Bernadetha Adristi Kurniawan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Chapter 1: Bencana Besar

Chapter 1

Bencana Besar

Angin kencang menerpa jubah kelulusanku. Aku berkendara seperti pembalap profesional. Tak peduli sederas apa hujan turun. Atau sedingin apa tubuhku. Yang aku pedulikan hanyalah sampai ke tempat tujuan secepat mungkin. Rumah nenek.

Klakson mobil dan motor terus menerus bersuara nyaring. Teguran dari pengemudi lain terdengar jelas di telingaku. Tapi, semua itu tak ku hiraukan. Aku terus mengemudi hingga pintu gerbang rumah nenek terlihat. Di depan gerbang itu terparkir banyak mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan beberapa mobil ambulans. Para warga juga bergotong royong membawakan air dari rumah-rumah.

Melihat keadaan tersebut membuatku langsung menghentikan laju motor dan berlari menghampiri pintu gerbang rumah nenek. Keadaan di luar gerbang saja sudah membuktikan bahwa ketakutanku benar. Tapi melihat keadaan rumah yang sebenarnya, benar-benar membuat tubuhku kaku. Keadaannya jauh lebih buruk dari perkiraanku.

Rumah mewah nenek terbakar api. Rumah mewah yang dulunya sangat indah seperti istana, kini berada di ambang kehancuran. Pilar-pilarnya terbakar, atapnya rubuh, dinding rumah retak, dan kaca jendela pecah. Api telah menjalar ke seluruh bagian rumah. Bukan hanya rumah itu yang mengerikan, tapi apa yang ada di halaman depan benar-benar membuatku tak sanggup bernafas. Darah. Hal yang paling membuatku trauma.

Perasaan ku sangat kacau saat ini. Marah, bingung, sedih, dan kecewa. Semua bercampur aduk dalam pikiranku. Hatiku seakan menangis saat melihat kejadian ini. Seperti belum lengkap, masalahku bertambah dengan datangnya wartawan. Mereka memberiku payung dan mulai melontarkan berbagai pertanyaan kepadaku.

“Nona Laras, bagaimana peristiwa ini bisa terjadi?” tanya wartawan 1.

“Aku juga tidak tahu pasti,” jawabku kebingungan.

“Berapa besar kerugian yang Anda tanggung akibat kejadian ini?” tanya wartawan 2.

“Aku hanya ingin semua selamat. Terutama nenek,” jawabku lagi.

Detik berikutnya membuat bola mataku hampir keluar karena terkejut. Bibi Sari berada di tandu yang dibawa tenaga medis. Bibi Sari adalah kepala pelayan dan orang yang merawat nenek saat aku tidak ada. Ku tinggalkan semua pertanyaan dari wartawan dan bergegas menghampiri bibi Sari. Untungnya aku berhasil menghampiri beliau sebelum ia dimasukan ke dalam ambulans.

Kondisinya sangat kritis. Wajah yang dulunya menawan, sekarang memiliki banyak luka. Tangan yang dulunya selalu menopangku, harus terbalut perban. Tapi tangan itu masih memiliki kehangatan yang sama. Kehangatan yang menemani masa kecilku.

“Laras sayang. Selamat datang,” ucapnya dengan suara lemah.

Dia adalah wanita yang kuat, meski usianya hampir menginjak 60 tahun. Dan dalam kondisi begini, ia masih sanggup menyambutku yang baru pulang.

“Iya Bi. Ini Laras. Bibi harus kuat ya,” ucapku menahan tangis.

Bibi selalu membenci saat aku menangis. Dia bilang, jika aku menangis, maka kekuatannya akan hilang. Dan disaat begini, Bibi tidak boleh kehilangan kekuatannya, bahkan jika itu hanya satu persen. Bibi Sari sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri. Jadi aku harus menjadi kekuatannya, aku harus melakukan apapun untuk melindungi dia dan seluruh keluargaku.

“Bertahanlah Bi. Aku akan selalu menjadi kekuatanmu dan keluarga ini,” batinku.

Berbicara tentang keluarga. Aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang membuat hatiku berat. Hatiku seperti sedang menopang seekor paus biru.

