menunjuk tabel penilaian di layar.

Aku menyengir, menggaruk kepalayang tidak gatal. “Faiza sudah lama enggak hafalan. Maklumi, kak.” tukasku.

“Tapi, sudah bagus. Jika rajin hafalan dan muroja’ah, nanti pelafalannya akan lebih baik.”

***

Alhamdulillah, tepat pada hari milad-ku, aku menyelesaikan satu juz Al-Qur'an. Mudah memang, tapi tidak untukku. Jika bukan atas niat yang tulus karena Allah dan keajaiban-Nya, satu juz Al-Qur'an dalam rentang waktu lima hari tak akan dapat aku selesaikan.

Aku mengerjap-ngerjap. Sehabis sholat subuh tadi, aku masih mengantuk akibat mengulang-ulang hafalan. Hari ini, abi akan menguji hafalanku. Beliau memang jarang pulang ke rumah. Namun dihari spesial ini, beliau menyempatkan diri untukku.

Ummi, beliau kembali menyunggingkan senyum indahnya. Tak ada raut kecewa diwajahnya. Aku senang, itu pasti. Usahaku untuk mengembalikan senyum itu terbayar sudah. Pada hari ini, dunia mencatat kembali perjuanganku. Perjuangan seorang Mutjahidah. Ya, kelak akan kubuat ummi tersenyum, lebih indah dari yang kudapatkan selama ini.

Ini baru awal. Masih banyak rintangan yang akan aku lewati. Masih banyak ayat-ayat-Nya yang belum aku hafalkan. Tapi pasti, suatu saat nanti, pada hari itu, akan kudapatkan gelar Hafidzah. Karena Allah, untuk Abi, Ummi, dan kak Zaid.

———

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

kak Aila bikin lagi dong cerita kayak gini, nggak maksa kok tapi :) Aku suka bangeeeet

04 Jan
Balas

Insyaallah diusahakan, Syukron Naishaa..

04 Jan

'Afwan Kak Ailaa..

04 Jan

Lupa, salah tempel. Dibaca lagi ya, baru direvisi ^^

04 Jan
Balas

Pengen nangis aku TwT. Bagus banget ceritanya kak >w<. Bikin yang banyak ya ^w~. Ehehe ^U^

05 Jan
Balas

^^ Jazakillahhh..

05 Jan

Bagus banget kak

04 Jan
Balas

Syukron ^^

04 Jan



search

New Post