“Bibi dimana nenek? Apakah dia sudah di rumah sakit?” Tanyaku dengan menahan air mata yang memberontak ingin keluar.

Namun jawaban bibi membuat hatiku tidak berat lagi. Tapi hancur menjadi kepingan. Dan mungkin kepingan itu akan mustahil untuk disatukan kembali.

“N-nenek mu.... Dia masih.... Di dalam. Dia terjebak. T-tolong dia,” ucap bibi Sari yang kesulitan bernafas.

Waktu seakan berhenti. Telingaku seakan tuli. Dan mulutku tak mampu berkata-kata. Ku lihat mata bibiku dengan baik. Mencoba mencari sepucuk kebohongan dari mata birunya. Namun aku tak menemukan apapun selain kejujuran. Mata itu tak menyimpan kebohongan apapun. Bibi berkata jujur, yang berarti nenek masih berada di dalam rumah. Rumah yang terbakar dan hampir menjadi abu.

“Mereka korban terakhir! Cepat bantu mereka!” ucap tegas seorang petugas pemadam kebakaran.

Langsung ku alihkan pandanganku ke asal suara tersebut. Korban yang dimaksud adalah kedua adikku yang masih kecil. Brodi dan Brenda. Dengan sigap ku hampiri mereka. Brenda tengah menangis di pelukan sang kakak. Dan Brodi tengah memeluk adik perempuannya. Dia berusaha menenangkan adiknya. Sesuatu yang aku ajarkan pada Brodi adalah menjaga Brenda jika aku tidak ada.

“Brodi, dimana nenek?” tanyaku.

“Kami tidak bersamanya kak. Saat ledakan terjadi, kami terpisah.” Ucap Brodi.

Mendengar penjelasan Brodi, aku langsung melepas jubah kelulusanku, mengguyur tubuhku dengan air dan berlari melompati garis polisi.

“Kakak! Jangan tinggalkan kami!” teriak Brenda.

“Kakak akan kembali!” sahutku pada Brenda dan Brodi.

Aku harus menyelamatkan nenek. Apapun yang terjadi. Apapun resikonya nanti, nenek harus selamat. Tapi pergerakanku ditahan oleh polisi.

“Apa yang kau lakukan?!” Ucap polisi itu.

“Nenek saya masih di dalam sana!” bentakku.

“Itu terlalu berbahaya! Jangan bertindak ceroboh!” tegas polisi itu lagi.

Ku tatap wajah polisi itu dengan serius.

“Jika kecerobohanku bisa menyelamatkan nenek, maka aku adalah orang yang paling ceroboh di dunia ini.” Ucapku pada polisi itu.

Polisi itu terdiam. Situasi itu aku manfaatkan untuk melepaskan diri dan berlari ke arah rumah yang terbakar. Trauma ku hilang dalam sekejap. Ketakutanku sirna. Fokusku hanyalah membawa nenek ke tempat aman dengan segera. Ke dalam pelukanku, Brodi dan Brenda.

Jadi aku berlari, berlari, dan berlari. Tanpa melihat kebelakang, aku terus berlari. Jika sekali saja aku melihat kebelakang, aku akan melihat kelemahan terbesarku. Air mata. Air mata dari orang yang aku sayangi. Adik-adikku. Tapi nenek adalah kelemahan dan kekuatanku. Tanpanya aku tak akan mampu menjaga mereka berdua lagi.

“Maafkan kakak kalian yang ceroboh ini. Tapi tanpa nenek, kakak takut tidak bisa menjaga kalian. Kalian adalah segalanya bagi kakak. Maafkan kakak. Kakak akan kembali.” Batinku sembari berlari.

Api terlihat membesar setiap aku melangkah maju. Udara juga semakin panas setiap aku mendekati rumah tersebut. Hujan deras tidak membantu banyak dalam kebakaran ini. Hujan hanya membantu agar api tidak terlalu besar dan membakar hutan serta rumah di sekitarnya.

“Sebesar apapun kau. Tekadku tak akan berubah. Nenekku akan selamat. Dan aku akan kembali pada adik-adikku.” Batinku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post